Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemilihan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat akhirnya dilakukan dengan voting tertutup pada Rabu pekan lalu. Lewat pemilihan itu, terpilih paket pimpinan yang disodorkan koalisi pro-Prabowo, yaitu Zulkifli Hasan dari Partai Amanat Nasional sebagai Ketua MPR dan empat wakilnya, yaitu Mahyudin (Partai Golkar), E.E. Mangindaan (Partai Demokrat), Hidayat Nur Wahid (Partai Keadilan Sejahtera), dan Oesman Sapta Odang (Dewan Pertimbangan Daerah). Setelah diawali dengan kegaduhan, kubu pro-Jokowi akhirnya menerima kekalahan mereka dalam mengusung paket pimpinan MPR.
Polemik masalah pimpinan MPR pada 1970-an pernah mencuat. Majalah Tempo edisi 18 September 1971 menuliskan pernyataan kontroversial dari Mayor Jenderal Ali Moertopo, yang menyebutkan sebaiknya pimpinan MPR dihapus karena majelis hanya bersidang sekali-sekali.
Perkembangan tampaknya akan menciptakan jabatan-jabatan baru atau menghapuskannya. Bagaimana dengan jabatan pimpinan MPR, yang masih berstatus MPR-S, dipimpin Jenderal A.H. Nasution disertai wakilnya, Subchan Z.E., klan bekas Gubernur Jawa Barat Mashudi?
Seperti sudah dapat diduga, Subchan Z.E. pun menjawablah. Menjelang keberangkatannya ke Amerika Serikat untuk berobat, Wakil Ketua MPRS dari NU yang lantang berbicara itu mengatakan kepada reporter Harian KAMI, "Ketua dan Wakil-wakil Ketua MPR bukanlah jabatan seremonial atau sekadar jabatan kehormatan yang setiap kali sidang perlu diganti seperti dibayangkan Ali Moertopo." Alasannya: untuk menjalankan kekuasaannya sebagai lembaga yang memegang kedaulatan rakyat, MPR memerlukan pimpinan. Fungsinya "melaksanakan ketetapan yang sudah diambil sekaligus sebagai badan untuk mengawasi produk-produk MPRS atau MPR yang akan datang". Subchan menganggap gagasan Ali Moertopo sebagai sesuatu yang "sama sekali tidak bisa saya mengerti". Baginya, gagasan itu "berlawanan dengan UUD 45".
Tak senang. Lalu Subchan pun membeberkan lebih lanjut: "Ali Moertopo kelihatan memang tidak begitu senang dengan pimpinan MPRS sekarang ini. Jika memang ia tak suka dengan pimpinan MPRS sekarang, yang diserang janganlah institusinya, karena institusi itu dilindungi oleh UUD." Mungkin Ali Moertopo memang tidak cocok dengan Nasution dan Subchan sendiri, tapi benarkah institusi pimpinan MPR itu dilindungi UUD masih bisa diperdebatkan. Dalam UUD 1945 tidak disebut-sebut adanya lembaga itu—meskipun kalau tidak disebut belum tentu tidak boleh ada.
Dewan Pertimbangan Agung, misalnya, mempunyai ketua, walaupun lembaga keketuaan itu tidak disebut-sebut dalam konstitusi. "Kalau DPA yang menurut penjelasan UUD 1945 disebut jelas sebagai badan penasihat belaka toh punya ketua," kata seorang ahli hukum tata negara, "mengapa MPR yang memegang kedaulatan negara tidak patut punya ketua? Tentu saja soalnya bukan patut atau tak patut, melainkan memang perlu benarkah lembaga pimpinan MPR itu buat mengurus tugas dan wewenang "penyelenggara negara yang tertinggi" seperti disebut dalam penjelasan UUD.
Perkembangan sejak Indonesia kembali ke UUD 1945 memang melahirkan jabatan Ketua MPRS—di masa menaikkan Sukarno dipegang Chaerul Saleh sebagai Pejabat Ketua, dan di masa menjatuhkan Sukarno dipegang Nasution.
Jenderal penuh yang kini jarang sekali bersuara ini ketika ditanya pendapatnya mengenai perkara lembaga pimpinan MPR tak bersedia memberi komentar secara publik. "Saya sekarang kebetulan menjabat kedudukan sebagai Ketua MPRS," katanya, "dan tidak baik memberi pendapat mengenai itu." Seraya tersenyum, ia menambahkan, "Kalau saya mengatakan lembaga itu masih perlu dipertahankan, orang mungkin menyangka saya ingin mempertahankan kursi."
Nasution, yang baru menyelesaikan bukunya—bukan tentang jabatannya sekarang, melainkan tentang kekaryaan ABRI—secara sepintas hanya mengatakan bahwa menarik juga soal pimpinan MPR itu diseminarkan ahli-ahli hukum tata negara. Namun, mengenai hal-hal lain yang aktual, Ketua MPRS bersedia juga menyatakan pendapatnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo