Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI polemik yang saya baca di berbagai media dan mendengarkan diskusi yang disiarkan melalui TV, saya berkesimpulan bahwa Master of Settlemen Acquisition Agreement (MSAA) sejak ditandatangani adalah batal demi hukum (nietig/null and void) karena di dalamnya mengandung oorzaak/causa yang bertentangan dengan hukum. Sebab, menurut sistem hukum yang berlaku di Indonesia, berlakunya hukum pidana tidak dapat dihapuskan oleh suatu perjanjian (agreement).
Saya yakin, semua orang yang pernah belajar hukum mengetahui ketentuan itu. Sebab, ketentuan itu secara jelas diatur dalam hukum positif, yaitu dalam Pasal 1320 jo 1335 BW, yang sekarang lebih dikenal dengan nama KUH Perdata. Karena MSAA itu batal demi hukum, secara yuridis MSAA itu dianggap tidak pernah ada atau sama sekali tidak mempunyai kekuatan hukum. Dan atas dasar itu, Menko Ekuin tidak perlu repot-repot berupaya merevisi MSAA yang sekarang ini sedang diributkan.
Untuk penyelesaian selanjutnya dapat ditempuh melalui jalur perdata dan jalur pidana yang harus dijalankan sekaligus. Caranya, secara perdata Menko Ekuin beserta BPPN dan pejabat yang terkait berupaya membuat perjanjian baru dengan para konglomerat/debitor yang telah merampok dana milik rakyat dalam jumlah ratusan triliun itu. Perjanjian yang baru itu harus dibuat sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia dan tidak boleh lagi berisi perumusan yang merugikan rakyat, yang sekarang ini hidup melarat sebagai akibat keserakahan konglomerat. Secara pidana, menurut UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kejaksaan Agung harus segera bertindak proaktif melakukan penyidikan terhadap para perampok keuangan negara yang sampai sekarang masih belum menyadari bahwa tindakan mereka itu telah menyakiti dan menyengsarakan rakyat.
Seandainya setelah Kejaksaan Agung melakukan penyidikan, penahanan, dan penyitaan terhadap kekayaan para konglomerat, kemudian mereka sadar dan mengembalikan uang rakyat, boleh saja pemerintah berbaik hati kepada mereka demi kepentingan pembangunan perekonomian Indonesia. Tetapi kebaikan itu bukan keharusan dan bukan dalam bentuk SP3. Kalau hal itu dianggap perlu dilakukan seyogianya dalam bentuk penggunaan asas oportunitas, yaitu meskipun perkara korupsi itu memenuhi syarat untuk dituntut di pengadilan, Jaksa Agung memiliki kewenangan untuk mendeponir perkara demi kepentingan umum atau demi kepentingan bangsa dan negara sebagaimana diatur dalam UU Kejaksaan. Ini hanya diterapkan terhadap konglomerat/debitor yang mau bekerja sama dengan pemerintah serta sukarela mengembalikan uang negara yang pernah diambil dan dikuasai secara haram. Mereka yang tetap tidak bersalah wajib diseret ke depan sidang pengadilan secara perdata dan pidana.
H.M.A. KUFFAL, S.H.
Jalan Ciliwung 45, Malang 65122
Telp. (0341) 491225
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo