Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Anda, apakah perpecahan antara pelatih dan pemain timnas senior Indonesia bakal selesai sebelum laga melawan Qatar di Stadion Bung Karno, 11 Oktober mendatang?
(14-21 September 2011) |
||
Ya | ||
21,94% | (61) | |
Tidak | ||
70,86% | (197) | |
Tidak Tahu | ||
7,20% | (20) | |
Total | (100%) | 278 |
BANYAK orang tidak yakin perpecahan internal dalam tim nasional sepak bola Indonesia bisa diperbaiki sebelum Indonesia bertanding melawan Qatar dalam pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2014 pekan kedua Oktober ini. Setidaknya demikian hasil jajak pendapat di situs berita Tempo Interaktif sepanjang pekan lalu.
Semua berawal dari dua kekalahan beruntun timnas Indonesia awal September lalu. Pertama, Garuda takluk di tangan Iran, di Teheran. Tak sampai sepekan kemudian, lagi-lagi Indonesia bertekuk lutut di hadapan Bahrain. Kekalahan terakhir terasa paling menohok karena terjadi di kandang sendiri. Di hadapan jutaan pendukungnya, tim Garuda tak mampu sekali pun menggetarkan jala lawan.
Akibat kekalahan itu, pelatih timnas Wim Rijsbergen mencak-mencak. Dalam konferensi pers seusai pertandingan, pelatih asal Belanda itu menilai pemain Indonesia belum siap bermain di laga internasional. "Ini bukan tim saya," katanya. Dia mengaku hanya mewarisi pemain yang dipilih pelatih sebelumnya, Alfred Riedl.
Pernyataan itulah yang membuat para pemain timnas Indonesia tersinggung. Tujuh pemain mengancam mogok. Suasana makin panas ketika sejumlah pemain diam-diam menemui Riedl, yang sedang beperkara dengan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia karena sisa kontraknya belum dibayar.
Ketua Umum PSSI Djohar Arifin sudah turun tangan meredam konflik ini. "Semua pihak harus menurunkan tensinya, lalu mencari penyelesaian yang baik," kata Djohar. Meski begitu, publik tak mudah diyakinkan. Hanya 21,94 persen pembaca situs Tempo Interaktif yang percaya konflik ini akan selesai dalam sepekan ini.
Indikator Pekan Ini SENIN pekan lalu, publik dikejutkan oleh kabar tawuran pelajar SMA Negeri 6 di kawasan Bulungan, Jakarta Selatan. Tapi kali ini yang jadi musuh pelajar adalah jurnalis. Tak kurang dari empat pewarta foto jadi korban luka-luka. Sedangkan dari kalangan pelajar, ada tujuh orang cedera. Tawuran bermula dari insiden Jumat dua pekan lalu. Seorang juru kamera yang sedang merekam peristiwa bentrokan antara pelajar SMA 6 dan SMA 70 Jakarta tiba-tiba dikepung serta dikeroyok para pelajar. Selain dipukuli, kaset rekaman juru kamera itu dirampas. Tak terima atas insiden perampasan kamera itu, Senin pekan lalu, korban didampingi belasan jurnalis mendatangi SMA Negeri 6 Jakarta. Mereka menuntut pihak sekolah bertanggung jawab atas polah siswanya yang brutal. Tak dinyana, upaya mediasi itu berbuntut bentrokan. Dipicu saling ejek, ratusan pelajar sekolah itu terlibat baku pukul dengan jurnalis. Banyak wartawan lain yang datang belakangan untuk meliput peristiwa itu juga jadi korban kekerasan. Para korban bentrokan, dari kedua pihak, sudah melapor ke polisi dan Dewan Pers. Mereka meminta kedua lembaga itu menindaklanjuti kasus tawuran pelajar versus jurnalis ini berdasarkan hukum yang ada. Imbas peristiwa ini juga menimpa SMA Negeri 6 sendiri. Status rintisan sekolah bertaraf internasional di sana terancam dicabut. Kecaman juga datang dari berbagai penjuru. Menurut Anda, perlukah pemerintah mengevaluasi standar sekolah yang pelajarnya sering melakukan tawuran? Kami tunggu jawaban dan komentar Anda di www.tempointeraktif.com. |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo