Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Menuntaskan dahaga kita

Pementasan "rumah sakit jiwa" oleh teater koma dapat mengetuk nurani penonton terhadap persoalan makro. asumsi yang selama ini cenderung sinis, bi sa sebaliknya.

18 Januari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski didera kiri kanan lewat pernyataan-pernyataan sinis, misalnya, ia hanya mengeksploatir banyolan, mengabdi pada selera (rendah) penonton, dan terlalu bisnis oriented, tapi nyatanya Teater Koma tetap mempedulikan pendapat orang. Tampaknya, Nano tidak "tuli", dan mencoba meladeni para kritisi, wartawan, cendekiawan, pengamat, dan sebangsanya, dengan menyajikan repertoar yang tidak sekadar membanyol dengan pamer bencong. "Rumah Sakit Jiwa", yang belum lama dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta, menurut saya, menjadi oase bagi perjalanan umat dan kerabat Teater Koma di masa mendatang. Sebagai oase, ia menuntaskan dahaga terhadap pertujukkan teater bermutu. Mengetuk nurani penonton terhadap berbagai persoalan makro. Lewat lakon itu, asumsi terhadap Teater Koma, yang selama ini cenderung sinis, bis terjungkir. Panggung "RSJ" tidak serba indah dan glamour. Di tangan Rudjito, pioner penata panggung kita itu, ruang pentas terasa lebih sugestif dan harus meniadakan identitas khas teater koma. Dialog-dialognya, meski di sana sini masih mengundang tawa, punya bobot kedalaman yang reflektif. Perpindahan watak dan gaya ini mengandung risiko berkurangnya penonton Teater Koma. Agaknya, Nano dan konco-konconya siap menanggung risiko itu. Mudah-mudahan itu memang pilihan sadar, yang secara konsepsional mendasari kerja. Bila nantinya terbukti bahwa tontonan ala Teater Koma itu diterima penggemarnya, itu merupakan preseden menarik bagi dunia teater kita. Yang semula "hanya ingin tertawa", sekarang mulai mau "sedikit berpikir dan reflektif". Dan tentunya akan mengimbas ke berbagai ekspresi teaterwan kita yang mengagungkan hiburan dengan "H" besar, seperti Teater Kecil Arifin C Noer dan Teater Mandiri Putu Wijaya. Yang paling menarik dari kenyataan ini adalah kerendahan hati Teater Koma untuk mendengar dan membuka diri pada kritik, dan sekaligus mencoba membuktikan lewat karya. Sesungguhnya, inilah substansi "dialog-budaya" yang sehat itu, yang selalu dirindukan banyak orang. Nano menjawab dengan karya. Lebih mulia ketimbang ngrasani dan berceloteh semata-mata tanpa menunjukkan bukti kreativitasnya. BUTET KARTAREDJASA Singosaren Utara 9 Yogyakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus