ADA bahaya bagi seorang pemimpin redaksi: dia perlahan-lahan bisa kehilangan "tuah" jurnalistiknya. Terlibat dalam soal-soal manajemen yang sangat kompleks - menyangkut soal personil, organisasi, peralatan - ia akan lebih banyak duduk di belakang meja. Duduk di belakang meja sebenarnya tidak jelek, jika di sana cukup waktu buat mendiskusikan topik yang hangat dari pelbagai segi, merencanakan isi, mengikuti laporan para wartawan lain, dan mengedit naskah. Tapi semua itu akan lebih seronok bila seorang pemimpin redaksi juga sekali-sekali (karena mustahil untuk selamanya) keluar menjalankan tugas jurnalistik. Tentu saja, "tugas jurnalistik" di sini bukan cuma menghadiri pertemuan-pertemuan resmi, acara protokoler yang kadang-kadang hanya membuang waktu. Karena itulah di TEMPO sang pemimpin redaksi sekali-sekali diberi kesempatan wawancara, reportase, menulis berita - dengan "doktrin": apabila dia bertugas keluar, dia harus menerima ketentuan yang berlaku sebagai reporter. Misalnya, tulisannya, bila kembali, harus diperiksa redaktur yang menjaga rubrik. Usul-usulnya, untuk isi, juga harus diterima rapat. Apa yang akan ditulisnya harus dibahas bersama-sama lebih dulu. Demikianlah. Pertengahan Juni lalu Goenawan Mohamad berangkat ke Washington D.C. Ia bertugas menggantikan Fikri Jufri, untuk sebuah seminar di Bank Dunia. Tapi ia diberi tugas pula - sedapat mungkin - mewawancara orang No. 1 di lembaga internasional itu. Tugas itu dijalankannya dengan mudah. Mungkin karena Indonesia termasuk negeri penting bagi Bank Dunia, yang punya kantor cukup besar di Jakarta. Mungkin karena hubungan TEMPO dengan bagian-bagian lembaga itu selama ini cukup baik: majalah ini cukup dikenal, meskipun pada kalangan yang terbatas. Atau mungkin pula karena para pejabat Bank Dunia - Goenawan Mohamad menemui hampir semua wakil presidennya - ternyata umumnya terbuka untuk memberikan informasi. Tapi, dasar pemimpin redaksi. Selain tugas berseminar dan tugas wawancara-wawancara itu, oleh Biro Pengembangan Manajemen TEMPO, yang dipimpin Zulkifly Lubis, Goenawan juga "dikirim" mengikuti sebuah pertemuan yang membahas pelbagai soal manajemen majalah. Pertemuan itu, yang disebut Publishing Week, berlangsung di New York. Di sana "wakil" TEMPO itu bisa membandingkan dan belajar lebih banyak dari pengalaman permajalahan Amerika. Kesimpulannya: manajemen TEMPO ternyata belum ketinggalan, termasuk dalam bidang perencanaan, penyusunan anggaran, dan persiapan komputerisasi. Tapi siapa tahu soalnya hanya lain ladang lain belalang?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini