KESIBUKAN warga Jakarta untuk mudik Lebaran mulai terasa sejak pekan ini. Getarannya terasa pula di kantor kami, di kawasan Kuningan, Jakarta. Kami harus mengatur jadwal kerja sedemikian rupa agar punya waktu libur yang cukup untuk merayakan Lebaran. Untuk itu, jadwal edar TEMPO untuk edisi 4 April dan 11 April 1992 terpaksa digeser menjadi lebih cepat dari biasanya. Soalnya, yang bekepentingan dengan libur Lebaran bukan hanya kami. Ada yang lain, yang perannya ternyata cukup besar, yaitu para agen dan terutama pengecer TEMPO. Para pengecer itu "berkantor" di perempatan-perempatan jalan, bekerja di bawah terik matahari, dan kadang di bawah terpaan hujan. Setelah bekerja setahun, mereka tentu saja ingin menikmati Lebaran di kampungnya. Jumlah pengecer TEMPO ternyata tak sedikit. Untuk seluruh Jakarta, tercatat tak kurang dari tiga ribu orang. "Kami libur kalau lelah," ujar Taryani, 18 tahun, salah seorang pengecer TEMPO di perempatan Kuningan, Jakarta. Mereka ini jelas berperan memperlancar sampainya majalah TEMPO ke pembaca. Peran ini hampir sama pentingnya dengan peran agen dan karyawan lainnya. Sekarang mereka punya perasaan yang sama, ingin berlebaran bersama keluarga. Taryani yang tadi, misalnya, sudah punya rencana mudik ke desanya di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, sehari sebelum Lebaran. Remaja 18 tahun ini sudah bikin janji dengan bosnya, Betelman Purba, bahwa mereka baru bisa mendapat libur setelah TEMPO diedarkan. "Mau apa lagi, hidup saya memang begini," ujar Taryani, yang mengaku sudah dua tahun tak pulang kampung. Bersama 57 orang temannya, Taryani bertugas sejak pukul 8 pagi hingga pukul 5 sore. Setiap hari nongkrong di perempatan Kuningan dan Buncit, tanpa hari libur. "Libur kalau capek," ujarnya. Taryani sudah menjadi pengecer TEMPO sejak kelas V SD pada tahun 1987. Waktu masih sekolah, pekerjaan ini dilakukannya sehabis jam sekolah tapi setelah tamat SD, 1988, Taryani bekerja penuh untuk profesinya ini. Saban hari ia menjinjing sepuluh jenis majalah, tapi yang paling utama TEMPO. Setiap TEMPO beredar, Taryani berhasil menjual sedikitnya 20 eksemplar. Dari satu majalah ia memperoleh upah Rp 500. Menurut Taryani, di hari-hari awal peredaran TEMPO, penghasilannya bisa mencapai lebih dari Rp 10 ribu per hari, tapi setelah beberapa hari, penghasilannya turun menjadi rata-rata Rp 2 ribu per hari. Nasori alias Are juga demikian. Pengecer yang buka "praktek" di setopan perempatan Jalan Matraman-Pemuda itu berhasil memasarkan 35 eksemplar TEMPO setiap edisi. Untuk itu dia cuma butuh waktu dua hari. Penghasilannya lumayan juga, setiap majalah dia mengecap keuntungan Rp 400 sampai Rp 500. Pemuda lajang 19 tahun dari Indramayu, Cirebon, bekerja sebagai pengecer pada Asran Saragih, agen TEMPO di perempatan Cawang. Untuk merayakan Lebaran tahun ini sang bos, Asran Saragih, menyewa truk untuk mengangkut karyawannya pulang kampung di Cirebon. Memang sebagian besar dari 80 pengecer yang bekerja pada Asran berasal dari Cirebon. Acara mudik ini sengaja diatur Asran agar waktunya tak tubrukan dengan hari edar TEMPO. "Kalau TEMPO habis, kami pulang kampung," kata Are. Nah, untuk membantu Are dan ribuan teman-teman para pengecer itu, jadwal edar itu dimajukan. Selain itu, kami semua tentu ingin pula berlibur Lebaran, seperti halnya Are dan kawan-kawannya. Akhirul kalam, kami mengucapkan "Selamat Hari Raya Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin" kepada semua pembaca.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini