USIA mereka umumnya di atas 60 tahun. Sebenarnya, mereka, Ali Sadikin dkk., dapat disebut sebagai sekelompok orang tua dan pensiunan yang sudah uzur. Namun, entah mengapa, gaung suara mereka, yang beberapa tahun pernah teredam, kini tetap saja masih keras terdengar. Dan pekan lalu, suara itu kembali memantul di dinding-dinding gedung DPR yang megah di Senayan, menggema keluar dalam kolom-kolom berita koran, dan dibicarakan di rumah, kantor, warung, oleh entah berapa banyak orang. Dengar pendapat gabungan Komisi II dan III DPR dengan Ali Sadikin dkk. -- yang lebih dikenal dengan sebutan Petisi 50 -- pekan lalu memang patut dicatat. Terakhir mereka bertemu dengan pimpinan DPR Mei 1980, alias 11 tahun silam. Kehadiran sekitar seratus wartawan dan fotografer meliput acara itu menunjukkan besarnya perhatian pada mereka. Kelompok itu, sejak tercetus pada 1980, bisa digolongkan sebagai "manusia langka", karena jumlahnya kecil, tetapi selama 11 tahun ini tetap konsisten "menggugat" beberapa kebijaksanaan Pemerintah. Mereka memang orang-orang yang punya nama, bekas pejabat tinggi atau perwira tinggi ABRI, yang diakui pernah berjasa pada negara dan bangsa. Tapi, mungkin karena dianggap merepotkan, kegiatan kelompok ini sempat tak bergema di media massa Indonesia selama beberapa tahun. Beberapa anggota kelompok itu sempat rontok, ada yang malah ditahan karena dianggap terbukti melakukan tindakan subversif. Mereka pun dicap sebagai pembangkang, disiden, atau malah oposan. Namun, waktu terus bergulir. Tahun-tahun terakhir ini, banyak sekali perubahan terjadi di dunia, yang gelombang dampaknya mendampar juga ke Indonesia. Maka, angin keterbukaan pun berembus juga di sini. Oktober tahun silam, banyak yang kaget karena bisa lagi membaca pemberitaan sejumlah media cetak tentang kelompok Ali Sadikin dkk. ini. Kemudian muncul masalah cegah tangkal (cekal) terhadap Arief Budiman, yang terhalang pergi ke luar negeri. Ali Sadikin dkk., yang pernah memperoleh kesulitan yang sama, lalu melontarkan keluhannya. Ternyata, Menko Polkam Sudomo menanggapi, dan bersedia bertemu dengan mereka. Lalu, terjadilah pertemuan bersejarah pada 21 Mei 1991 itu: sejumlah anggota Petisi 50 bertemu dengan Sudomo membicarakan soal cekal. Pertemuan itu ternyata membuka lebih lebar pintu dialog. Menanggapi permohonan kelompok Petisi 50 untuk bertemu, pimpinan DPR kemudian menyatakan bersedia menerima mereka. Itulah yang terjadi pekan lalu. Dan, seperti yang dapat Anda baca dalam Laporan Utama nomor ini, dialog itu ternyata membuahkan hasil positif. Ali Sadikin dkk. menyatakan puas dengan pertemuan itu. DPR pun, seperti bisa dibaca dalam wawancara dengan Wakil Ketua DPR/MPR Saiful Sulun, tampaknya lebih bisa memahami pengaduan mereka meski tak sepakat dengan tudingan mereka. Semua ini pertanda yang baik. Perbedaan pendapat dinilai secara proporsional, tanpa emosi, tanpa prasangka. Dengan menerima Ali Sadikin dkk., DPR telah mengerek citranya karena benar-benar menjalankan fungsinya menampung aspirasi masyarakat meski -- seperti dikatakan Saiful Sulun -- itu dimungkinkan karena "situasi sekarang sudah lain". Apakah "situasi yang lain" itu memungkinkan suatu "perdamaian", yang pasti menguntungkan persatuan dan kesatuan bangsa? Dapatkah kita, seperti diharapkan Saiful Sulun, melupakan yang sudah-sudah dan bersalaman, meski sambil memejamkan mata? Perbedaan pendapat jelas akan selalu ada. Namun, setelah hampir setengah abad merdeka, tentunya kita bisa bersikap lebih dewasa. Karena, bukankah itu esensi demokrasi Pancasila juga? Susanto Pudjomartono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini