Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kena tangkal

Kay mohlman,34, seorang sarjana as, dideportasi begitu tiba di bandara soekarno-hatta. masuk seba- gai turis. pernah mengajar bahasa inggris di uni- versitas andalas, kuliah di ikip malang.

13 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada Tahun Kunjungan Indonesia ini, seorang turis dideportasikan begitu tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Ia seorang sarjana AS. KAY Mohlman, 34 tahun, menghabiskan seluruh karier akademisnya untuk mempelajari Indonesia. Tapi Kamis malam pekan lalu, begitu tiba di Bandara Soekarno-Hatta sarjana dari AS itu kaget. Ia baru saja keluar dari pesawat Philippine Airlines nomor penerbangan PR 535, dari Manila, Filipina. Ternyata, ia tak boleh masuk. Apa dosanya? Paspornya beres. Ia tak membawa barang terlarang. Kalau ia tak bervisa, ini bukan masalah. Ia masuk sebagai turis, dan sebab itu bebas visa -- satu fasilitas yang diberikan Indonesia kepada turis dari 38 negara di Eropa Amerika, dan ASEAN. Tapi, namanya tercantum di daftar "tangkal". Resminya, Direktorat Jenderal Imigrasi yang berwenang menghapus dan menambah daftar nama cekal (cegah dan tangkal). Tapi didapat keterangan, alasan security hanya bisa diperoleh di instansi lain. Berbahayakah Kay Mohlman? Ia mahasiswa program doktor di University of Wisconsin, Madison, AS. " Orangnya pendiam. Tak pernah ikut kegiatan politik. Ia hanyalah seorang mahasiswi yang rajin belajar," kata Saraswati Sunindyo. rekannya sesama mahasiswa program doktor di universitas itu. Begitu kalemnya wanita langsing berkaca mata itu, sampai-sampai ada yang menjulukinya biarawati. Dosen pembimbingnya Prof. Russel Middleton pun sampai bingung mendengar kabar itu. "Ini mengherankan. Apa alasannya?" ujarnya kepada TEMPO. Mohlman pernah di Indonesia, waktu jadi sukarelawan mengajar bahasa Inggris di Universitas Andalas, Padang, antara 1979 dan 1980. Tahun 1986, ia, yang belajar bahasa Indonesia sejak 1984, melanjutkan ke IKIP Malang. Tahun 1987, ia punya rencana meneliti permukiman liar di Indonesia. Universitas Satya Wacana, Salatiga, bersedia jadi sponsor. Tapi LIPI menolak memberi izin. "Penelitiannya sangat peka," kata sumber TEMPO di LIPI, tanpa bersedia merinci alasan itu. Pada 1988, Mohlman mengajukan usul penelitian lain: industri pedesaan di Jawa Barat. Untuk itu ia kabarnya mendapat sponsor dari Prof. Hasan Purbo dari ITB, dan memperoleh beasiswa Fullbright yang tak gampang didapat itu. Karena ditolak terus, ia mengalihkan penelitian tesisnya ke Filipina. "Ia pernah mengeluh karena dengan penolakan itu ia mesti mengeluarkan tenaga dan biaya lagi untuk belajar bahasa Tagalog," kata Saraswati lagi. Lagi pula, Mohlman sudah jatuh cinta kepada Indonesia. Ia tentu tak tahu bahwa namanya tercantum ke dalam daftar hitam di Republik ini. Siapa bisa tahu? Ada yang mengira, ini karena ia punya kontak dengan Arief Budiman, penulis dan sarjana lulusan Harvard yang mengajar di Satya Wacana itu. Mohlman pernah tinggal di rumah Arief tahun 1987. Beberapa waktu lalu Arief juga pernah dicekal, tetapi kini bebas. Menurut Kasubag Tata Usaha Kantor Imigrasi Cengkareng Lukman Hakim, Mohlman pernah meminta visa di KBRI Amerika, tapi ditolak. Tapi ia datang juga ke sini. "Dia punya rencana bertemu dengan tunangannya ke Bali, untuk berlibur," kata Saraswati. Maka, ketika ia ditolak di Cengkareng, Kay menangis. "Tak ada lagi Indonesia bagi saya," katanya kepada seorang temannya. Ia terpaksa tidur di ruang transit bandara. Malam itu tak ada pesawat lagi yang bisa mengangkutnya ke luar Indonesia. Sementara itu, pacarnya, Richard Krausy, yang menunggu di Bali, tak tahu apa yang terjadi. Baru kemudian Krausy datang ke Jakarta, langsung ke Cengkareng. Kemudian kedua sejoli itu ke Singapura. Kasus seperti ini, kata Lukman, "soal biasa". Dalam daftar deportasi, tahun 1989 ada 1.118 orang. Tahun 1990, jumlahnya jadi 260. Pada Tahun Kunjungan Indonesia ini, sampai triwulan pertama, ada 106 nama. Siapa menyusul? Sri Pudyastuti, Dwi S. Irawanto (Jakarta), dan Bambang Harymurti ( Washington, D.C.)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus