PENAMPILAN konser Solo Now yang didukung oleh Joachim Kuhn
(piano), Albert Mangelsdorff (trombon), Gunter Hampel (vibrafon,
klarinet bas dan suling) serta Pierre Favre (perkusi), mungkin
membosankan penonton. Acara yang disodorkan Goethe Institut
Jakarta dengan mengambil tempat di Teater Terbuka TIM 13 Oktober
itu merupakan penampilan pertama buat Indonesia, di mana para
pemain jazz Eropa itu tampil sendiri-sendiri dengan instrumen
masing-masing. "Sesuai dengan gerak musik di Eropa sekarang, ini
adalah eksepsi total," ujar Joachim Kuhn yang mengawali acara
dengan piano.
Bergantian musisi kaliber gede itu muncul di panggung yang
ditata sederhana. Meski mereka sempat menampilkan satu nomor
duet piano dan trombon, serta satu nomor untuk kwartet pada
akhir acara, titik berat mereka tetap solo. Penonton diberi
suguhan yang kwa teknis tinggi serta menitikberatkan improvisasi
dan penjajagan kemungkinan. Musik bukan lagi perangkap yang
bermaksud memukau orang untuk mengikutinya dengan ketukan kaki.
Mereka demikian bebasnya, sehingga benar-benar tidak untuk
dinikmati tetapi "dialami". Tak heran kalau seorang pengamat
jazz berkata: "Ini tak bisa diikuti lagi."
Diukur dari rasa indah yang "nglaras", yang santai, Solo Now
memang membosankan. Monotun, tidak komunikatif. Lebih merupakan
proses perjalanan musik Eropa yang sedang gentayangan mencari
kemungkinan setelah mencapai kesempurnaan teknis. Instrumen
tidak lagi diperlakukan sebagai alat peniru. Sebagaimana lukisan
abstrak di mana cat adalah cat, bunyi kembali menjadi bunyi
semata-mata. Nilai tertinggi ada pada kemungkinan bunyi itu
sendiri semaksimal yang dapat dicapai dengan latar belakang
klasik, yang membedakan warna musik Eropa ini dengan jazz
Amerika misalnya, bunyi tersebut seakan membebaskan diri dari
kesan cantik. Mereka melenting dengan liar, sering dengan
sengaja mempeyotkan keindahannya.
Joachim Kuhn membawakan lagu Over Doses, I'm Loving You dan
Chill. Bermain penuh gairah, tampak jelas kekayaan imajinasi
dan sosok pribadinya -- dari bunyi piano. Ia telah merubah piano
itu menjadi sebuah ruang tersendiri dan dapat dimainkan tanpa
pertolongan instrumen lain. Hal yang sama dilakukan juga oleh
Albert Mangelsdorff pemain trombon yang tahun ini memenangkan 4
posisi utama dalam kehidupan jazz Eropa -- dianggap sebagai
Musician Of The Year, Best European Trombonist, Best Trombonist
In The World Best Record Of The Year. Biarlah.
Mangelsdorff memainkan nomor Lapped, Creole Love Call,
Accidentall Meeting dan Step On An Elepbant. Lagu terakhir
dilaksanakan bersama dengan Kuhn. Ia di samping besar, tampak
sangat berpengalaman. Pribadinya kelihatan mantap. Dengan
trombon ia tidak hanya sempat menunjukkan berbaga kemungkinan
yang aneh, tetapi juga kemampuan satu trombon untuk menyuguhkan
apa yang biasanya dihasilkan oleh sebuah orkes lengkap. Oran
ini hebat, memang. Tidak hanya diakui di Eropa -- juga mendapat
tempat istimewa d Amerika.
Setelah masa jedah, muncul si kerempeng jangkung Gunter Hampel.
Ia menunjukkan keserba-bisaannya dengan berganti-ganti alat.
Tiupan sulingnya dalam sebuah nomor yang bernama Kiss terasa
sangat sensuil dan menimbulkan kekaguman karena kegesitan
jari-jarinya. Disusul oleh Pierre Favre yang melangkah dengan
pongah seperti militer yang lucu dari balik panggung menuju ke
dramnya.
Kecewa
Pemuda kelahiran Swiss itu mulanya pemain jazz Dixieland, Swing
dan Bebop. Sekarang dengan dikitari dram, gong, simbal, bel dan
aneka warna alat ia menjadi seorang pencari yang haus. Segalanya
ia coba. Lidi, sikat, martil kayu, gergaji, jarum jahit, bola
karet, tongkat plastik, ia eksploitir. Hasilnya adalah sesuatu
yang riang, seger dan aneh, tetapi lucu karena ia sendiri
memandang perilakunya dengan sederhana bahkan agak berolok-olok.
Konser Solo Now merupakan bandingan tentang apa yang sedang
terjadi di Eropa sekarang. Para penonton boleh saja jemu, nggak
ngerti, tidak suka, tetapi itulah yang disukai di sana sekarang.
"Pendengar di Indonesia memang belum siap untuk musik kami,"
ujar Joachim Kuhn kepada Bachrun Suwatdi dari TEMPO. "Kami
sudah mencoba kontak, tapi kemudian kecewa karena ternyata kami
tidak bisa membahagiakan mereka." Ditambahkannya: "Di Indonesia
mungkin hanya Jack Lesmana dan Bubby Chen yang bisa mengerti."
Penampilan jazz dengan instrumen solo seperti konser ini, telah
dilakukan pula bulan Agustus 1972 dalam rangka festival jazz di
Olimpiade Muenchen. Waktu itu dedengkot seperti John Mc
Laughlin, Chick Corea, Carry Burton dan Albert Mangelsdorff
bermain pertama kalinya dalam sejarah jazz sendiri-sendiri dalam
nomor yang lengkap. Sekarang gejala ini merupakan sesuatu yang
umum. Tetapi untuk ukuran Indonesia yang baru saja kasmaran
dengan jazz rock atau rock azz, penampilan seperti ini masih
merupakan kebutuhan dunia jazz saja.
"Kami berbeda dengan jazz di Amerika, karena tradisinya berbeda.
Kami memiliki tradisi dan latar belakang musik klasik," kata
Joachim Kuhn. "Saya sendiri bukan pemain jazz. Saya pemain musik
biasa. Saya senang macam-macam, juga musik Indonesia, hanya saja
penonton Asia khususnya Asia Tenggara memang belum siap untuk
menikmati kami." Ditanya tentang musik Indonesia, katanya: "Saya
banyak beli kaset musik Bali. Ia memiliki ekspresi yang sangat
menarik. Dibanding musik Eropa, musik Bali punya keistimewaan
tertentu."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini