Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menggali potensi merangsang ...

Kebijaksanaan baru pajak penghasilan (PPH) dan PPN barang mewah (PPN-BM) dapat menggali potensi pajak.

18 Januari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERBEDA dari tahuntahun sebelumnya, setiap kali muncul ketentuan pajak baru, ada saja keluhan yang dilontarkan dunia usaha. Omset akan berkurang, pendapatan berkurang, dan macam-macam omelan lainnya. Umpatan mencapai puncaknya sejak kebijaksanaan uang ketat (tight money policy) dilancarkan otoritas moneter, hampir dua tahun berselang. Namun, kebijaksanaan fiskal yang baru -- seperti tercermin dalam RAPBN 1992-93 -- diperkirakan juga akan menyedot lebih banyak uang beredar ketimbang mengucurkan rupiah. Sebab, di satu sisi Pemerintah hanya membelanjakan sekitar Rp 28,88 trilyun di dalam negeri. Sedangkan di sisi penerimaan, rupiah yang hendak disedot dalam bentuk pajak, cukai, setoran BUMN-BUMN, dan berbagai jenis iuran (dari hak pengusahaan hutan, hak pengusahaan perikanan, pendidikan, dan sebagainya) tidak akan kurang dari Rp 32,5 trilyun. Belum lagi pajak yang akan dikutip dari perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang minyak dan gas bumi -- sekitar Rp 14 trilyun. Kendati pajak ini terhitung penerimaan dalam negeri, toh tidak akan mengurangi uang beredar. Sebab, dananya datang dari luar negeri, sebagai hasil ekspor minyak dan gas. Yang umum dipertanyakan, khususnya dari kalangan pakar dan pengamat ekonomi independen, apa mungkin target penerimaan pajak penghasilan dan pajak penjualan barang mewah ditingkatkan sampai lebih dari 30%. Beberapa teknokrat, ketika ditanya soal itu, menjawab dalam nada optimistis. Alasannya, pertama, karena melihat perkembangan penerimaan kedua jenis pajak tersebut belakangan ini (lihat tabel). Realisasi penerimaan pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN) termasuk PPN barang mewah (PPN-BM), pernah gagal mencapai target. Itu terjadi pada 1987-1989, dua tahun setelah musibah kejatuhan harga minyak. Tapi, sejak keluarnya paket deregulasi perbankan, pasar modal, dan perhubungan, semua sasaran tercapai. Paling menonjol adalah prestasi PPh. Kendati sasaran setiap tahun dinaikkan lebih dari 30%, realisasinya ternyata masih tembus di atas 100%. Dalam APBN berjalan, sasaran yang hendak dicapai cuma dinaikkan sekitar 23%, agaknya untuk mengimbangi dampak tight money policy terhadap para pelaku ekonomi. Tapi, diperkirakan, sasaran Rp 8 trilyun akan mudah terlampaui. Setidaknya, sudah tercermin dari pengumpulan PPh dalam semester pertama (April-September 1991) yang mencapai sekitar 48%. "Jika dibandingkan tahun anggaran sebelumnya dalam semester pertama cuma terealisasi 42%, realisasi akhir mungkin akan jauh di atas Rp 8 trilyun," kata seorang teknokrat. Maklum, kebanyakan wajib pajak membayar pajak pada semester kedua. Yang menarik pula ialah kebijaksanaan Pemerintah yang akan memajaki sebagian penghasilan yayasan-yayasan dana pensiun. Selama ini, mereka bagaikan raja duit, yang menikmati berbagai fasilitas kebebasan pajak -- di antaranya pembebasan pajak atas bunga dan kupon obligasi, pembebasan pajak atas dividen di pasar modal -- tapi tahun ini tidak lagi. Kebebasan pajak itu sudah berakhir dengan ketentuan PPh yang baru diumumkan awal Januari lalu. Penghasilan yayasan-yayasan dana pensiun dari tanah dan bangunan akan dikenai pajak penghasilan. Yang juga harus diperhitungkan ialah adanya perburuan baru dalam pos PPh. Obyek-obyek baru tersebut antara lain perusahaan-perusahaan yang belakangan ini gemar membungakan uang nganggur mereka di bank. Maklum, tingginya suku bunga deposito sekarang ini rupanya lebih menarik ketimbang memperluas usaha dengan penanaman modal baru. Bunga deposito untuk badan-badan usaha kini akan dikenai pajak penghasilan bertingkat (lihat Bunga Deposito Menghadang Risiko). Ketua Ikatan Konsulen Pajak Seluruh Indonesia, Drs. Aries Gunawan, berpendapat bahwa pajak bunga deposito yang akan diterapkan pada badan-badan usaha mestinya diperluas juga pada para wajib pajak individu. "Coba kalau ada orang yang menerima bunga deposito Rp 100 juta, yang Rp 85 juta kan lewat saja." Bukan rahasia lagi memang, dewasa ini banyak orang yang mempunyai simpanan deposito Rp 1 milyar sampai Rp 3 milyar. Dengan bunga 22% setahun saja, deposito satu milyar sudah akan menghasilkan Rp 220 juta. Dengan PPh final 15%, dia cuma akan membayar Rp 33 juta. Padahal, jika mengikuti ketentuan pajak progresif, setidaknya dia harus membayar PPh tak kurang dari Rp 70 juta. Bagaimana dengan sasaran penerimaan PPN (termasuk PPNBM)? Pos yang satu ini agaknya kurang menggembirakan. Realisasi pada semester pertama tahun anggaran berjalan baru 41%, sementara realisasi periode yang sama pada 1990-91 mencapai 45%. Jika dilihat nilai riilnya, juga cuma naik Rp 8 milyar. Agaknya, mistar yang hendak diloncati setinggi Rp 8,22 trilyun, (32,15%) di atas realisasi 1990-91, kelewat tinggi. Jelas, prestasi PPN tahun ini kurang meyakinkan. Bisa diduga, salah satu penyebabnya adalah omset penjualan mobil tahun 1991 yang turun sekitar 25.000 unit, dibandingkan total penjualan tahun 1990 yang 275.000 unit. Bahkan, pada 1992 ini, kemerosotan omset berbagai jenis komoditi masih akan berlanjut. Salah satu komoditi adalah pasar kendaraan bermotor. Presdir Indo Mobil Group, Soebronto Laras, memperkirakan bahwa total penjualan kendaraan bermotor akan merosot lagi ke 200.000 unit. Soalnya, sejak 1 Desember 1991, mulai dikenakan PPN-BM sampai 35% (dulunya PPN maksimal 30%). "Pemerintah sebenarnya masih bisa memperluas obyek pajak PPN," kata Aries Gunawan. Menurut Aries, jasa perbankan yang kini kena pajak hanyalah jasa-jasa konvensional. Padahal, dalam perhitungan dia, ada sekitar 15 jenis jasa perbankan yang mestinya terkena PPN. "Misalnya jasa perantara," katanya. Ketentuan yang mengkelaskan tarif PPNBM bertingkat 10%-20%-35% dianggap kurang adil oleh sejumlah pengamat. Aries Gunawan berpendapat, PPN-BM untuk kendaraan bermotor masih bisa disempurnakan. "Kalau saya cenderung mengklasifikasikan pajak sedan menurut harganya. Harga sedan kan bervariasi dari Rp 20 juta sampai Rp 250 juta. Ini mesti dibedakan," tuturnya. Namun, Dirjen Pajak Mar'ie Muhammad berpendapat lain. "Kalau dibuat demikian, perpajakan kita nanti akan semakin rumit," tukasnya. Sedangkan sistem yang kita inginkan adalah ringkas dan tidak rumit." Perlu disadari pula bahwa harga sedan di Indonesia sudah terlalu mahal dibandingkan harga dari negeri asalnya. Soalnya, sedan sudah terkena bea masuk 100%, ditambah PPN 10%, PPN-BM 35%, bea balik nama 10%. Tadinya, dengan PPN-BM 30% saja, harga sedan di Indonesia sudah lebih mahal 314,6% dari harga di Jepang. Tak heran jika harga sedan di Jepang cuma sekitar US$ 10.000 (sekitar Rp 20 juta), sedangkan pembeli di Indonesia harus membayar sekitar Rp 63 juta. "Dampak PPN-BM yang naik dari 30% menjadi 35% akan mendorong naiknya harga sedan di sini bukan cuma 5%," kata Ang Kang Hoo dari PT Imora Motor. Diperkirakannya, harga sedan akan lebih mahal 326,7% dari harga di negeri asal. Jelas, dunia usaha dan konsumen terpukul. Tapi, Pemerintah tentu tidak membuat peraturan secara sembarangan. Tentu ada pertimbangan yang matang, dan isi lengkapnya tercantum dalam Nota Keuangan RAPBN. Jelas, kebijaksanaan yang dituangkan dalam SK Menteri Keuangan No. 1183 dan No. 1984 Tahun 1992 merupakan semacam gebrakan ekonomi-sosial-politik. Suatu gebrakan baru yang juga akan dilakukan Pemerintah adalah kerja sama dengan pihak ketiga. Memang belum sampai mengikuti langkah TVRI atau SDSB yang mentenderkannya lewat pihak ketiga. Langkah yang akan ditempuh yakni meminta bantuan instansi lain untuk mengecek kebenaran laporan SPT (surat pemberitahuan tahunan) dari wajib pajak. Mulai tahun anggaran mendatang, Direktorat Pajak akan menyewa konsultan untuk melakukan verifikasi khusus pajak-pajak PPN. "Konsultan akan dibayar berdasarkan jam kerja, bukan berdasarkan komisi dari total pajak yang diverifikasi," kata Mar'ie. Dan satu gebrakan besar lagi yang kini juga tengah dipersiapkan di Ditjen Pajak adalah komputerisasi para wajib pajak. Ditjen pajak bisa lebih leluasa menganalisa perbandingan antara omset, kekayaan, dan keuntungan tiap wajib pajak, baik badan usaha maupun perorangan. Dengan demikian, bisa dinilai apakah wajib pajak membayar PPN, PPh, dan PBB sebagaimana mestinya. Tak dapat disangkal lagi, usaha Pemerintah untuk menggali potensi-potensi pajak benar-benar akan dilakukan semaksimal mungkin. Dan hal ini tegas dikatakan dalam Nota Keuangan RAPBN 1992-93: "Penerimaan pajak, terutama PPh dan PPN, merupakan komponen terbesar dari penerimaan di luar migas, dan memiliki potensi cukup besar untuk terus digali." Dan ternyata, di tengah segala usaha penggenjotan pajak PPh dan PPN ini, Pemerintah masih juga memberikan sejumlah keringanan pajak. Jumlahnya memang tidak banyak. Sejak 1990, misalnya, Menteri Keuangan telah menetapkan bahwa kerugian selama delapan tahun yang diderita di Indonesia Bagian Timur bisa dimintakan kompensasi PPh. Fasilitas itu, kata Mar'ie, antara lain meliputi uang cuti, uang kesehatan, uang transpor, dan tunjangan perumahan karyawan. Fasilitas ini diberikan untuk hampir semua jenis usaha seperti pertanian, pertambangan, kehutanan, real estate, perhotelan, jasa angkutan darat, laut, dan udara. Selain itu, kontraktor minyak yang melakukan eksplorasi di IBT juga diberi fasilitas penangguhan pembayaran PPN atas penyerahan barang dan jasa pencarian sumber dan pengeboran minyak, gas bumi, dan panas bumi sebelum berproduksi. "Tapi, fasilitas ini bisa diminta jika perusahaan mengalami rugi. Lain dengan tax holiday. Bila untung, perusahaan tetap bebas pajak penghasilan. Ini tidak ada lagi," ujar Mar'ie tegas. Max Wangkar, Bambang Aji, Dwi S. Irawanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus