Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kontroversi bermula ketika dua pekan silam beredar bocoran daftar gaji pejabat tinggi negara usulan pemerintahdan konon sudah disetujui Dana Moneter Internasional (IMF)dari presiden sampai pegawai negeri sipil golongan terendah. Dalam daftar itu, tertera gaji presiden Rp 107,4 juta, wakil presiden Rp 89,5 juta, menteri Rp 44,7 juta, ketua DPR Rp 40,5 juta, wakil ketua DPR/DPA/MA Rp 36,5 juta, anggota DPR/DPA/MA Rp 27,5 juta, gubernur Rp 17,9 juta, wakil gubernur Rp 14,7 juta, wali kota/bupati Rp 10,7 juta, wakil bupati Rp 7,1 juta, dan pejabat eselon I Rp 18,7 juta.
Kenaikan itu, jika benar-benar terwujud, benar-benar mencengangkan karena terasa kurang adil bagi pegawai negeri golongan rendah. Gaji seorang anggota DPR berarti naik lebih dari 500 persen, dari sekitar Rp 5 juta. Sebaliknya, gaji untuk pegawai negeri golongan I A, yang jumlahnya paling banyak, cuma naik 15 persen.
Walaupun demikian, anggota DPR RI Komisi III dari Fraksi PKB pemilihan Jawa Timur, Tari Siwi Utami, tetap menyetujuinya. Dengan catatan, "Kalau alasannya untuk memberantas kolusi, korupsi, dan nepotisme," kata Tari, ketika dihubungi lewat telepon, seusai mendengarkan laporan nota keuangan dan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), yang dibacakan oleh Wakil Presiden Megawati Sukarnoputri, Kamis pekan lalu.
Menurut anggota dewan yang duduk dalam keanggotaan tim anggaran ini, secara logika, wajar apabila pejabat mendapat kenaikan gaji sesuai dengan tanggung jawabnya. Tetapi, keputusan itu harus dibarengi kenaikan gaji untuk pegawai negeri golongan satu dan dua. Kalau pemerintah belum bisa menaikkan mereka, menurut Tari, minimal gaji guru dinaikkan terlebih dahulu. "Plus tunjangan dan lain-lain, pegawai negeri minimal bergaji satu juta rupiah," ujar Tari.
Setujukah publik terhadap usulan kenaikan gaji itu? Mayoritas responden jajak pendapat TEMPO menjawab tidak setuju ketika ditanya tentang rencana pemerintah menaikkan gaji pejabat tinggi. Mereka punya empat alasan. Yang pertama, kenaikan fantastis itu ironis dengan situasi perekonomian negara yang sedang kembang-kempis. Sebagian lagi beralasan, itu tidak sesuai dengan semangat "kencangkan ikat pinggang"jargon usang yang kerap diterompetkan pemerintah Orde Baru.
Menurut responden, praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme tidak akan otomatis berkurang hanya dengan menaikkan gaji pejabat. Sebaliknya, keputusan untuk tidak menaikkan gaji pejabat akan mengurangi kecemburuan sosial. Karena itu, lebih dari separuh peserta jajak pendapat mengusulkan kepada DPR agar menolak rencana pemerintah menaikkan gaji pejabat tinggi.
Reaksi keras publik boleh jadi disebabkan adanya sentimen mereka terhadap kehidupan pejabat tinggi yang tampak mewah, padahal gaji mereka secara akal sehat tidak memungkinkannya. Lihat saja para menteri, dirjen, jenderal, gubernur, atau pejabat apa pun pada zaman dulu. Gaya hidupnya tinggi, rumahnya mewah, mobilnya banyak, punya saham di mana-mana. Anak-anak mereka menuntut ilmu di luar negeri, minimal Singapura atau Australia, bahkan punya apartemen di sana pula. Bagaimana menjelaskan kenyataan ini dengan gaji yang mereka peroleh?
Responden punya pandangan sendiri tentang berapa selayaknya besar gaji para pejabat tinggi pemerintah. Gaji presiden, contohnya, sebaiknya berkisar dari Rp 25 juta sampai Rp 50 juta saja, wakil presiden Rp 10 juta-Rp 25 juta, menteri juga Rp 10 juta-Rp 25 juta, sedangkan anggota DPR dan pejabat eselon I kurang dari Rp 10 juta.
Idealkah rumusan ini? Dosen dan pengamat ekonomi Universitas Indonesia, Markus Dipo, punya pendapat sendiri. Pada prinsipnya, perbedaan antara gaji pegawai terendah dan tertinggi hendaknya tidak lebih dari empat puluh kali lipat. Itu berarti, jika gaji pegawai golongan I Rp 1 juta, gaji presiden maksimum Rp 40 juta. Karena itu, agar sesuai dengan kondisi sekarangdan masuk akalgaji pegawai terendah minimum harus Rp 1 juta.
Akan tetapi, menurut Markus, kriteria penggajiannya harus jelas. Kriteria itu bukan berdasarkan kepangkatan semata, melainkan juga harus memperhitungkan variabel tetap dan tidak tetap. Variabel tidak tetap itu seperti tanggung jawab dan prestasi yang bersangkutan. Ia mencontohkan, bisa saja golongan III A mempunyai prestasi dan tanggung jawab yang lebih tinggi daripada golongan IV A, sehingga gajinya pun lebih besar. "Kalau berdasarkan kepangkatan atau golongan saja, sudah tidak bisa diterima lagi. Itu gaya Orde Baru atau Orde Lama," ujar Markus.
Besar-kecilnya gaji juga perlu ditentukan berdasarkan departemen yang bersangkutan. Katakanlah Departemen Pertahanan dan Keamanan. Karena dalam satu tahun ini kerjanya berat, harus menghadapi kerusuhan massa di daerah-daerah, Markus mengusulkan agar pegawai departemen tersebut juga diberi tambahan penghargaan.
Wicaksono, Agus S. Riyanto
INFO GRAFIS | Apakah Anda setuju pemerintah menaikkan gaji pejabat tinggi? | Tidak setuju | 72% | Setuju tapi tidak sebesar yang diusulkan | 25% | Setuju | 4% | | Kalau setuju, sebutkan alasan Anda! | Untuk mengurangi kemungkinan pejabat melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme | 88% | Meningkatkan kesejahteraan pejabat | 38% | Sesuai dengan beban tugas dan wewenang mereka | 38% | Memang sudah waktunya dinaikkan | 27% | Responden boleh memilih lebih dari satu jawaban. | | Kalau tidak, sebutkan alasan Anda! | Ironis dengan situasi Indonesia yang sedang dilanda krisis | 85% | Tidak sesuai dengan semangat "kencangkan ikat pinggang" | 58% | Korupsi, kolusi, dan nepotisme tidak akan berkurang | 53% | Mengurangi kecemburuan sosial | 40% | Responden boleh memilih lebih dari satu jawaban. | | Apakah yang seharusnya dilakukan DPR terhadap usulan kenaikan gaji pejabat tinggi? | Menolak | 62% | Menerima tapi dengan beberapa revisi | 33% | Menyetujui | 2% | Tidak tahu | 2% | | |
Menurut Anda, berapa selayaknya gaji pejabat di bawah ini (dalam jutaan rupiah)? | |||||||||||||||||||||||||||||||||||
Jabatan | Kurang dari 10 | 10 - 25 | 26 - 50 | 51 - 75 | Di atas 75Presiden | 10% | 33% | 36% | 14% | 6% | Wakil presiden | 13% | 38% | 33% | 10% | 5% | Menteri dan pejabat setingkat | 42% | 48% | 6% | 2% | 2% | Pejabat setingkat dirjen (eselon I) | 68% | 25% | 3% | 2% | 1% | Anggota DPR | 50% | 43% | 4% | 3% | 0% | |
---|
Metodologi jajak pendapat ini:
- Penelitian ini dilakukan oleh Majalah TEMPO bekerja sama dengan Insight. Pengumpulan data dilakukan terhadap 504 responden di lima wilayah DKI pada 17-19 Januari 2000. Dengan jumlah responden tersebut, tingkat kesalahan penarikan sampel (sampling error) diperkirakan 5 persen.
- Penarikan sampel dilakukan dengan metode random bertingkat (multistages sampling) dengan unit kelurahan, RT, dan kepala keluarga. Pengumpulan data dilakukan dengan kombinasi antara wawancara tatap muka dan melalui telepon.
MONITOR juga ditayangkan dalam SEPUTAR INDONESIA setiap hari Minggu pukul 18.00 WIB
Independent Market Research
Tel: 5711740-41, 5703844-45 Fax: 5704974
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo