UPACARA kematian di Toraja adalah peninggalan animisme.
Orang-orang Toraja menyebutnya Aluk Todolo (Norma Orang Purba).
Ada dua upacara adat purba yang masih membekas dan dianut sampai
sekarang. Yaitu upacara mendirikan rumah dan upacara kematian.
Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa aturan-aturan kedua
upacara itu sudah mengalami banyak pengkikisan dari ketentuan
Aluk Tadolo asli. Dengan masuknya agam Kristen dan Islam maka
tinggal acara-acara yang tidak melanggar agama dan masuk akal
saja yang diselenggarakan. Untuk upacara membuat rumah tidak
lagi harus memotong sekian ekor babi dan kerbau tapi cukup
diniatkan saja. Menurut Aluk Todolo, sejak meratakan tanah,
memasang tiang pertama sampai resmi rumah ditinggali, harus
melewati sekian upacara dengan penggorokan leher beberapa hewan.
Hewan-hewan dipotong selain untuk dikorbankan juga untuk
"membayar" tenaga para pekerja. Mereka diberi makan. Pekerjaan
itu sendiri dilakukan dengan gotong royong.
Bertaji Besi
Upacara penguburan (kematian) disebut magrapai. Jenazah
biasanya disimpan lebih dulu didalam rumah sampai semua keluarga
setuju untuk mengadakan upacara. Hanya keluarga berada yang
mampu mengadakan upacara penguburan secara besar-besaran.
Dalam suatu upacara yang ditonton banyak orang, di arena di mana
jenazah juga disimpan, dipertontonkan sabung ayam. Adu ayam
tidak berlangsung lama, hanya beberapa menit. Salah seekor
biasanya cepat keok dan berlumuran darah, sebab masing-masing
kedua kaki ayam yang disabung itu dipasang taji besi yang
tajam.
Setelah salah satu ayam tak berdaya, ada bagian tubuhnya yang
dipotong. Kemudian jago yang menang didekatkan kepada si kalah.
Bila si calon pemenang mematuk kepala lawannya yang sudah tidak
berdaya itu maka resmilah dia menang. Tapi bila sebaliknya, dia
tidak mematuk lawannya maka pertarungan dianggap seri.
Adu ayam ini sering dilarang karena dimanfaatkan untuk taruhan
uang. Tetapi baru-baru ini sewaktu upacara pemakaman Nek Atta,
taruhan uang berlangsung di depan anggota Kepolisian dan
ditonton oleh Menko Surono dan Menteri Rusmin Nuryadin.
Para keluarga yang ikut berduka menyumbang sejumlah harta,
seperti babi dan kerbau, minuman tuak, daun pisang dll. Babi
yang kecil cukup digantung di bawah ketiak seperti kalau kita
membawa tas. Babi yang sedang besarnya dipikul oleh dua atau
tiga orang. Yang besar dipikul oleh empat orang atau lebih. Bila
babi-babi ini merasa kesakitan mereka akan berteriak seenaknya,
tidak peduli ditengah tontonan orang. Bila salah seekor babi
berteriak maka babi-babi lain solider ikut berteriak. Hingga
terjadilah koor yang ramai.
Memotong babi dilakukan dengan menusukkan benda tajam di dekat
pangkal kaki depannya. Maksudnya untuk menerubus jantungnya.
Seekor babi besar di Toraja berharga sekitar Rp 100-Rp 150 ribu.
Dalam upacara kematian menjelang penguburan itu, kerbau atau
bahasa Torajanya: tedong memegang peranan penting. Hewan ini
diadu dan ditonton orang. Adu kerbau ini disebut mapasilaga
tedong.
Sepasang kerbau dibawa maju oleh kedua pengawalnya. Setelah
dekat, kedua pengawal melepaskan tali yang dipegangnya. Tanpa
menunggu waktu lagi, kedua tanduk kerbau saling beradu.
Ujung-ujung tanduk digeserkan untuk mencari kemungkinan melukai
dan mengalahkan lawannya.
Pergulatan bisa berpindah tempat. Penonton biasanya berjejal
mendekat. Mereka menjadi kacau balau kalau salah satu kerbau itu
menghindar mencari tempat yang lebih baik. Pertarungan dianggap
selesai bila salah seekor lari meninggalkan gelanggang. Ia
kalah.
Sekali Tebas
Acara pemotongan kerbau tak kurang menarik. Algojonya memegangi
tali kerbau. Di samping pinggangnya tergantung parang yang
disebut la'bo' dua lalan. Algojonya disebut pa'tinggoro.
Penyembelih berlangsung secara kilat. Kepala kerbau didongakkan
agar leher menegang. Secepat kilat penjagalnya mengayunkan
parang ke leher hewan itu. Darah mengucur. Tali dilepaskan oleh
si algojo. Dan kerbau itu tak berdaya, rebah. Patinggoro dengan
tenang membersihkan parangnya yang berdarah pada tubuh
korbannya.
Orang heran akan kecepatan dan kelihayan si algojo. Jarang kita
melihat ada orang yang menyembelih binatang hanya dengan sekali
tebas. Menurut beberapa keterangan, tidak semua orang Toraja
dapat melakukannya. Hanya orang tertentu yang "berisi" mendapat
tugas sebagai pa'tinggoro.
Daging kerbau yang telah disembelih, dibagi-bagi dengan
ketentuan tersendiri. Para bangsawan yang disebut siambe' boleh
mengambil hati dan kepala. Pa' tinggoro mendapat bagian leher.
Tulang rusuk setelah dipotong-potong, isi perut dan lain lain
untuk golongan orang kebanyakan yang dinamai tobuda. Bagian
lainnya untuk golongan menengah, yaitu golongan tomakaka.
Pembagian ini juga berlaku pada hewan babi atau bai menurut
bahasa Toraja.
Para keluarga yang menyumbang hewan masih mendapat hak untuk
membawa pulang bagian-bagian tubuh hewan yang disembelih. Bagian
yang dibawa pulang kembali bernama pa'patampakan, yang biasanya
berupa jerohan, bagian ekor dan paha. Terakhir ada juga
kesepakatan: 1 kaki depan disumbangkan kepada Lembaga Sosial
Desa. LSD menjualnya dan uangnya digunakan untuk kepentingan
desa.
Orang yang dimangrapai dengan besar-besaran mempunyai
peninggalan tanah yang akan diwariskan. Ahli waris
berduyun-duyun menyerahkan hewannya. Besar warisan yang akan
diterima ditentukan oleh jumlah kerbau yang disumbangkan. Karena
itu kerbau harus dinilai oleh dewan juri. Maka para kerbau itu
melenggang lenggok di depan juri. Baru-baru ini, dalam upacara
mangrapai Nek Atta, kerbau tertinggi mempunyai nilai 15. Ini
berarti bahwa dia seharga 15 kali kerbau biasa atau kalau
dirupiahkan berharga sekitar Rp 800 ribu. Kerbau biasa yang
disebut sambau' bernilai 1.
Nilai Warisan
Kerbau belang (tedong bonga) mempunyai nilai lebih tinggi
dibandingkan dengan kerbau hitam biasa. Bila berbelang banyak
akan lebih tinggi lagi. Namanya tedong saleko. Kerbau hitam
(pudu') bisa bernilai sama dengan saleko asal cukup gagah dan
besar, biasanya dikebiri. Kerbau belang tidak dikebiri.
Kerbau bule tidak pernah ada di Toraja, Konon dulu, bila nenek
moyang orang Toraja sedang sakit, dicarikan obat dengan
menunggang kerbau bule. Kata orang pula, kerbau bule yang lahir
di Toraja selalu cacad.
Waktu upacara pemakaman Nek Atta minggu kedua Oktober yang lalu,
kerbau yang dipotong bernilai lebih 300 ekor. Jangan terkejut,
kerbau yang resmi dipotong hanya sekitar 30 ekor. Jumlah ini
menjadi melonjak 10 kalinya karena penilaian dewan juri tadi.
Orang luar selalu menganggap bahwa pesta kematian di Toraja
sebagai penghamburan uang. "Jangan meninjau dari segi ekonomi
melulu," kata dr. Tandirerung kepada TEMPO. "Kalau dari sudut
ekonomi saja memang betul, tapi tinjau juga dari sudut adat,
pewarisan, pariwisata, dan lain-lain. Orang-orang Barat kini
kembali ke dunia rohani dan mistik dengan mengorbankan banyak
materi," tambahnya. Dokter Tandirerung -- salah seorang tokoh
masyarakat Toraja mungkin benar tapi lupa disebutkan bahwa
masyarakat barat itu telah lebih dulu mapan di bidang materi.
Sedang kita belum.
Hewan-hewan yang dipotong itu bukan berasal dari satu keluarga.
Tapi dari banyak keluarga yang merasa ikut berdukadan merasa
dahulunya keluarga si mati pernah pula menyumbang hewan
kepadanya. Jadi kalau tidak berusaha "mengembalikan" hutang
sumbangan tersebut, bisa malu. Semacam arisanlah.
Jenazah atau kerangka si mati akan dimasukkan ke dalam
rumah-rumahan yang disebut patane. Rumah-rumahan ini
dipersiapkan untuk sekeluarga. Sekarang ini tidak ada lagi
kerangka baru yang disimpan di dalam erong (peti kayu berukir
kepala hewan) atau dimasukkan ke dalam leang, yaitu lubang yang
dibuat di bukit batu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini