ADA 67 kepala keluarga (KK) dengan 374 jiwa menghuni desa
terpencil di kaki Bukit Barisan. Nama desa itu Sitonong.
Termasuk wilayah Kecamatan Sibolga, Tapanuli Tengah. Dahulukala
desa ini didiami oleh ratusan kk. Tapi jumlahnya menciut terus
berbarengan dengan semakin sulitnya kehidupan di desa ini.
Betapa tidak, jika hampir seluruh warga desa menggantungkan
hidup mereka pada getah karet yang hasilnya amat tak memadai
dibanding jerih payah sejak tahun-tahun belakangan ini.
Fasilitas kehidupan juga tak sepantasnya. Rumah-rumah yang ada
lebih tepat disebut gubuk-gubuk, masing-masing saling terpencil.
Sekolah, apalagi sarana kesehatan, tak ada. Untuk sampai ke Desa
Sitonong hanya mungkin dengan berjalan kaki. Lebih dari semua
ini, pohon-pohon karet yang menjadi sumber kehidupan, sudah
tua-tua. Enggan memberi rejeki memadai bagi para penyadapnya.
Begitu sulit kehidupan warga desa, sehingga hanya untuk membayar
Ipeda saja kurang mampu. Ini pengakuan J. Panggabean, Kepala
Desa Sitonong.
Untung keadaan begitu tak perlu berlarut. Desa dan penghuni
Sitonong sejak awal tahun lalu menjadi sasaran proyek pemukiman
(resettlement). Warga desa diminta pindah ke pemukiman baru di
Karet Merah Kecamatan Lumut, masih di Kabupaten Tapanuli Tengah
juga.
Berjarak sekitar 43 Km dari Desa Sitonong. Sebanyak 67 buah
rumah berukuran 6 x 6 meter sudah disediakan. Begitu juga 2
hektar calon sawah bagi tiap kk, SD Inpres, Puskesmas dan
irigasi sederhana. Pokoknya semua fasilitas tersedia. Setiap kk
diberi uang santunan Rp 14.000 sebulan selama 6 bulan. Desa baru
ini kemudian diberi nama Sitonong Bangun.
Rencana pemukiman baru ini sebenarnya sudah timbul sejak 1957.
Yaitu pada saat tanah longsor menimpa Kota Sibolga setahun
sebelumnya. Alasan pemindahan desa itu di samping Sitonong
berada di jalur yang sensitif gempa, juga untuk menjaga
kelestarian sumber air minum kota Sibolga yang sungainya berhulu
di desa itu. Tapi yang pasti desa itu sendiri tak mungkin
memberi kehidupan lebih baik bagi warganya.
Tanah Longsor
Tahap pertama akhir Juli lalu pindahlah sebanyak 30 kk ke
Sitonong Baru. Dengan penuh harapan. Sisanya menunggu tahap
berikutnya. Tapi ternyata hingga akhir bulan lalu fasilitas
persawahan yang disediakan untuk mereka belum kunjung rampung
juga: Yang bernama calon areal persawahan dengan luas 200 hektar
itu kini tak lebih dari tempat balok-balok kayu tumbang yang
bergelimpangan tak menentu. Kegelisahan timbul. Terutama karena
batas waktu uang santunan yang Rp 14.000 itu makin dekat juga
berakhirnya. Jika sudah berakhir: makan apa lagi?
Akibatnya tak sulit ditebak. Beberapa orang penghuni Sitonong
Bangun yang mulai cemas -- apalagi uang santunan itu dirasa
sudah tak memadai - mulai membuat langkah. Ada yang kembali ke
desa semula (Sitonong) untuk menyadap karet. Tak sedikit pula
yang menjadi buruh pada proyek-proyek jalan. Tapi ada pula yang
mencoba tetap bertahan karena yakin suatu ketika tanah
persawahan itu akan selesai juga. Tapi kapan?
Tambah Biaya Terus
Pihak Pembangunan Masyarakat Desa (PMD) Sumatera Utara yang
menangani pemukiman ini, memang mengakui keterlambatan
penyelesaian proyek itu. Namun penyebabnya tak perlu diselusuri
terlalu jauh: kekurangan dana. Pada mulanya proyek ini diurus
oleh Dinas Kehutanan Sumatera Utara. Biaya yang disediakan Rp 40
juta. Itu tahun 1971/1972. Instansi ini ternyata merasa tak
mampu. Juga karena biaya terlampau kecil. Maka 1975 proyek ini
dinyatakan macet.
Untung pihak Pemerintah Pusat menyetujui dana tambahan bagi
proyek itu. Biaya ditambah Rp 29 juta lagi. Sejak ini proyek
tadi ditangani PMD. Inipun harus ditambah lagi Rp 17 juta lebih.
Masih tak cukup. Dan belum rampung juga sampai hari ini.
Rupanya kekurangan biaya itu sudah diduga oleh beberapa orang
pejabat yang mengurus proyek ini. Tapi bulan Juli lalu penduduk
dipindahkan juga "dengan harapan akan mendorong tambahan biaya".
Jadinya, begitulah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini