DI zaman dulu, di Eropa, para kesatria bertempur di atas kuda dengan mengenakan baju zirah. Wajahnya terlindung oleh topeng. Di zaman ini, di banyak tempat, masker juga sebuah alat proteksi: di tempat tukang las, di kalangan pemadam api, di kamar bedah, dan juga di pergaulan sehari-hari. Tak jarang orang menganggap dunia di luar dirinya adalah sebuah wilayah luas yang mengandung mara bahaya. Terutama di dalam suatu masyarakat di mana perbuatan mengekspresikan diri bisa membuat orang celaka. Dalam masyarakat seperti itu, besar kemungkinannya satu aku yang menyatakan perasaan atau mengungkapkan pendiriannya bisa kehilangan baik kehilangan hormat maupun kehilangan nyawa. Dalam masyarakat seperti itu, komunikasi antarmanusia pada dasarnya cenderung memilih jalan yang paling hati-hati, seakan-akan tiap perjumpaan dengan orang lain adalah sebuah ladang ranjau. Dalam masyarakat semacam itu, pepatah macam ini pun berlaku, "Mulut kamu harimau kamu, mengerkah kepala kamu." Dalam pendidikan tradisional Jawa anak-anak dinasihati agar menghindar bila ada pembicaraan yang didengar: ana catur mungkur. Memang ada suasana ketakutan dan kecemasan di sana. Suatu struktur sosial yang menciptakan teror terhadap ekspresi barangkali telah lama terbentuk, dan untuk menjadikan dirinya sesuatu yang sah, struktur yang demikian itu kemudian, perlahan-lahan, menyusun suatu "ideologi" -- dan beberapa bentuknya adalah pepatah-pepatah, nasihat, norma, aturan. Semuanya terdengar bagus, semuanya terdengar patut, dan semuanya terdengar benar. Termasuk dalam "ideologi" itu adalah anggapan bahwa diam adalah justru pertanda kekuatan. Dan di dalam suatu pola adat-istiadat yang menggariskan bahwa kekuatan identik dengan laki-laki, maka sikap diam pun dianggap ciri "laki-laki sejati". Hanya perempuan yang banyak celoteh. Sungguh tidak jantan untuk memekik gembira atau terharu. Laki-laki layak menahan hati, kata sebaris sajak terkenal Sitor Situmorang, yang menggambarkan bagaimana seorang ayah Batak duduk saja, tidak omong sepatah pun, waktu melihat anaknya yang hilang mendadak pulang. Orang Meksiko punya istilah khusus yang kini terkenal untuk itu: macho, atau jantan. Penyair Octavio Paz pernah menguraikan betapa sang macho adalah "makhluk yang hermetik", yang bagaikan pertapa, "menutup ke dalam dirinya sendiri". Dengan begitu, ia mampu menjaga "baik dirinya maupun apa saja yang telah dipercayakan kepadanya". Dalam etos kejantanan ini, mereka yang "membuka diri" dan yang tak bersikeras adalah pengecut. Rasa simpati dan rasa mesra dari orang lain akan diterima dengan hati-hati, sebab tak dapat dipastikan apakah simpati dan kemesraan itu tulus atau tidak. Dalam pandangan seperti itu, dunia luar bukanlah sesuatu yang tersedia untuk ditaklukkan dengan agresi, melainkan sesuatu yang harus kuat kita tanggungkan. Kejantanan di sini bukan kejantanan agresif, melainkan kejantanan yang stoic: keteguhan menanggung serangan ketahanan menerima rasa sakit dan kekalahan. Satu hal penting untuk dikemukakan: berkuasanya sikap tertutup di atas sikap terbuka ini, kata Octavio Paz dalam Labirin Kesendirian, "tak cuma tampil dalam sikap syak wasangka dan berdiam diri, dalam rasa curiga dan ironi, tetapi juga dalam rasa senang kepada Bentuk". Sebab Bentuk bisa "melingkungi dan memasang terali pada dunia pribadi kita, membatasi ekses-eksesnya mengekang eksplosi-eksplosinya, dan mengisolir serta memiara dunia pribadi itu". Manifestasi rasa senang kepada Bentuk itu: kegemaran kepada upacara, formula, dan aturan ketertiban. Bentuk, dengan demikian, juga semacam proteksi. Dalam hal itu ia tak banyak berbeda dengan topeng. Eksesnya adalah formalisme: mengutamakan bentuk, yang formal, karena kita sebenarnya tak punya apa-apa dalam isi, yang material. Begitulah ijazah lebih dihargai ketimbang kepandaian. Begitulah upacara demokrasi menjadi lebih penting ketimbang praktek asas-asas demokrasi. Demikianlah mekanisme di gedung pengadilan lebih penting ketimbang soal apakah si terdakwa benar-benar terbukti bersalah. Yang terjadi dengan begitu bukanlah sesuatu yang tulen, melainkan cuma sebuah mimikri. Hanya soal penampilan, bukan soal kodrati. Kita ingin memakai Bentuk, sesuatu yang lahiriah, karena kita hampa, karena kita tak punya sesuatu yang sejati sebagai Isi, yang batiniah. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini