MENINGGAL: Ahli hukum dan bekas politikus kawakan, Dr. J.C.T. Simorangkir, 69 tahun, Jumat pekan lalu meninggal dunia di Rumah Sakit PGI Cikini, Jakarta. Bekas Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN d/h LPHN) Departemen Kehakiman itu meninggalkan seorang istri, enam anak, dan enam cucu. Selama hayatnya, lulusan FH UI tahun 1953 itu dikenal sangat tekun dan bersikap konsisten. Sikap ini pula yang selalu dipertahankannya dalam soal eksistensi dan arti UUD 1945. Dalam tesis doktornya, Simorangkir juga menandaskan bahwa UUD 1945 merupakan karya agung, yang harus dipertahankan dan diamankan. Ia meraih gelar doktor hukum tata negara, pada 1983, di Universitas Andalas, Padang, dengan disertasi tentang UUD 1945. Ia juga dikenal sebagai penulis yang rajin. Hampir di semua tempatnya bekerja, ia tak pernah absen menulis buku ataupun artikel mengenai bidang kerjanya itu. Sewaktu menjadi guru, pada 1950, misalnya, ia menulis buku pertamanya Surat dan Lagu. Simorangkir pernah menjabat Direktur SMA Budi Utomo, Jakarta, pada 1953-1956. Sempat menjadi ketua redaksi dan penanggung jawab harian Sinar Harapan, Simorangkir menulis pula buku Hukum dan Kebebasan Pers. Begitu juga sewaktu menjadi anggota Konstituante di Bandung (1956-1959), ia menghasilkan buku Konstitusi dan Konstituante. Menulis, agaknya, tak pernah terabaikan dari aktivitas intelektual Simorangkir. Demikian juga tatkala ia menjadi pemimpin Partai Kristen Indonesia ( 1962-1973). Kemudian setelah ia aktif sebagai ketua Perkumpulan Pengarang Indonesia. Beberapa hari menjelang saat-saat terakhir hidupnya, seperti dikutip Suara Pembaruan, Simorangkir masih juga sempat menulis artikel berjudul "Dekrit Presiden 5 Juli 1959". Materi artikel yang satu ini, juga UUD 1945, memang paling dikuasainya, baik selama ia menjadi Manggala BP-7, anggota DPR/MPR (1967-1971), maupun selaku dosen hukum tata negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini