Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Belum Rampung, Dengan Harapan

Penduduk desa Sitonong, kecamatan Sibolga, Tapanuli tengah, dipindahkan ke pemukiman baru di karet merah kecamatan lumut, Tapanuli Tengah. Karena kurangnya dana, areal persawahan belum siap. (ds)

28 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA 67 kepala keluarga (KK) dengan 374 jiwa menghuni desa terpencil di kaki Bukit Barisan. Nama desa itu Sitonong. Termasuk wilayah Kecamatan Sibolga, Tapanuli Tengah. Dahulukala desa ini didiami oleh ratusan kk. Tapi jumlahnya menciut terus berbarengan dengan semakin sulitnya kehidupan di desa ini. Betapa tidak, jika hampir seluruh warga desa menggantungkan hidup mereka pada getah karet yang hasilnya amat tak memadai dibanding jerih payah sejak tahun-tahun belakangan ini. Fasilitas kehidupan juga tak sepantasnya. Rumah-rumah yang ada lebih tepat disebut gubuk-gubuk, masing-masing saling terpencil. Sekolah, apalagi sarana kesehatan, tak ada. Untuk sampai ke Desa Sitonong hanya mungkin dengan berjalan kaki. Lebih dari semua ini, pohon-pohon karet yang menjadi sumber kehidupan, sudah tua-tua. Enggan memberi rejeki memadai bagi para penyadapnya. Begitu sulit kehidupan warga desa, sehingga hanya untuk membayar Ipeda saja kurang mampu. Ini pengakuan J. Panggabean, Kepala Desa Sitonong. Untung keadaan begitu tak perlu berlarut. Desa dan penghuni Sitonong sejak awal tahun lalu menjadi sasaran proyek pemukiman (resettlement). Warga desa diminta pindah ke pemukiman baru di Karet Merah Kecamatan Lumut, masih di Kabupaten Tapanuli Tengah juga. Berjarak sekitar 43 Km dari Desa Sitonong. Sebanyak 67 buah rumah berukuran 6 x 6 meter sudah disediakan. Begitu juga 2 hektar calon sawah bagi tiap kk, SD Inpres, Puskesmas dan irigasi sederhana. Pokoknya semua fasilitas tersedia. Setiap kk diberi uang santunan Rp 14.000 sebulan selama 6 bulan. Desa baru ini kemudian diberi nama Sitonong Bangun. Rencana pemukiman baru ini sebenarnya sudah timbul sejak 1957. Yaitu pada saat tanah longsor menimpa Kota Sibolga setahun sebelumnya. Alasan pemindahan desa itu di samping Sitonong berada di jalur yang sensitif gempa, juga untuk menjaga kelestarian sumber air minum kota Sibolga yang sungainya berhulu di desa itu. Tapi yang pasti desa itu sendiri tak mungkin memberi kehidupan lebih baik bagi warganya. Tanah Longsor Tahap pertama akhir Juli lalu pindahlah sebanyak 30 kk ke Sitonong Baru. Dengan penuh harapan. Sisanya menunggu tahap berikutnya. Tapi ternyata hingga akhir bulan lalu fasilitas persawahan yang disediakan untuk mereka belum kunjung rampung juga: Yang bernama calon areal persawahan dengan luas 200 hektar itu kini tak lebih dari tempat balok-balok kayu tumbang yang bergelimpangan tak menentu. Kegelisahan timbul. Terutama karena batas waktu uang santunan yang Rp 14.000 itu makin dekat juga berakhirnya. Jika sudah berakhir: makan apa lagi? Akibatnya tak sulit ditebak. Beberapa orang penghuni Sitonong Bangun yang mulai cemas -- apalagi uang santunan itu dirasa sudah tak memadai - mulai membuat langkah. Ada yang kembali ke desa semula (Sitonong) untuk menyadap karet. Tak sedikit pula yang menjadi buruh pada proyek-proyek jalan. Tapi ada pula yang mencoba tetap bertahan karena yakin suatu ketika tanah persawahan itu akan selesai juga. Tapi kapan? Tambah Biaya Terus Pihak Pembangunan Masyarakat Desa (PMD) Sumatera Utara yang menangani pemukiman ini, memang mengakui keterlambatan penyelesaian proyek itu. Namun penyebabnya tak perlu diselusuri terlalu jauh: kekurangan dana. Pada mulanya proyek ini diurus oleh Dinas Kehutanan Sumatera Utara. Biaya yang disediakan Rp 40 juta. Itu tahun 1971/1972. Instansi ini ternyata merasa tak mampu. Juga karena biaya terlampau kecil. Maka 1975 proyek ini dinyatakan macet. Untung pihak Pemerintah Pusat menyetujui dana tambahan bagi proyek itu. Biaya ditambah Rp 29 juta lagi. Sejak ini proyek tadi ditangani PMD. Inipun harus ditambah lagi Rp 17 juta lebih. Masih tak cukup. Dan belum rampung juga sampai hari ini. Rupanya kekurangan biaya itu sudah diduga oleh beberapa orang pejabat yang mengurus proyek ini. Tapi bulan Juli lalu penduduk dipindahkan juga "dengan harapan akan mendorong tambahan biaya". Jadinya, begitulah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus