JANGAN bicara kepada wartawan. Itulah inti salah satu nomor dari lima nomor perjanjian yang harus diteken tenaga kerja Indonesia (TKI) yang mau bekerja di luar negeri. Ketentuan yang terlampir pada Surat Keputusan Menteri ini agaknya tak ditujukan ke sembarang "luar negeri". Siapa pun tentu mafhum, ketentuan itu terutama ditujukan bagi TKI yang ke Arab Saudi. Yang pertama kali mendorong munculnya ketentuan itu pun adalah pihak Arab Saudi. Sekitar empat bulan lalu, menteri sosial dan perburuhan Saudi menemui dubes RI di Riyadh. Acara: membicarakan bermacam berita surat kabar yang mengungkapkan berbagai keluhan TKI yang bekerja di Arab Saudi. "Kalau keluhan TKI itu dijadikan kesimpulan umum, pihak Arab Saudi merasa keberatan sekali," tutur Achmad Tirtosudiro dubes RI untuk Arab Saudi, lewat telepon kepada TEMPO. "Menurut Syaikh Muhammad Ali Al Fayiz, menteri sosial itu, mereka yang mengeluh jumlahnya cuma sedikit. Tapi kemudian memberikan gambaran seolah olah bangsa Arab biadab." Menteri Muhammad Ali sendiri sebenarnya tak menyinggung-nyinggung soal wawancara pers dengan TKI. Yang menjadikannya keberatan yaitu opini pers Indonesia terhadap Arab Saudi sehubungan dengan kasus-kasus TKI. Singkat cerita, Achmad Tirtosudiro lalu membicarakan keluhan pihak Arab Saudi dengan Menaker Sudomo. Dan akhirnya keluarlah surat keputusan. Sebenarnya, yang dituju surat keputusan Menaker ini adalah penertiban perusahaan pengerahan tenaga kerja. Cuma, dalam Ketentuan Satu pada nomor k disebutkan, adalah kewajiban perusahaan pengerahan tenaga kerja untuk meminta tiap TKI membuat perjanjian tertulis. Tentu, ini mengherankan. Bagaimana bisa pemerintah (dalam hal ini menteri tenaga kerja) mengeluarkan peraturan yang justru cenderung mengurangi hak asasi warga negaranya sendiri yang bekerja di luar negeri? "Lho, bukan begitu," kata Sudomo, kepada wartawan TEMPO Maman Gantra. "Jangan cuma melihat hak asasinya, tapi juga tanggung jawabnya," kata Menteri sambil menunggu pesawat ke Jakarta di landasan udara Husein Sastranegera, Bandung, Senin siang pekan ini. Menurut Sudomo, yang siang itu baru saja melakukan serangkaian kegiatan di Bandung, kebanyakan kasus yang dibeberkan TKI di Arab Saudi mengganggu hubungan Indonesia-Arab Saudi. "Dan apakah sudah dicek kebenaran kasus-kasus itu?" tanya Menteri pula. Bagi Sudomo, kebanyakan pernyataan TKI yang berkeluh kesah atas penderitaannya di tanah orang cuma dalih. "Mereka cuma cari alasan untuk memutuskan kontrak. Agar dengan demikian mereka terhindar dari tuntutan ganti rugi." Kerepotan ini sebenarnya hanya menyangkut tenaga kerja wanita. Tenaga kerja pria, kata Sudomo pula, tak ada persoalan. Peraturan baru tak berarti menutup semua jalan bila TKI mau mengadu. Jalur yang sudah diatur - yaitu lewat majikan, lalu lewat perwakilan perusahaan, dan kemungkin ketiga melalui kedutaan besar RI - tetap terbuka. Soalnya kini, mengapa saluran yang disarankan seolah justru dijauhi para TKI yang punya masalah. Di KBRI di Jeddah enam bulan terakhir ini tercatat 800 kasus TKI. Hampir 20% atau sekitar 170 kasus belum terselesaikan hingga pekan ini. Dan lebih dari 80% kasus menyangkut tenaga kerja wanita. Jumlah kasus cukup mengagetkan pihak KBRI. "Ini menunjukkan TKI kita makin pintar, hingga kasus sekecil apa pun mereka adukan," komentar Achmad Tirtosudiro. Yang tak tercatat adalah berapa kasus yang pernah ditangani perusahaan pengerahan TKI itu sendiri. "Ini merupakan indikasi bahwa pihak yang seharusnya menyelesaikan masalah bekerja dengan tak memuaskan," kata H. Fachrurrazi, anggota Komisi VIII DPR-RI (bidang urusan sosial dan wanita). Pihak KBRI sendiri kini aktif bergerak. Bila terdengar ada TKI masuk, langsung dicari untuk dicatat alamat majikan mereka. "Bila mereka atau perusahaan yang mengirim mereka tak melaporkan ke KBRI, begitu masuk rumah di Arab Saudi. sudah sulit di jejaki," kata Ackmad Tirtosudiro pula. Toh, ia masih merasa kecolongan. Yang terdaftar di KBRI kini 46.340 TKI. Menurut dugaannya, ada sekitar 56.000 TKI di negeri unta ini. Yang kini dipersoalkan banyak pihak: Adakah peraturan baru ini bisa dipertanggung jawabkan? Ini, menurut direktur Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBHI) T. Mulya Lubis, menyalahi UUD 1945 pasal 28, yang menjamin semua warga negara berhak menyatakan pendapat. Lalu, direktur LBHI itu juga melihat, ketentuan Menaker itu melanggar Hukum Acara Pidana. Sebab, bila pihak perusahaan yang mengirimkan para TKI tidak tanggap, lalu kepada siapa para TKI harus mengadukan nasibnya? "Seandainya ada TKI yang menggugat peraturan itu, bisa saja Mahkamah Agung membatalkan dengan hak uji materiilnya. Cuma, harus ada TKI yang menggugat," tutur Mulya Lubis. Hingga awal pekan ini belum terdengar seorang TKI pun mengajukan keberatan terhadap ketentuan baru ini. Yang malah muncul di Jakarta, persisnya di kantor TEMPO, adalah angket gelap tentang TKI yang mengatasnamakan majalah ini (lihat: Box). Rupanya, bagi Depnaker, soal TKI lebih merupakan "menjaga hubungan baik dua negara". Sedangkan bagi pihak yang terlibat - misalnya seorang bapak dari Pekalongan yang minta tolong ke TEMPO karena istrinya sudah setahun tak terdengar kabar beritanya di Arab saudi - tentu bukan sekadar hubungan diplomatik. Ini soal kemanusiaan. Bambang Bujono Laporan Musthafa Helmi (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini