Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kontroversi di sekitar proklamasi

Kontroversi di sekitar penulisan teks proklamasi kemerdekaan indonesia. mulai versi adam malik, nishijima, sayuti melik, bung hatta & achmad subardjo. belanda menyebut naskah itu bikinan jepang. (nas)

13 Desember 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENARKAH Proklamasi hadiah Jepang? Ini pertanyaan klasik. Ia, sedikit, atau banyak, memang masih rentetan sikap kolaborasi Soekarno-Hatta. Pertanyaan ini muncul bukan saja karena kalangan muda yang "mangkel" -- setelah menculik Dwitunggal ke Rengasdengklok -- agar segera mengumumkan proklamasi. Tapi karena kedua tokoh utama itu yakin benar bahwa Jepang akan mengabulkan janji yang sudah diucapkan di Dalat, sekitar 300 km dari Saigon. Cerita bermula dengan dibubarkannya Panitia Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dan diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan Ketua dan Wakil, Soekarno dan Bung Hatta, awal Agustus 1945. Pada 9 Agustus, lalu diutuslah Bung Karno, Bung Hatta, dan dr. Radjiman Wedioningrat ke Dalat, tempat kedudukan Jenderal Terauchi, panglima seluruh angkatan perang di seluruh Asia Tenggara. Mereka diantar Letnan Kolonel Nomura dari Gunseikanbu (Jakarta). Dalam pertemuan itu, Jenderal Terauchi, selaku wakil pemerintah pusat di Tokyo, memutuskan memberi kemerdekaan pada Indonesia. "Aku gembira luar biasa sebab hari itu tanggal 12 Agustus, hari ulang tahunku," tulis Bung Hatta dalam memoirnya. Setiba kembali ke Indonesia, Sjahrir memberitahukan, "Jepang telah minta damai pada Sekutu." Sjahrir lantas mendesak agar pernyataan kemerdekaan tidak dilakukan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Sebab, kemerdekaan semacam itu bisa dicap oleh Sekutu sebagai buatan Jepang. Hatta setuju dengan Sjahrir, tapi ia sangsi apakah Bung Karno dapat melakukan hal itu. Sebab, bila Bung Karno bertindak begitu, menurut Hatta, ia dianggap merampas hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Dan memang, setelah ketiganya bertemu, Soekarno akhirnya menolak desakan Sjahrir. Kecuali alasan yang sudah diduga Hatta, Bung Karno belum yakin bahwa Sekutu sudah mengalahkan Jepang. Menurut Adam Malik, Bung Karno gembira atas janji kemerdekaan yang diberikan Terauchi. Dalam tiga bulan, diperkirakan September, janji kemerdekaan itu akan digenapkan. Sebagai wartawan yang bekerja di kantor berita Domei, Adam tahu benar bahwa Jepang sudah kalah -- terlebih setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom. "Kita mendesak kepada Bung Karno dan Bung Hatta supaya memproklamasikan kemerdekaan di luar keinginan Jepang," tutur Adam. "Pada waktu itu mereka mengatakan tidak bisa, Jepang tidak mungkin kalah .... " Naskah Proklamasi itu, akhirnya, disusun di rumah Laksamana Maeda. Naskah itu dibahas di ruang makan rumah Maeda. Di situ terdapat sebuah meja bundar. Menurut Shigetada Nishijima, pembantu dan penerjemah Laksamana Maeda, di situlah duduk Maeda, Bung Karno, Bung Hatta, Achmad Subardjo, Nishijima sendiri, serta Yoshizumi, dari angkatan darat. "Pemuda ada di luar," kata Nishijima. Para pemuda, seperti Chaerul Saleh, Adam Malik, Sukarni, inilah yang meminta agar teks proklamasi itu bunyinya keras. Ada perbedaan dengan kesaksian Sayuti Melik. Menurut Sayuti, tak seorang Jepang pun yang hadir ketika teks proklamasi disusun. "Laksamana Maeda hanya menyediakan tempat untuk mengadakan rapat," kata Sayuti Melik. Menurut Bung Hatta, sebenarnya sudah ada teks proklamasi yang disusun pada Juni 1945, yang kemudian disebut Piagam Jakarta. Tapi, kala itu tak seorang pun yang membawa teks itu. Adalah Bung Karno kemudian yang berkata, "Aku persilakan Bung Hatta menyusun teks ringkas itu sebab bahasanya kuanggap terbaik. Sesudah itu kita persoalkan bersama-sama .... ." Dan semua setuju, kalau kalimat pertama diambil dari akhir alinea ketiga rencana Pembukaan UUD 45. "Lalu aku mendiktekan kalima berikutnya...," tambah Hatta. Tapi, menurut Achmad Subardjo, dia yang mengucapkan kalimat "Kami, Rakyat Indonesia, dengan ini menyatakan kemedekaan kami, setelah Bung Karno bertanya. Masih ingatkah Saudara teks dari Bab Pembukaan Undang-Undang Dasar kita?" Entahlah versi siapa yang benar. Yang terang, Nishijima menyebut, karena campur tangannyalah, teks itu ditulis dengan lunak (soft). Lunak, tak membuat Sekutu marah antara lain, dengan adanya kata-kata "pemindahan kekoeasan". Pemerintah Belanda pun menyebut naskah itu bikinan Jepang. Mengapa? Karena tanggalnya ditulis 'O5 bukan '45 -- artinya tahun Jepang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus