Saya salah seorang pangagum Aung San Suu Kyi. Karena itu, ketika TEMPO, 12 Juni, memuat iklan buku Aung terbaru, Bebas dari Ketakutan, terbitan Grafiti Pers, saya merasa tak sabar memiliki dan membacanya hingga tuntas. Ternyata, seminggu kemudian saya bisa menuntaskan kerinduan itu. Meskipun harganya begitu mahal bagi ukuran mahasiswa seperti saya, yakni Rp 15.000, saya tak kecil hati. Karena saya yakin, yang ada di dalam buku itu nilainya jauh lebih mahal dibandingkan dengan selembar sepuluh ribuan dan lima ribuan. Sambil membayar, saya bertanya ke seorang pegawai toko buku, soal royalti. Itu saya tanyakan mengingat tradisi penerbit di Indonesia masih kental dengan tradisi bajak-membajak. Sayangnya, si pegawai tidak tahu-menahu akan hal itu. Untuk itu, lewat surat ini, saya bertanya pada penerbit Grafiti Pers yang menerbitkan buku itu, tentang royalti dari buku Aung. Bukan apa-apa, tapi keingintahuan ini bertolak dari keprihatinan saya kepada Aung. Soalnya, saya pernah membaca di sebuah harian bahwa Aung sampai-sampai menjual piano kesayangannya untuk mempertahankan hidup, karena ia menolak menerima bantuan dari para simpatisannya. Padahal, piano itulah temannya di kala sunyi. Bila teladan moral Aung itu tak mendapatkan royalti, alangkah memprihatinkannya. Karena sekarang ini ia jelas-jelas membutuhkan dukungan keuangan. Dan itu hanya bisa ia terima dari keringatnya sendiri, dan bukan hasil belas kasihan dari para pendukungnya. Tapi, mudah-mudahan prasangka atau kekhawatiran saya di atas salah. Pertanyaan selanjutnya, mengapa buku Aung itu sedemikian mahalnya. Saya tidak tahu, atas pertimbangan apa buku yang ditulis dari ''darah dan air mata'' itu sedemikian mahalnya. Sebab, saya khawatir, jangan-jangan yang bisa memiliki buku itu hanyalah orang tertentu. Orang yang didukung dengan kemampuan finansial yang cukup kuat. Padahal, sebagai teladan moral, Aung seharusnya tidak boleh menjadi eksklusif, dan menjadi milik sebuah kelas saja, yakni kelas yang mempunyai kapital cukup tebal. Saya rasa, Aung pun akan menyetujui pendapat saya terakhir ini. Nah, bagaimana nih, Bung Grafiti Pers? EDY HARYADI (Koordinator) Biro Pembelaan Hak-Hak Mahasiswa Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta PT Pustaka Utama Grafiti membayar Loyalti semua buku terjemahannya, dan, sebagaimana lazimnya, itu dibayarkan ke penerbit aslinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini