Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Mangrapai nek atta

Upacara kematian di toraja merupakan peninggalan animisme, diadakan secara besar-besaran sewaktu upacara pemakaman nek atta. kerbau yang dipotong 30 ekor sesuai nilai kerbau yang disumbangkan ahli waris.(ils)

28 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UPACARA kematian di Toraja adalah peninggalan animisme. Orang-orang Toraja menyebutnya Aluk Todolo (Norma Orang Purba). Ada dua upacara adat purba yang masih membekas dan dianut sampai sekarang. Yaitu upacara mendirikan rumah dan upacara kematian. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa aturan-aturan kedua upacara itu sudah mengalami banyak pengkikisan dari ketentuan Aluk Tadolo asli. Dengan masuknya agam Kristen dan Islam maka tinggal acara-acara yang tidak melanggar agama dan masuk akal saja yang diselenggarakan. Untuk upacara membuat rumah tidak lagi harus memotong sekian ekor babi dan kerbau tapi cukup diniatkan saja. Menurut Aluk Todolo, sejak meratakan tanah, memasang tiang pertama sampai resmi rumah ditinggali, harus melewati sekian upacara dengan penggorokan leher beberapa hewan. Hewan-hewan dipotong selain untuk dikorbankan juga untuk "membayar" tenaga para pekerja. Mereka diberi makan. Pekerjaan itu sendiri dilakukan dengan gotong royong. Bertaji Besi Upacara penguburan (kematian) disebut magrapai. Jenazah biasanya disimpan lebih dulu didalam rumah sampai semua keluarga setuju untuk mengadakan upacara. Hanya keluarga berada yang mampu mengadakan upacara penguburan secara besar-besaran. Dalam suatu upacara yang ditonton banyak orang, di arena di mana jenazah juga disimpan, dipertontonkan sabung ayam. Adu ayam tidak berlangsung lama, hanya beberapa menit. Salah seekor biasanya cepat keok dan berlumuran darah, sebab masing-masing kedua kaki ayam yang disabung itu dipasang taji besi yang tajam. Setelah salah satu ayam tak berdaya, ada bagian tubuhnya yang dipotong. Kemudian jago yang menang didekatkan kepada si kalah. Bila si calon pemenang mematuk kepala lawannya yang sudah tidak berdaya itu maka resmilah dia menang. Tapi bila sebaliknya, dia tidak mematuk lawannya maka pertarungan dianggap seri. Adu ayam ini sering dilarang karena dimanfaatkan untuk taruhan uang. Tetapi baru-baru ini sewaktu upacara pemakaman Nek Atta, taruhan uang berlangsung di depan anggota Kepolisian dan ditonton oleh Menko Surono dan Menteri Rusmin Nuryadin. Para keluarga yang ikut berduka menyumbang sejumlah harta, seperti babi dan kerbau, minuman tuak, daun pisang dll. Babi yang kecil cukup digantung di bawah ketiak seperti kalau kita membawa tas. Babi yang sedang besarnya dipikul oleh dua atau tiga orang. Yang besar dipikul oleh empat orang atau lebih. Bila babi-babi ini merasa kesakitan mereka akan berteriak seenaknya, tidak peduli ditengah tontonan orang. Bila salah seekor babi berteriak maka babi-babi lain solider ikut berteriak. Hingga terjadilah koor yang ramai. Memotong babi dilakukan dengan menusukkan benda tajam di dekat pangkal kaki depannya. Maksudnya untuk menerubus jantungnya. Seekor babi besar di Toraja berharga sekitar Rp 100-Rp 150 ribu. Dalam upacara kematian menjelang penguburan itu, kerbau atau bahasa Torajanya: tedong memegang peranan penting. Hewan ini diadu dan ditonton orang. Adu kerbau ini disebut mapasilaga tedong. Sepasang kerbau dibawa maju oleh kedua pengawalnya. Setelah dekat, kedua pengawal melepaskan tali yang dipegangnya. Tanpa menunggu waktu lagi, kedua tanduk kerbau saling beradu. Ujung-ujung tanduk digeserkan untuk mencari kemungkinan melukai dan mengalahkan lawannya. Pergulatan bisa berpindah tempat. Penonton biasanya berjejal mendekat. Mereka menjadi kacau balau kalau salah satu kerbau itu menghindar mencari tempat yang lebih baik. Pertarungan dianggap selesai bila salah seekor lari meninggalkan gelanggang. Ia kalah. Sekali Tebas Acara pemotongan kerbau tak kurang menarik. Algojonya memegangi tali kerbau. Di samping pinggangnya tergantung parang yang disebut la'bo' dua lalan. Algojonya disebut pa'tinggoro. Penyembelih berlangsung secara kilat. Kepala kerbau didongakkan agar leher menegang. Secepat kilat penjagalnya mengayunkan parang ke leher hewan itu. Darah mengucur. Tali dilepaskan oleh si algojo. Dan kerbau itu tak berdaya, rebah. Patinggoro dengan tenang membersihkan parangnya yang berdarah pada tubuh korbannya. Orang heran akan kecepatan dan kelihayan si algojo. Jarang kita melihat ada orang yang menyembelih binatang hanya dengan sekali tebas. Menurut beberapa keterangan, tidak semua orang Toraja dapat melakukannya. Hanya orang tertentu yang "berisi" mendapat tugas sebagai pa'tinggoro. Daging kerbau yang telah disembelih, dibagi-bagi dengan ketentuan tersendiri. Para bangsawan yang disebut siambe' boleh mengambil hati dan kepala. Pa' tinggoro mendapat bagian leher. Tulang rusuk setelah dipotong-potong, isi perut dan lain lain untuk golongan orang kebanyakan yang dinamai tobuda. Bagian lainnya untuk golongan menengah, yaitu golongan tomakaka. Pembagian ini juga berlaku pada hewan babi atau bai menurut bahasa Toraja. Para keluarga yang menyumbang hewan masih mendapat hak untuk membawa pulang bagian-bagian tubuh hewan yang disembelih. Bagian yang dibawa pulang kembali bernama pa'patampakan, yang biasanya berupa jerohan, bagian ekor dan paha. Terakhir ada juga kesepakatan: 1 kaki depan disumbangkan kepada Lembaga Sosial Desa. LSD menjualnya dan uangnya digunakan untuk kepentingan desa. Orang yang dimangrapai dengan besar-besaran mempunyai peninggalan tanah yang akan diwariskan. Ahli waris berduyun-duyun menyerahkan hewannya. Besar warisan yang akan diterima ditentukan oleh jumlah kerbau yang disumbangkan. Karena itu kerbau harus dinilai oleh dewan juri. Maka para kerbau itu melenggang lenggok di depan juri. Baru-baru ini, dalam upacara mangrapai Nek Atta, kerbau tertinggi mempunyai nilai 15. Ini berarti bahwa dia seharga 15 kali kerbau biasa atau kalau dirupiahkan berharga sekitar Rp 800 ribu. Kerbau biasa yang disebut sambau' bernilai 1. Nilai Warisan Kerbau belang (tedong bonga) mempunyai nilai lebih tinggi dibandingkan dengan kerbau hitam biasa. Bila berbelang banyak akan lebih tinggi lagi. Namanya tedong saleko. Kerbau hitam (pudu') bisa bernilai sama dengan saleko asal cukup gagah dan besar, biasanya dikebiri. Kerbau belang tidak dikebiri. Kerbau bule tidak pernah ada di Toraja, Konon dulu, bila nenek moyang orang Toraja sedang sakit, dicarikan obat dengan menunggang kerbau bule. Kata orang pula, kerbau bule yang lahir di Toraja selalu cacad. Waktu upacara pemakaman Nek Atta minggu kedua Oktober yang lalu, kerbau yang dipotong bernilai lebih 300 ekor. Jangan terkejut, kerbau yang resmi dipotong hanya sekitar 30 ekor. Jumlah ini menjadi melonjak 10 kalinya karena penilaian dewan juri tadi. Orang luar selalu menganggap bahwa pesta kematian di Toraja sebagai penghamburan uang. "Jangan meninjau dari segi ekonomi melulu," kata dr. Tandirerung kepada TEMPO. "Kalau dari sudut ekonomi saja memang betul, tapi tinjau juga dari sudut adat, pewarisan, pariwisata, dan lain-lain. Orang-orang Barat kini kembali ke dunia rohani dan mistik dengan mengorbankan banyak materi," tambahnya. Dokter Tandirerung -- salah seorang tokoh masyarakat Toraja mungkin benar tapi lupa disebutkan bahwa masyarakat barat itu telah lebih dulu mapan di bidang materi. Sedang kita belum. Hewan-hewan yang dipotong itu bukan berasal dari satu keluarga. Tapi dari banyak keluarga yang merasa ikut berdukadan merasa dahulunya keluarga si mati pernah pula menyumbang hewan kepadanya. Jadi kalau tidak berusaha "mengembalikan" hutang sumbangan tersebut, bisa malu. Semacam arisanlah. Jenazah atau kerangka si mati akan dimasukkan ke dalam rumah-rumahan yang disebut patane. Rumah-rumahan ini dipersiapkan untuk sekeluarga. Sekarang ini tidak ada lagi kerangka baru yang disimpan di dalam erong (peti kayu berukir kepala hewan) atau dimasukkan ke dalam leang, yaitu lubang yang dibuat di bukit batu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus