Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ketika 'Iblis' Berkuasa

Dari Maluku ke Mataram. Bisakah pemerintahan Abdurrahman Wahid mencegah meluasnya konflik agama?

30 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seperti di banyak tempat lain Indonesia beberapa pekan ini, masyarakat muslim Mataram menyelenggarakan tablig akbar. Sekitar 20 ribu massa yang mewakili 30 organisasi Islam berkumpul Senin lalu untuk menunjukkan simpati kepada saudara muslim mereka yang terbantai di Maluku Utara. Meski penuh dengan luapan emosi seperti di banyak tempat lain, pertemuan tadi dimaksudkan sebagai unjuk simpati secara damai. "Tak seujung rumput pun bakal dirusak," kata seorang panitia. Terbukti jaminan itu tidak ada artinya. Seusai tablig akbar, entah bagaimana bermula, massa mengamuk. Tak hanya rumput yang terbakar. Gereja GPIB (Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat) Immanuel, yang terletak dekat Lapangan Umum Mataram—tempat berlangsung tablig akbar—menjadi sasaran pertama. Kerusuhan, dan juga penjarahan, segera meluas. Bahkan Gereja Katolik Maria Imaculata, yang berdampingan dengan Markas Komando Distrik Militer Lombok Barat, dibakar habis. Total jenderal: selusin gereja, seratusan rumah dan pertokoan yang sebagian besar milik umat kristiani, menjadi sasaran amarah. Ribuan orang non-muslim mengungsi ke kantor pemerintah maupun instalasi militer, sementara ratusan turis asing dievakuasi ke Bali. Situasi bisa terkendali setelah aparat keamanan bertindak lugas. Lima perusuh tewas diterjang peluru aparat, 7 luka berat, 152 luka ringan, 256 orang ditangkap—131 di antaranya dibebaskan karena tak cukup bukti—dan 15 dinyatakan sebagai tersangka. Dua hari setelah kerusuhan meledak, atas persetujuan para tuan guru (gelar untuk ulama Islam di sana), pastor, dan pendeta setempat, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Letjen Roesdihardjo, mengeluarkan perintah tembak di tempat. Hasilnya, sejak Jumat kemarin situasi telah relatif dapat dikendalikan. Langkah dramatis itu juga tampaknya berhasil mencegah kerusuhan merembes ke Bali, yang sempat dinyatakan dalam keadaan siaga II. Bagaimanapun, kerusuhan Mataram menambah dosis ketegangan antaragama di tempat lain—termasuk Jakarta. Seperti pascakerusuhan Mei 1998 silam, kabar burung kembali berseliweran. Rabu pekan lalu, bertepatan dengan peringatan satu tahun tragedi Ambon, telepon warga Jakarta berdering-dering dengan kabar genting. Di Manado, sejak dua pekan lalu beredar selebaran yang bernada mengadu domba warga Islam dan Kristen. Namun, tak ada yang tergoda. "Isinya sangat meragukan dan tak masuk akal," kata Ustad K.H. Arifin Assagaf. Bersama dengan pemuka agama lain, Arifin—ulama kelahiran Ternate, Maluku Utara—mengimbau Gubernur Mangindaan agar melarang segala bentuk pengerahan massa. Begitu pula di Madura. Sejak malam takbiran beredar selebaran yang memalsu kop surat Badan Silaturahmi Ulama Pesantren Madura. Isinya senada. Ancaman pengusiran terhadap warga Kristen jika dalam waktu tiga kali 24 jam pembantaian di Maluku tidak dihentikan. Namun, tak terjadi apa-apa. Dan di Makassar, yang dihantui ketegangan serupa, Pangdam VII/Wirabuana, Mayjen Agus Wirahadikusuma, bertekad mencegah kerusuhan habis-habisan. "Bila terjadi kerusuhan, komandan harus bertanggung jawab. Kalau perlu, saya dipenjara," ujarnya. Padahal, secara umum pusat sumbu kerusuhan di Maluku sudah mulai padam. Kecuali pertikaian berskala kecil di Halmahera Utara, situasi di sana mulai relatif tenang. Hingga Kamis pekan lalu, kehidupan kembali berdenyut normal di Ambon. Kantor-kantor mulai didatangi karyawan. Bahkan, warga Kristen ada yang mulai berbelanja di Pasar Mardika, yang didominasi warga muslim. Sebaliknya, warga muslim pun sudah ada yang menengok kembali rumah mereka di lingkungan Kristen. Juga menggembirakan bisa mendengar sisi lain dari konflik berdarah di Maluku ini: sekitar 800 warga Kristen yang terusir memperoleh perlindungan Pondok Pesantren Khairul Ummah di Kobisonta, Kecamatan Seram Utara, Maluku Tengah. Sikap para pemimpin agama memang penting dalam membantu meredakan emosi. Juga di Mataram. Haji Ahmad Usman, Ketua Majelis Ulama Indonesia Nusa Tenggara Barat (NTB), menyesalkan kerusuhan itu. "Iblislah yang bersuka cita karena telah berhasil mengadu domba umat beragama," katanya. Seperti di Seram Utara, persahabatan antaragama juga berlangsung di tengah Mataram yang membara. Menurut Ketua Pengurus Wilayah Muhammadiyah NTB, Abdul Muhith Elepaki, Masjid Al Abror di kampungnya justru jadi tempat pengungsian para warga Kristen yang ketakutan. Tapi, apa yang sebenarnya terjadi di Mataram hari itu? Dari hasil analisis sementara, seorang perwira Kepolisian Resor Lombok Barat mengatakan bahwa pihaknya menemukan keterkaitan antara rapat akbar itu dan terjadinya kerusuhan. "Massa terbakar emosinya dengan ajakan berjihad," katanya. Ketua panitia tablig akbar, Zainal Asikin, yang sempat diperiksa aparat, menyanggahnya. Menurut Dekan Fakultas Hukum Universitas Mataram itu, kerusuhan di Ampenan sudah terjadi saat tablig akbar masih berlangsung. Ia juga membantah pidato yang disampaikan bersifat menghasut. Kalaupun ada ajakan berjihad, katanya, bukanlah seruan perang, tapi ajakan untuk mengumpulkan sumbangan bagi warga muslim Maluku. Seperti di banyak tempat, suasana hati kaum muslim seusai Idul Fitri memang tengah membara oleh konflik di Maluku. Selama Ramadan kasus itu menjadi pembicaraan di masjid-masjid. Bahkan juga muncul dalam selebaran yang penuh emosi. Dan ketegangan makin mendidih saja ketika pada 13 Januari muncul pernyataan gabungan dari Amphibi—pasukan pengamanan swakarsa (pamswakarsa) yang dibentuk oleh kepolisian setempat—dan Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) NTB. Mereka mengultimatum jemaat kristiani di Mataram agar dalam waktu dua kali 24 jam mengutuk Kelompok Merah—sebutan laskar Kristen di Maluku yang mereka tuding bertanggung jawab atas tewasnya ratusan orang Islam di sana. Bagaimanapun, polisi juga tengah menyelidiki kemungkinan kerusuhan ini terencana. Perwira kepolisian tadi menunjuk dua fakta: munculnya konsentrasi massa di beberapa lokasi, dan bahwa kerusuhan meledak pula di beberapa kawasan lain—Ampenan, Cakranegara, dan Sweta—secara bersamaan. "Kelihatannya sudah dirancang sedemikian rupa sehingga aksi mereka bisa berlangsung cepat untuk beberapa lokasi sekaligus," katanya. Namun, siapakah sang penebar rusuh itu, jika ada? Sumber kepolisian setempat punya satu nama yang menurut dia layak dicurigai: Ketua Umum PPMI Pusat Eggy Sudjana. Bersama Amphibi, PPMI memang salah satu unsur dari 30 organisasi Islam penyelenggara tablig akbar itu. Polisi, menurut sumber itu, memergoki Eggy berada di Mataram saat kerusuhan meletup. Polisi juga menerima kesaksian dari seorang karyawan Hotel Sheraton di kawasan wisata Pantai Senggigi, yang mengaku melihat Eggy tinggal di situ dengan menggunakan nama lain. Dan Eggy, yang dituding seorang petinggi NU di Jawa Timur berada di balik selebaran di Madura, tidak datang dari Jakarta sendirian. Bersamanya, juga datang Al Chaidar—penulis buku Aceh Bersimbah Darah—dan seorang aktivis pergerakan Islam, Taufik Hidayat. Eggy bukan nama yang asing. Abdurrahman Wahid, sebelum menjadi presiden dulu, pernah menudingnya sebagai dalang kerusuhan Tasikmalaya dan Banyuwangi—kerusuhan berbau agama yang melibatkan warga NU. Tuduhan itu tidak terbukti. Meski semula membantah, Eggy akhirnya mengakui keberadaannya di Mataram saat kerusuhan meletup. Tapi ia menampik tudingan mendalangi aksi brutal itu. "Wah, bakar sate aja gua enggak bisa, kok, bakar gereja," katanya kepada Ahmad Taufik dari TEMPO. Ketika ia tiba terlambat di Mataram, katanya, api kerusuhan sudah berkobar. Dia juga menyesalkan langkah polisi yang belum apa-apa sudah memburunya seperti pesakitan. Eggy—seperti juga Yorrys Raweyai yang pernah dituding Abdurrahman Wahid mendalangi kerusuhan Maluku—mungkin punya motif. Namun, kerja profesional polisilah yang bisa memastikan keterlibatannya sebagai provokator kerusuhan. Bagaimanapun, "provokator"—berkat antara lain Presiden Abdurrahman Wahid sendiri—telah menjadi kambing hitam yang hilang makna: terlalu sering disebut ketimbang diungkap, apalagi ditangkap. Lebih dari itu, "provokator" menjadi tempat bersembunyi bagi ketidakberdayaan menjelaskan fenomena sosial ini, dan ketidakmampuan melakukan langkah yang tegas untuk menyelesaikan konflik lokal selagi bisa. Seperti B.J. Habibie, duet Abdurrahman Wahid dan Megawati Sukarnoputri telah gagal mencegah konflik lokal di Maluku meluas menjadi ketegangan yang siap membakar sudut-sudut lain Indonesia karena kelambanannya dalam bertindak. Sang kucing kini berubah jadi harimau, membuat beban pemerintah tidak lebih ringan sekarang. Karaniya Dharmasaputra (Jakarta), Jalil Hakim (Surabaya), Supriyanto Khafid (Mataram), Yusnita Tiakoly (Ambon)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus