PAPAN nama bertulisan Salon Suka Indah kecil dan tidak
menyolok. Di bawahnya, ada kaca etalase sepanjang 30 cm. Di
balik kaca, terpampang beberapa botol obat keriting rambut,
pencuci rambut, pembersih muka. Di atas kertas kartu putih,
tertulis: "keriting rambut, sanggul, cuci rambut dan menghias
pengantin."
Seorang wanita muda di salon itu tengah berusaha keras mengipasi
rambut yang basah, pemilik rambut duduk dengan gelisah, agak
kecewa karena hasilnya kurang bagus. "Besok saja datang lagi,"
kata Djubaedah, 20 tahun, pemilik Salon Suka Indah,
"mudah-mudahan listrik nyala lagi."
Suka Indah, satu-satunya di Desa Cililin, 40 km dari Bandung,
tidak jauh dari kehutanan Gunung Halu. Baru 8 bulan salon
kecantikan itu dibuka. "Paling banyak orang minta dikeriting,"
ujar Djubaedah lagi. Terutama di hari-hari pasar, yaitu Kamis
dan Minggu.
Rata-rata setiap minggu, sekitar 15 orang datang ke salonnya
untuk dikeriting atau dipangkas. Ongkos keriting Rp 1.500,
sedang untuk pangkas -- sambil dikeriting sedikit -- bisa
berdamai.
Cililin juga terkenal karena ada pesantren Sumur Bandung.
Murid-murid pesantren biasanya datang malam hari, ceritera
Djubaedah lagi, "mungkin malu kalau siang.
Pria Cililin biasa minta dipotong rambutnya gaya John Travolta.
Melekat di bagian pinggir, tetapi berjambul ombak di tengah.
Sedangkan wanita, minta potongan a la Elvie Sukaesih. "Itu
yang seperti yang di tv, keriting di tengah dan terurai
panjang sampai ke bahu," tambah Djubaedah.
Kesulitannya ialah, kalau lampu listrik padam. Sebab di Desa
Cililin, hampir setiap minggu paling tidak 2 kali listrik padam.
Langganan Djubaedah tentu saja kecewa kalau rambut sedang
dikeriting, tiba-tiba listrik mati. "Terpaksa deh, saya suruh
datang lagi besoknya untuk diulang," ujar Djubaedah.
"Tetapi saya melakukan keriting dingin," ujar Jasmani, pemilik
Sparta Salon di Desa Aurmalinting, Kabupaten Padang
Pariaman, 90 km dari Kota Padang. Keriting dingin artinya, tanpa
peralatan listrik, "si tukang salon" (begitu Jasmani dijuluki
orang sedesanya) mampu membuat rambut langganannya ikal dengan
peralatan sisir, gunting, obat keriting, sedikit sampho, dan
beberapa jenis obat-obatan rambut lainnya. Untuk mengeringkan
rambut: dikipas-kipas dengan kipas tangan atau digosok dengan
handuk kering.
Sejak 6 bulan lalu, para warga Desa Aurmalintang, sama-sama
maklum jika melihat rambut agak pendek dengan sedikit mengkerut
-- itu artinya si pemilik kepala sudah berhubungan dengan "si
tukang salon". Langganan Jasmani kebanyakan anak-anak muda desa
itu.
Bisnis salon kecantikan yang sebagian besar cuma mengelola
rambut ini, memang cukup laris, di desa-desa Sumatera Barat.
Beberapa salon -- seperti Netty Salon -- bahkan pindah dari
pasar ke pasar lain. Salon buka hanya pada waktu hari pasaran di
kawasan Sungaigering-ging II, desa di Kabupaten Padang
Pariaman pada waktu hari pasaran itulah, umumnya penduduk
desa mempunyai uang.
"Tetapi salon saya akan tutup juga nantinya," ujar Nyonya Sri,
yang membuka salon keriting rambut tanpa nama di Krapyak, sebuah
desa di luar Kota Semarang. Dia membuka usahanya setengah tahun
yang lalu. Langganan ada, tetapi sebagian besar tidak mampu
membayar kontan ongkos keriting rambut yang cuma Rp 750 itu.
Sebagian besar penduduk desa Krapyak, hidup dari buruh tani atau
buruh pabrik.
Karena itu, Nyonya Sri mengambil kebijaksanaan: ongkos keriting
rambut boleh dicicil, asal bisa lunas dalam jangka waktu satu
bulan. "Maklum, upah mereka tidak lebih dari Rp 300 sehari, ujar
pemilik salon tanpa nama itu. Mungkin karena melihat pembayaran
yang seret, Ny. Sri meramalkan usahanya tak akan bertahan lama.
Penduduk desa pergi ke salon pada waktu tertentu saja," ujar
Nyonya Susiati, yang beberapa waktu lalu pernah membuka salon
kecantikan di Desa Susukan, Kecamatan Comal, Kabupaten Pemalang.
Dari Semarang, nyonya ini pernah mudik ke Susukan dengan niat
membuka salon. Tetapi karena animo tidak ada, salon
kecantikannya mati dengan sendirinya. Penduduk desa biasanya
pergi ke salon kecantikan kalau di desa ada pesta.
Pengunjung salon sebagian besar terbatas pada gadis-gadis.
Wanita yang berusia sudah 40 tahun, di desa dianggap aneh kalau
meng-"salon"-kan dirinya. Baru hal yang baik dari salon-salon di
desa ini ialah, mereka selalu memakai alat-alat kosmetik dalam
negeri. Agen-agen pabrik kosmetik dalam negeri cukup gigih
menawarkan hasil produksinya ke kota-kota kecil sampai ke
desa-desa.
Kursus merias rambut kini menjadi inceran kebanyakan gadis di
sekitar Desa Besito, 8 km di utara Kota Kudus. Di desa itu
Nyonya Djahid membuka kursus merias rambut, termasuk keriting
rambut, yang diikuti oleh gadis-gadis dari desa sekitar Besito.
Setelah tamat kursus di Kudus setahun lalu nyonya ini membuka
praktek merias rambut di desanya. Tapi karena peminat cukup
banyak, akhirnya ia kewalahan, sehingga terpaksa menyebarkan
ilmunya dengan membuka kursus dengan tarif Rp 10.000 tiap orang
sampai tamat.
Para orangtua yang mempunyai gadis penggemar salon, tampak masih
kurang seronok dengan salon-salon kecantikan ini. Misalnya
Uniang Tetek yang kini berusia sudah 80 tahun dan semasa mudanya
terkenal sebagai "tukang hias penganten" dari Desa Aurmalintang,
Padang Pariaman. Dia memberikan resep bagaimana memelihara
rambut agar lebat dan tidak cepat ubanan. "Kami dulu cuma
memakai kelapa yang dibusukkan, diparut dan dikeramaskan di
rambut," ujar nenek Tetek.
Resep tradisional untuk merias wajah pengantin dari nenek ini
ialah air kelapa muda yang dicelupi daun si tawa, si dingin, si
kumpai dan si kurau "Oleskan ke wajahnya, pasti berseri dan
cantik," katanya. Tambahnya lagi sambil berseloroh: "Sekarang
ini, wajah pengantin bersilemak saja. Sanggul gadis-gadis malah
mudah dicopot-copot. Pantaslah, suaminya juga cepat copot."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini