Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETIKA pengungsi Rohingya menjadi perhatian, kami membahas kemungkinan mengirim reporter ke Rakhine, kota asal para manusia perahu itu. Kontak-kontak di Myanmar segera dihubungi. Bukan kebetulan, kami memiliki cukup banyak kontak di negara yang lama dikuasai rezim militer itu. Namun mereka umumnya aktivis demokrasi, bukan orang Rohingya.
Toh, selalu ada jalan: kami berhasil mendapatkan seorang kontak yang merupakan tokoh Rohingya. Ia mengatakan reporter Tempo bisa masuk ke Sittwe, ibu kota Rakhine, tapi susah untuk daerah lain. "Harus melewati banyak pos polisi. Penjagaan juga ketat," katanya. Ia pun memberikan beberapa nama yang bisa dihubungi.
Kami memutuskan untuk mengirim Purwani Diyah Prabandari, yang sedang menempuh program magang redaktur utama. Ia segera melakukan riset. Kami juga menugasi Imran M.A., koresponden Tempo di Lhokseumawe, Aceh, untuk mewawancarai pengungsi yang berasal dari Sittwe. Didapatlah Zaidul Haq dan beberapa pengungsi lain, beserta alamat asal mereka. Kelak, Prabandari berhasil menghubungi keluarga mereka.
Prabandari menuju Sittwe melalui Yangon pada Rabu tiga pekan lalu. Karena pengetahuan tentang Sittwe terbatas, ia mencari informasi dari orang-orang Rohingya di bekas ibu kota negara itu. Setelah itu, ia menggunakan Air Mandalay terbang menuju Sittwe. Ketika Prabandari menunggu bagasi di bandar udara, petugas berseragam putih mendatanginya, menanyakan asal, pekerjaan, dan tujuan kedatangan ke kota itu. Hanya dia yang ditanya-tanya. Ternyata itu karena jilbab yang ia kenakan. Sebab, muslim tak bebas bepergian di ibu kota Rakhine itu.
Prabandari memutuskan tidak melaporkan rencana liputannya ke pemerintah Rakhine. Padahal seorang penghubung memberi tahu bahwa hal pertama yang dilakukan setiap pendatang adalah melapor. Prabandari berhitung, jika melapor, bisa saja kemungkinan terburuk bakal menghadangnya: ia tidak diizinkan masuk kawasan Rohingya dan harus terbang kembali ke Yangon. Ia selamat dari hadangan pertama.
Untuk masuk kawasan Rohingya, pelintas harus melewati pos jaga polisi. Lolos dari penjagaan, suasana di dalam kawasan lebih santai. Tapi, demi keamanan Prabandari dan pendamping lokalnya, selalu ada yang bertugas mengamati situasi. Tetap saja polisi memanggil orang-orang Rohingya yang menjadi penerjemah liputan. Untunglah, tak ada tindakan lanjutan dari aparat setelah itu.
Rohingya sangat bersahabat dengan Prabandari. Setiap hari, di tengah kemiskinan mereka, datang undangan makan. Biasanya nasi dan ayam bersantan. Suatu hari, ketika Prabandari mengunjungi kamp pengungsi yang lebih miskin, undangan serupa juga datang. Kali ini menunya daging mirip rendang, ikan kuah kari, dan sayur bening.
Ketika Prabandari mengingatkan bahwa jatah makan keluarga itu bakal berkurang dengan kehadirannya, lelaki 18 tahun yang mengundangnya menyahut cepat dalam bahasa Inggris: "We feed you, and God will feed us."
Sidang pembaca yang terhormat, reportase di Rohingya, yang hasilnya kami publikasikan sebagai laporan utama pekan lalu, merupakan bagian dari usaha kami untuk selalu melihat peristiwa dari pusatnya. Hanya dengan cara itu kami bisa menyajikan informasi paling akurat untuk Anda.
Salam dari Palmerah Barat 8.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo