Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kejarlah pajak, kau kutangkap pajak sama dipikul

Kebijaksanaan baru PPH, PPN-BM, pajak bunga deposito dan tentang penerimaan PBB. wawancara dengan Dirjen Pajak Mar'ie Muhammad. PPH Yayasan Dana Pensiun. wewenang akuntan publik.

18 Januari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUKAR membayangkan, bagaimana sebuah masyarakat modern bisa berkembang, tanpa didukung sistem perpajakan yang rapi dan terkontrol dengan baik. Semakin maju masyarakat, semakin tinggi tuntutannya serta kian canggih sistem perpajakannya. UU Pajak adalah landasan utama bagi sistem itu, dan dalam sebuah negara demokratis, wewenang menyusun UU tersebut ada pada lembaga perwakilan rakyat, sedangkan wewenang memungut pajak dipercayakan pada aparat pemerintah. Biasanya, ada batas terhadap jangkauan UU Pajak, juga bagi jenis dan tarif pajak yang dipungut. Biasanya juga, adalah merupakan prinsip yang tidak bisa ditawar-tawar, bahwa pajak yang sama tidak bisa dikenakan dua kali atas barang atau penghasilan yang sama. Artinya, tidak boleh ada pajak berganda. Juga tidak bisa ditawar-tawar, setiap wajib pajak (WP) dibebani pajak sama, dalam arti tidak seorang pun warga negara berhak mendapat pengecualian untuk, misalnya, keringanan atau kebebasan pajak. Singkatnya, di hadapan bendahara negara, setiap wajib pajak memikul beban pajak yang sama, sesuai dengan penghasilan dan harta kekayaannya. Andai kata ada WP yang berpendapat bahwa ia dikenai pajak yang lebih besar dari ketentuan yang tertera dalam peraturan perpajakan, ia berhak mempermasalahkan ketidakadilan itu pada pengadilan atau mahkamah pajak. Ideal sekali memang. Berarti, ada jaminan dan kepastian hukum bahwa kepentingan warga sebagai WP terwakili, begitu pula kepentingan dan wewenang aparat pajak. Profil perpajakan kita belum ideal dan menawan seperti itu. Kelak, mungkin kita akan mengarah ke sana. Dimulai dengan reformasi pajak dengan sistem menghitung pajak sendiri (selfassessment) pada tahun 1983, sistem itu berproses tahap demi tahap, menuju tata tertib pajak yang lebih lengkap dan lebih adil. Sejalan dengan itu, rakyat negeri ini dilatih untuk menyisihkan sebagian dari penghasilannya untuk dipindahkan ke kas negara. Sesungguhnya, kebiasaan itu bukanlah hal yang sama sekali baru bagi kita. Dulu, pada zaman para leluhur, ada tradisi menyerahkan hadiah kepada kepala suku atau membayar upeti kepada raja. Pada zaman kolonial Belanda, Culturstelsel merupakan manifestasi pajak yang paling ekstrem yang pernah dikenal anak manusia di muka bumi ini. Dalam periode kemerdekaan, di satu sisi berkembang penggelapan pajak (tax evasion) melalui apa yang disebut pajak damai, sedang di sisi lain merajalela apa yang disebut pungli alias pungutan liar. Jelas, pungli bukan pajak resmi, tapi bagi pihak yang terkena, ia adalah semacam pajak juga. Hanya saja, pajak itu tidak tersalur ke kas negara, tapi ke kas oknum-oknum yang memungutnya dengan paksa atau setengah paksa. Bicara tentang pajak, memang, akan selalu peka. Kalau tidak menyinggung perilaku aparat pajak, tentu menyenggol WP yang senantiasa siap dengan imingiming, asalkan SPT beres. Katakanlah ini semacam kultur, yang diam-diam merasuk, berurat berakar. Kultur semacam itulah yang antara lain berusaha dibenahi oleh Ditjen Pajak. Sejauh yang menyangkut pajak berganda, keluhan masih saja ada. Dirjen Mar'ie Muhammad menyangkal keras adanya pajak berganda itu, tapi praktek pungutan pajak di lapangan ada yang bisa ditafsirkan sebagai pajak berganda. Juga ada kasak-kusuk tentang pengecualian untuk keringanan atau kebebasan pajak. Sebuah grup usaha yang besar dan tenar kabarnya pernah menikmati pengecualian semacam itu. Tak terlalu salah jadinya, bila wajah pajak kita belum secantik dan sebersih yang dicita-citakan. Tidak kurang penting dari itu adalah kenyataan bahwa perolehan pajak merupakan pos terbesar dari penerimaan Pemerintah (RAPBN 1992-93). Beban itu akan dipikul oleh sekitar 35 juta WP, jumlah yang mestinya lebih besar, mengingat penduduk Indonesia sudah 180 juta jiwa. Andai kata jumlah WP bisa ditambah, tentu perolehan pajak Pemerintah akan lebih besar lagi. Yang kini terkesan justru Pemerintah berhati-hati -- kalau tidak mau disebut enggan -- untuk menambah jumlah WP. Tak jelas benar sebabnya. Mungkin sekali karena Pemerintah ingin mengutamakan dulu fungsi pajak yang dua ini, yaitu membiayai pengeluaran Pemerintah dan mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi. Sedangkan untuk mewujudkan fungsi sosial pajak, misalnya dalam mengurangi kesenjangan antara penduduk kaya dan miskin, Pemerintah menunggu perencanaan yang lebih matang. Tampaknya, ada niat pada Pemerintah untuk mempersiapkan aparat pajak yang lebih baik, cekatan, dan mempunyai integritas. Dan mereka akan didukung sistem yang lebih canggih, lengkap dengan komputer dan tenaga ahli (akuntan). Segala sesuatu mengenai sistem dan kendala bidang perpajakan ini diuraikan panjang lebar oleh Dirjen Pajak Mar'ie Muhammad dalam sebuah wawancara yang dimuat pada bagian II Laporan Utama nomor ini. Adapun bagian I mengupas berbagai kemungkinan serta dampak dari ketentuan baru dalam pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN), yang kemudian lebih dipertajam pada artikel yang berdiri sendiri mengenai pajak bunga deposito, PPN, dan PBB. Sekadar melengkapi informasi, kami sajikan tulisan pendek mengenai Yayasan Dana Pensiun dan bantuan tenaga ahli (akuntan). Isma Sawitri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus