Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Menjegal Mega Lewat Isu Sara

27 Juni 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Membaca platform politik 48 partai politik peserta Pemilu 1999, saya setuju dengan plaform PAN, PUDI, dan PRD. Saya tidak cocok dengan platform politik PDI Perjuangan (PDIP) terutama menyangkut Timor Timur, UUD 1945, dan dwifungsi TNI. Meskipun demikian, bila PDIP pada akhirnya yang menang dalam pemilu, ya, harus kita terima dengan lapang dan kita dukung pencalonan Megawati sebagai presiden. Kita harus konsisten dengan tuntutan sejak awal, yaitu memilih pemimpin yang dipercaya oleh rakyat. Jangan sampai elite politik menjegal Megawati dengan berbagai cara, termasuk isu SARA.

Penjegalan itu justru memperkuat posisi Megawati karena semakin banyak orang bersimpati. Imbauan MUI kepada umat Islam agar tidak nyoblos PDIP karena (katanya) calegnya banyak nonmuslim ternyata tidak mempan. Orang kecil di desa sempat berkomentar "agama kok untuk kudung (topi)." Rakyat sekarang sudah cerdas. Dan karena kecerdasannya itulah mereka memilih PDIP karena Megawati sudah terbukti tidak bisa ditundukkan Soeharto, mampu mengendalikan massanya, memelopori penegakan hukum, dan terpenting dipercaya rakyat.

Kalu kita kurang yakin, yang kita lakukan adalah seperti kata Wimar Witoelar, kita support dan sekaligus kita kontrol mereka melalui lembaga-lembaga ekstra parlementer. Itu sebabnya saya salut atas pilihan Amien Rais dengan PAN-nya, yang ingin mengambil posisi sebagai kekuatan pengontrol. Percaya atau tidak, pilihan PAN seperti itu akan menguntungkan PAN maupun Amien Rais sendiri untuk masa datang.

Atas dasar alasan di atas, seharusnya tidak ada keberatan lagi untuk mendukung pencalonan Megawati sebagai presiden. Pendiskreditan Megawati dan PDIP dengan mengambil isu SARA menunjukkan bahwa kita belum dewasa sebagai bangsa dan justru memecah belah bangsa.

Pendiskreditan dengan mengatakan caleg PDIP didominasi oleh orang nonmuslim sebetulnya juga tidak mendasar. Berapa persen, sih, caleg PDIP yang nonmuslim dari semua caleg PDIP? Dan itu pun bukan hasil rekayasa, tapi sesuai dengan fakta di lapangan. Bukankah tokoh-tokoh muslim sudah terserap ke partai yang berasaskan Islam: PPP, PKB, Partai Keadilan, Partai Bulan Bintang, dan lain-lain, termasuk di dalamnya Golkar, PAN, dan PDR? Lahan luas yang mungkin dimasuki oleh orang-orang nonmuslim adalah PDIP.

Bagi PDIP, sangat wajar bila saat pendaftaran caleg pertama-tama yang didaftar adalah orang yang aktif sehari-harinya di PDIP. Kebetulan yang aktif adalah sebagian nonmuslim. Pertanyaannya adalah mengapa partai-partai yang berasaskan Islam atau pengurusnya didominasi oleh tokoh Islam itu tidak mampu menyerap suara rakyat.

Sekarang kita semua harus konsisten, roda demokrasi sudah bergulir dan tidak ada jalan lain kecuali hanya terus melanjutkan. Para elite dan analis politik boleh kecewa, tapi jangan sampai kekecewaan itu membuat persoalan rakyat yang sederhana menjadi tambah rumit.

DARMANINGTYAS
[email protected]

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus