Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Celeng Oplosan Masuk Pasar

Ratusan kilogram daging celeng dijual sebagai daging sapi di Jakarta dan sekitarnya. Sekadar meraup keuntungan atau ada motif politik?

13 Agustus 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM hal tipu-menipu, orang sekarang makin kreatif. Bukan cuma oli yang dioplos, daging pun dioplos. Begitulah, warga Jakarta dan sekitarnya kini dihebohkan oleh daging celeng oplosan yang dijual sebagai daging sapi. Keterlaluan, memang. Apalagi jumlahnya tak tanggung-tanggung. Dinas Peternakan DKI Jakarta selama dua pekan terakhir sudah berhasil menyita 1,74 ton daging celeng di beberapa tempat. Sebagian dijual sebagai daging sapi di kaki lima Pasarminggu dan Kebayoranlama. Lainnya ditemukan dibuang di got kawasan eks-Bandara Kemayoran. Temuan itu, menurut Kepala Dinas Peternakan DKI, Edy Setiarto, berawal dari laporan adanya daging sapi yang dijual dengan harga Rp 14 ribu per kilogram, padahal harga resmi di pasaran dua kali lipatnya. "Setelah kami cek dan teliti, ternyata benar ada daging celeng dijual dengan kedok daging sapi," kata Edy. Ternyata, aksi penipuan itu sudah berlangsung lama. Muhamad Said, salah satu pedagang daging sapi di Pasarminggu, pernah memergoki transaksi tidak wajar itu. "Penjualnya mbak-mbak di lampu merah pertigaan Pasarminggu," ujarnya. Mereka, tutur Said, melakukan kegiatan itu dari pukul 24.00 sampai 4.00 dini hari. Padahal, penjual daging resmi di los pasar tersebut baru beroperasi subuh hingga petang hari. Jual-beli ilegal itu bisa berlangsung lama karena para pedagang menyangka daging itu resmi dari pemerintah. "Kami kira itu operasi pasar daging sapi yang didatangkan Bulog dari luar negeri," kata Said. Penjual pun semula tak curiga karena penjual daging babi yang resmi juga ada di pasar-pasar. Banyak konsumen yang terkecoh karena jual-beli daging oplosan itu dilakukan di bawah penerangan yang tidak memadai. Warna pucat, ciri khas daging babi hutan, menjadi tidak terlihat. Selain itu, untuk menyamarkan bau daging celeng, para penjual itu melumuri dagangan mereka dengan darah sapi. "Berarti sudah berbulan-bulan warga sekitar sini tertipu makan daging celeng," kata Suhandi, pedagang di Pasarminggu. Dari mana pasokan daging haram buat umat Islam itu? "Daging itu didatangkan secara ilegal dari Bengkulu," ujar Edy Setiarto. Kesimpulan itu berdasarkan pengakuan beberapa pedagang gelap yang bisa tertangkap tangan oleh petugas Dinas Peternakan. "Pemasok mereka bernama A Sun, warga Jelambar," ujar Raizin Arsyad, salah satu anggota Tim Penertiban Daging Liar dinas tersebut. Sayang, pelacakan itu terhenti karena A Sun raib sebelum ditangkap. Menurut Prabowo, Direktur Utama Perusahaan Daerah Dharma Jaya, besar kemungkinan daging celeng itu hasil berburu anggota Persatuan Menembak Indonesia (Perbakin). Maklum, Bengkulu adalah salah satu ladang perburuan awak Perbakin. "Biasanya daging itu diekspor ke Singapura. Tapi karena jumlahnya berlebih, ada oknum yang memasarkan ke Jakarta," kata Prabowo. Beredarnya daging babi hutan itu tidak hanya menipu konsumen, tetapi juga merugikan para pedagang daging sapi asli. "Dulu kami mampu menjual 200 kilogram per hari, sekarang 100 kilo pun tak sampai," keluh Suhandi. Konsumen tampaknya mulai ragu-ragu. Padahal, sebelum kasus ini, kebutuhan daging sapi tidak pernah menurun. Sementara itu, pedagang daging babi yang resmi juga menjadi waswas, jangan-jangan mereka jadi sasaran amukan massa yang tidak tahu duduk persoalan sebenarnya. "Daging babi yang saya jual dari peternakan resmi, bukan daging celeng," kata salah satu pedagang di Pasarminggu. Lantas, apa motif di balik itu? Selain untuk meraup keuntungan berlipat ganda, tidak tertutup kemungkinan ada motif politik di balik peredaran daging yang sensitif mengundang keresahan itu. Majelis Ulama Indonesia Jakarta dalam siaran persnya mengutuk keras penipuan yang merugikan umat Islam itu. "Ada nuansa politis untuk mengadu domba umat Islam dan membuat resah," kata Gubernur DKI, Sutiyoso. Tidak terlalu salah, memang. Saat ini sedang digelar agenda penting bangsa, yakni sidang tahunan MPR. Bisa jadi usaha itu secara tidak langsung bertujuan mengacaukan sidang. Salah satu indikasi adalah kasus tersebut "dibuka" tepat menjelang sidang tahunan MPR. Padahal, dari berbagai pengakuan pedagang, jual-beli daging secara ilegal itu sudah berlangsung sejak tiga bulan silam. Apa pun motifnya, polisi harus segera mengusut kasus itu secara tuntas dan serius. Bukan tidak mungkin, kasus daging celeng itu sudah merasuk sampai ke pelosok-pelosok daerah. Para tukang mengacau tampaknya memanfaatkan segala cara. Setelah gagal bikin rusuh dengan menghilangkan bensin, kini celeng pun dipakai alat. Syukurlah, tak terdengar ada rusuh gara-gara sang celeng ini. Johan Budi S.P., Tomi Lebang, Agus S. Riyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus