SEMBILAN amplop berprangko Arab Saudi sampai ke TEMPO. Cap pos hampir sama, tanggal 20-an April 1985. Dan isinya ternyata sama: lembar angket yang sudah diisi. Di sudut kiri lembar angket tertulis: "Bahan kajian Masalah Tenaga Kerja Indonesia di Arab Saudi". Tak jelas siapa yang membikin angket itu, yang diisi oleh TKI yang semuanya bekerja sebagai sopir. Agaknya, angket tersebut bisa sampai ke meja Redaksi TEMPO karena si penyebar angket yang menyembunyikan diri melengkapi angket dengan amplop pengembalian. Dan pada alamat amplop telah ditulis - tulisan tangan huruf cetak agak miring ke kanan - PO Box 4223 Jakarta, Indonesia, yang memang alamat majalah ini. Tulisan alamat pada amplop-amplop rupanya dicoretkan tangan yang sama. Ada dua belas pertanyaan. Dari jenis pekerjaan, lama bekerja, jam kerja dan libur, hingga perlakuan yang pernah diterima dari majikan. Dari nomor yang tertera pada lembar angket, agaknya si pembuat angket gelap ini - yang memperbanyak angketnya dengan fotokopi - sedikitnya menyebarkan 200-an angket. Mengapa hanya sembilan yang sampai ke TEMPO, tentu saja tak bisa kami jawab. Hampir sembilan pengisi angket mengaku bekerja di atas 12 jam sehari. Bahkan ada yang mengisi 24 jam, dan seorang menulis jam kerja "tanpa batas". Adapun yang mendorong mereka bekerja di negeri orang adalah "gaji besar atau lumayan". Faktor kedua, bisa sekalian naik haji. Sebagian besar pengisi angket mengaku tak pernah mendapatkan informasi tentang "situasi kerja dan sifat-sifat orang Saudi Arabia" dari perusahaan yang mengirimkan mereka. Hanya dua pengisi angket yang menyatakan pernah mendapat penjelasan tentang hal itu. Tentang sikap majikan terhadap para pengisi angket, minimal suka mencaci maki. Ada yang mengaku pernah dipukul sekali. Ada yang menambahkan pernah disuruh mendorong gerobak, membuang batu. Yang menarik ternyata tak semua mengaku tak betah lagi di Arab Saudi. Dua pengisi angket, yang salah satunya mengaku pernah ditampar majikan, menyatakan masih betah tinggal di negeri padang pasir ini. Angket ini tetap gelap, memang. Dari KBRI di Jeddah diperoleh keterangan bahwa Saptco, organisasi sopir Indonesia di Arab Saudi, menyatakan tak tahu menahu soal angket itu. Dari pertanyaan terakhir, yakni mana yang lebih menarik bagi pengisi angket: bekerja di Arab Saudi atau bertransmigrasi, pembuatangket tampaknya pendukung transmigrasi yang baik. Dan jawaban untuk nomor terakhir ini pun menarik. Ternyata, hanya satu angket memilih bertransmigrasi. Yang lain, bila tak memilih bekerja di Arab Saudi, memberi tanda silang pada jawaban "tak ada pilihan". Yang juga menarik, beberapa angket dilampiri surat. Tiga surat terang-terangan mengimbau pengiriman TKI ke Arab Saudi dihentikan. Sebab, mereka merasa "tertipu oleh Royal Arab Saudi". Mereka merasa "dianggap murahan hingga bisa digini-gitukan" Angket ini, sebagaimana umumnya angket, tentulah kebenarannya terbatas. Apalagi penyusun angket tak ketahuan identitasnya. Tapi ada kesan bahwa para pengisi angket mengisinya dengan jujur. Bila dugaan ini benar, masalah TKI di Arab Saudi memang bukan soal sepele. Masalah ini bisa mencerminkan bahwa perlakuan yang diterima memang buruk. Juga, bahwa perusahaan pengerahan TKI memang cuma mencari untung, tanpa memberikan informasi yang sebenarnya, dan kalau terjadi apa-apa lalu cuci tangan. Selain itu, angket ini pun memberikan indikasi bahwa soal lapangan kerja di tanah air memang perlu mendapat perhatian sungguh-sungguh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini