Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELAMA 2016, sebanyak 33 tenaga kerja asal Nusa Tenggara Timur meninggal di Malaysia. Mereka rata-rata masuk lewat jalur ilegal. Investigasi media ini membongkar dua jalur utama perdagangan manusia dari Kupang, yaitu lewat Nunukan (Kalimantan Utara) dan Batam (Kepulauan Riau).
Angka tenaga kerja Indonesia yang masuk secara ilegal mencapai 1 juta orang. Jumlah ini tak jauh berbeda dengan 25 tahun silam. Majalah Tempo edisi 11 Januari 1992, dengan judul "Pemutihan dan Rebutan Ringgit", mengungkap betapa banyak tenaga kerja ilegal dari Indonesia. Meski ilegal, keberadaan mereka dibutuhkan, sehingga pemerintah Malaysia mengeluarkan kebijakan pemutihan tenaga kerja yang dianggap "haram" itu.
Caranya, mereka cukup mendaftar ke kantor Imigrasi Malaysia, lalu memastikan kewarganegaraan di Kedutaan Besar Republik Indonesia, balik lagi ke Imigrasi Malaysia, beres. Izin kerjayang berlaku selama tiga tahun akan didapat.
Untuk sementara, buruh di perkebunan dan proyek bangunan serta pembantu rumah tangga yang menikmati keistimewaan itu. "Orang harus mengerti masuknya mereka cukup memberi manfaat kepada negara dan rakyat," kata Wakil Perdana Menteri Malaysia Ghafar Baba pada Januari 1992. Maklum, di sektor ini, Malaysia dianggap kekurangan pekerja.
Buruh gelap yang akan diputihkan ini ternyata cukup besar jumlahnya. Ghafar memperkirakan sekitar 300 ribu orang, sedangkan angka dari Sekretaris Jenderal Kongres Serikat Buruh Malaysia V. David mencapai sejuta orang. Itu sebabnya pemerintah Malaysia membuka 30 pusat pendaftaran untuk menampung luapan itu. Adapun waktu pendaftaran dibuat cukup longgar, sampai 30 Juni 1992.
Sekarang mari menghitung uang yang mereka keluarkan. Sejak dari pendaftaran, para buruh ini sudah mulai dikelilingi calo, yang memasang tarif sampai 500 ringgit atau sekitar Rp 365 ribu, untuk pendaftaran yang semestinya gratis. "Tanpa uang, jangan harap urusan ini beres. Yang penting kan mereka tak diuber-uber polisi lagi," kata seorang calo di sana, awal 1992.
Ini baru permulaan. Urusan berikutnya adalah ke KBRI dan balik lagi ke Imigrasi untuk mendapatkan izin kerja. Untuk menangani tahap ini, KBRI dan Kementerian Dalam Negeri Malaysia menunjuk tujuh agen tenaga kerja Malaysia.
Di sinilah ringgit keluar lebih deras. Para agen, yang mulai beroperasi pertengahan Desember 1991, memasang tarif Rp 400 ribu per kepala. Baru setelah ditegur, agen mau menurunkannya menjadi Rp 330 ribu.
Itu pun sebenarnya masih untung besar. Biaya yang diperlukan hanya Rp 170 ribu. Rinciannya, untuk mengurus tetek-bengek di KBRI Rp 131 ribu dan izin kerja di Imigrasi Rp 38 ribu. Duit sebesar ini juga sudah termasuk jatah agen Rp 40 ribu dan setoran untuk koordinator Rp 36 ribu per kepala. Kalau saja ada 300 ribu buruh yang diputihkan, ketujuh agen itu paling tidak bisa menangguk Rp 27 miliar.
Yang juga menarik adalah para "koordinator" ini. Jumlahnya lima orang. Kebetulan mereka adalah pejabat tinggi Malaysia yang ada kaitannya dengan urusan pemutihan ini dan keluarganya. Sejauh ini, menurut sumber-sumber Tempo di pemerintahan, pekerjaan mereka boleh dikatakan hanya ongkang-ongkang.
Selain "setoran" di atas, masih ada lagi duit masuk dari biaya izin kerjayang dinaikkan. Dihitung secara kasar, ringgit yang masuk kantong bisa mencapai Rp 43 miliar lebih. Selain dibebani pungutan dari berbagai calo dan ongkos agen tadi, tiap kepala masih dikenai uang jaminan Rp 365 ribu, yang mesti disimpan di agen selama tiga tahun. Belum lagi pajak yang dikenakan pemerintah Malaysia. Karena sudah tidak lagi gelap, mereka harus bayar pajak setiap tahun. Dari sini, sekitar Rp 92 miliar setahun akan masuk ke kas negara Malaysia.
KBRI bukannya tak mendapat bagian. Dari tiap kepala, KBRI memungut sekitar Rp 55 ribu. Setelah dipotong foto dan formulir, ada sisa Rp 40 ribu yang masuk kas.
Bau ringgit ini ternyata cepat menyeberang ke Jakarta. Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Ismail Sumaryo meminta pemutihan ini juga melibatkan agen tenaga kerja Indonesia. Peraturan yang berlaku memang menyatakan begitu. TKI di luar negeri memang harus dikerahkan lewat perusahaan yang terdaftar di Departemen Tenaga Kerja. Sayangnya, saran simpatik ini ditolak tujuh agen Malaysia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo