Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Jafar Tak Lagi Balik ke New York

Raibnya Jafar Siddik Hamzah menambah panjang daftar orang hilang di bumi Aceh.

13 Agustus 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRIA itu menyantap nasi goreng kambing yang dipesannya. Sesekali ia menyeka bulir-bulir keringat yang membasahi jidatnya yang berwarna gelap. Sekitar sebulan lalu, di restoran Arab di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, aktivis hak asasi manusia itu masih sempat bergurau dengan yang hadir—TEMPO dan beberapa aktivis LSM. "Setelah makan, saya harus cepat-cepat ke belakang," kata lelaki kurus yang kehilangan sebagian usus besarnya karena menderita radang usus itu.

Itulah Jafar Siddik Hamzah, Ketua International Forum for Aceh (IFA)—sebuah LSM internasional yang bermarkas di New York, Amerika Serikat—yang dua pekan lalu dinyatakan hilang di Medan. Pihak keluarga mengaku kehilangan kontak dengan Jafar sejak Sabtu, 5 Agustus lalu.

Sudah lima tahun Jafar menjadi penduduk tetap (permanent resident) di New York. Akhir tahun ini, pejuang hak asasi manusia itu merencanakan akan menggugat Mobil Oil—sebuah perusahaan Amerika yang memiliki ladang minyak di Aceh—di pengadilan AS, karena dugaan pelanggaran hak asasi manusia. Jafar, dan IFA yang dipimpinnya, memang kerap bersuara keras terhadap pelanggaran hak asasi di kawasan Aceh. Ia muncul di Sumatra Utara belakangan ini pun, antara lain, untuk perjuangan: mendirikan Support Committee of Human Right for Aceh (SCHRA), sebuah LSM kemanusiaan lainnya.

Menurut Cut Zahra, adik Jafar, abangnya meninggalkan rumah seorang saudara mereka di Medan, Sabtu siang dua pekan lalu, untuk bertemu dengan beberapa aktivis LSM. Pada pukul 11.30 siang, lelaki yang beristrikan seorang Amerika asal Filipina itu masih sempat mengontak Susi, adik iparnya. Teman-teman yang ditemui Jafar, kepada Cut, mengaku berpisah dengan Jafar pada pukul 13.30 siang. Setelah itu, Jafar hilang bak ditelan bumi. Rencana pertemuan dengan beberapa pengurus LSM Jepang pada Sabtu sore hari itu tak bisa dilaksanakan.

Jafar diculik? Tidak ada yang bisa memastikan. Hubungannya dengan elemen masyarakat Aceh lainnya, termasuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM), selama ini cukup baik. Memang, sebagai aktivis hak asasi, bukan tak mungkin Jafar punya musuh. Tapi siapa mereka, tiada yang tahu.

Pihak TNI? Memang ada desas-desus yang menyebutkan bahwa Jafar dihilangkan aparat karena terlalu aktif membela rakyat Aceh. Tapi, kata Pangdam I/Bukit Barisan, Mayor Jenderal I Gede Purnama, "Saat ini tidak ada operasi intelijen apa pun yang kami lakukan. Secara tegas saya sampaikan, TNI tidak terlibat dalam kasus ini."

Jafar bermukim di Amerika mula-mula sebagai relawan di PBB, mengurus pengungsi Bosnia dan bantuan kemanusiaan lainnya. Belakangan, ia mendirikan IFA dan menjadikan flatnya di Woodside, New York, sebagai kantor. Sambil tetap kuliah S2 di sebuah universitas di New York, Jafar bekerja pada hari Minggu sebagai sopir taksi dengan gaji US$ 200 sehari. Selain itu, Jafar juga aktif mengasuh Su Aceh, tabloid berbahasa Aceh dan Inggris yang ia terbitkan di New York. Rencananya, ia akan menerbitkan tabloid mingguan dengan empat bahasa daerah Aceh di Aceh.

Jafar menjadi orang Aceh kesekian yang hilang di Tanah Air. Beberapa bulan lalu, Tengku Nashiruddin Daud, anggota DPR asal Fraksi PPP, ditemukan tewas di Brastagi, Sumatra Utara. Diduga, Nashiruddin dibunuh karena bersikap keras terhadap pelanggaran hak asasi di Aceh. Setelah itu, juru bicara GAM, Ismail Syahputra, juga raib di Medan. Hilangnya Ismail terjadi beberapa hari setelah aktivis Majelis Pemerintahan (MP) GAM Tengku Don Zulfahri tewas terbunuh di Malaysia. MP-GAM adalah lawan politik GAM sayap Hasan Tiro. Mereka yang hilang dari kalangan rakyat biasa tidak lagi terhitung. Dan hampir semua kasus orang hilang itu belum ada yang terungkap.

Menggantung masalah di Aceh, bila orang hilang makin sering terdengar, bukanlah hal yang bijaksana. Soal ini akan makin menebalkan coreng di wajah pemerintah pusat. Lagipula sejarah telah membuktikan: siapa menanam benih kekerasan di Aceh hanya akan menuai kekalahan.

Arif Zulkifli, Zainal Bakri (Lhokseumawe)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus