Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prelude

Pers Otoriter

4 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERISTIWA ’’pendudukan” kantor harian Jawa Pos beberapa waktu lalu telah memancing timbulnya tanggapan dari berbagai kalangan. Karena peristiwa itu, muncul anggapan nasib demokrasi tengah terancam akibat tumbuhnya militerisme sipil yang melakukan tindak intimidasi dan teror dengan cara-cara kekerasan. Upaya membangun budaya demokrasi yang mengedepankan supremasi hukum, kebebasan pers, dan kompetisi damai dalam mengagregasikan kepentingan politik seolah pupus.

Saya sendiri seolah kehilangan figur pahlawan demokrasi yang bisa menjaga pilar dan tradisi demokrasi yang sebenarnya ketika melihat peristiwa tersebut. Bagaimana mungkin kelompok yang diharapkan bisa menjaga dan mengamankan proses demokratisasi, karena Banser dan NU adalah organisasi terbesar di negeri ini, justru tampil secara menyeramkan sehingga meluluhkan sendi-sendi demokrasi itu sendiri dengan mengancam kebebasan pers?

Meski saya kecewa atas sikap dan tindakan Banser, saya bisa memahaminya. Maksudnya, dalam praktek ’’pendudukan” terhadap kantor harian Jawa Pos oleh Banser, yang terlihat adalah sebuah proses pelecehan demokrasi. Namun, jika itu dikaitkan dengan proses yang mendahuluinya, akan terlihat bahwa pelecehan terhadap demokrasi dan kebebasan pers sudah terjadi dan tidak hanya dilakukan oleh Banser, tapi juga oleh pers itu sendiri.

Kritik media massa terhadap Presiden Abdurrahman Wahid telah terjadi sejak awal Gus Dur menjabat presiden. Bahkan, jauh sebelumnya, sewaktu zaman pemerintahan Orde Baru, Gus Dur juga sering menjadi sasaran kritik media massa, khususnya dari kelompok Islam. Kritik terhadap Gus Dur terjadi secara lebih keras pada era kebebasan pers sebagai buah dari proses reformasi. Atas nama kebebasan pers, media massa melakukan berbagai macam laporan tentang Gus Dur. Bahkan, ada yang menuduh dengan menyatakan ’’Presiden Bohong”, ’’Gus Dur Tukang Fitnah”, dan sejenisnya.

Saya yakin, kata-kata kasar di atas tidak saja menyinggung perasaan Gus Dur, tapi juga melukai perasaan umat nahdliyin dan para simpatisannya. Meski demikian, para simpatisan dan kaum nahdliyin dengan Bansernya tidak memberikan reaksi. Anehnya, ketika orang-orang yang merasa tersinggung ini diam, pers seolah tidak peduli dan merasa tidak memiliki kesalahan apa pun. Di sinilah mulai tumbuh benih otoritarianisme dunia pers. Pers menjadi wasit, hakim, dan pemegang otoritas untuk menentukan arah politik dengan cara menciptakan opini publik. Dengan tulisan-tulisannya yang tajam, pers berhasil menggiring kesadaran publik ke arah tertentu meski masalah tersebut sebenarnya masih belum jelas.

Meski hal ini sebenarnya dapat memberikan dampak positif bagi suatu proses demokrasi, jika dilakukan tanpa kontrol diri, apalagi dengan menyinggung perasaan dari harga diri kelompok tertentu, bukan tidak mungkin yang timbul justru sikap kontraproduktif, sebagaimana terlihat dalam kasus Banser dan harian Jawa Pos.

Kasus ’’pendudukan” Banser atas harian Jawa Pos merupakan noda demokrasi. Namun, otoritarianisme pers dengan pemberitaan yang sensasional yang menyinggung perasaan juga merupakan bentuk lain dari anarkisme yang mengekang proses demokrasi. Maka, sebaiknya semua pihak melakukan koreksi diri. Masing-masing mestinya bisa mengendalikan dan menahan diri. Bukankah inti demokrasi adalah menciptakan kebebasan bagi semua pihak untuk memperoleh hak-haknya?

AL-ZASTROW NG.
Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus