Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Salon masuk desa

Bisnis salon kecantikan sudah masuk ke desa-desa. misalnya terdapat di cililin, bandung, dan aurmalintang, padang pariaman. konsumen yang berpenghasilan rendah bisa mencicil.(ils)

7 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAPAN nama bertulisan Salon Suka Indah kecil dan tidak menyolok. Di bawahnya, ada kaca etalase sepanjang 30 cm. Di balik kaca, terpampang beberapa botol obat keriting rambut, pencuci rambut, pembersih muka. Di atas kertas kartu putih, tertulis: "keriting rambut, sanggul, cuci rambut dan menghias pengantin." Seorang wanita muda di salon itu tengah berusaha keras mengipasi rambut yang basah, pemilik rambut duduk dengan gelisah, agak kecewa karena hasilnya kurang bagus. "Besok saja datang lagi," kata Djubaedah, 20 tahun, pemilik Salon Suka Indah, "mudah-mudahan listrik nyala lagi." Suka Indah, satu-satunya di Desa Cililin, 40 km dari Bandung, tidak jauh dari kehutanan Gunung Halu. Baru 8 bulan salon kecantikan itu dibuka. "Paling banyak orang minta dikeriting," ujar Djubaedah lagi. Terutama di hari-hari pasar, yaitu Kamis dan Minggu. Rata-rata setiap minggu, sekitar 15 orang datang ke salonnya untuk dikeriting atau dipangkas. Ongkos keriting Rp 1.500, sedang untuk pangkas -- sambil dikeriting sedikit -- bisa berdamai. Cililin juga terkenal karena ada pesantren Sumur Bandung. Murid-murid pesantren biasanya datang malam hari, ceritera Djubaedah lagi, "mungkin malu kalau siang. Pria Cililin biasa minta dipotong rambutnya gaya John Travolta. Melekat di bagian pinggir, tetapi berjambul ombak di tengah. Sedangkan wanita, minta potongan a la Elvie Sukaesih. "Itu yang seperti yang di tv, keriting di tengah dan terurai panjang sampai ke bahu," tambah Djubaedah. Kesulitannya ialah, kalau lampu listrik padam. Sebab di Desa Cililin, hampir setiap minggu paling tidak 2 kali listrik padam. Langganan Djubaedah tentu saja kecewa kalau rambut sedang dikeriting, tiba-tiba listrik mati. "Terpaksa deh, saya suruh datang lagi besoknya untuk diulang," ujar Djubaedah. "Tetapi saya melakukan keriting dingin," ujar Jasmani, pemilik Sparta Salon di Desa Aurmalinting, Kabupaten Padang Pariaman, 90 km dari Kota Padang. Keriting dingin artinya, tanpa peralatan listrik, "si tukang salon" (begitu Jasmani dijuluki orang sedesanya) mampu membuat rambut langganannya ikal dengan peralatan sisir, gunting, obat keriting, sedikit sampho, dan beberapa jenis obat-obatan rambut lainnya. Untuk mengeringkan rambut: dikipas-kipas dengan kipas tangan atau digosok dengan handuk kering. Sejak 6 bulan lalu, para warga Desa Aurmalintang, sama-sama maklum jika melihat rambut agak pendek dengan sedikit mengkerut -- itu artinya si pemilik kepala sudah berhubungan dengan "si tukang salon". Langganan Jasmani kebanyakan anak-anak muda desa itu. Bisnis salon kecantikan yang sebagian besar cuma mengelola rambut ini, memang cukup laris, di desa-desa Sumatera Barat. Beberapa salon -- seperti Netty Salon -- bahkan pindah dari pasar ke pasar lain. Salon buka hanya pada waktu hari pasaran di kawasan Sungaigering-ging II, desa di Kabupaten Padang Pariaman pada waktu hari pasaran itulah, umumnya penduduk desa mempunyai uang. "Tetapi salon saya akan tutup juga nantinya," ujar Nyonya Sri, yang membuka salon keriting rambut tanpa nama di Krapyak, sebuah desa di luar Kota Semarang. Dia membuka usahanya setengah tahun yang lalu. Langganan ada, tetapi sebagian besar tidak mampu membayar kontan ongkos keriting rambut yang cuma Rp 750 itu. Sebagian besar penduduk desa Krapyak, hidup dari buruh tani atau buruh pabrik. Karena itu, Nyonya Sri mengambil kebijaksanaan: ongkos keriting rambut boleh dicicil, asal bisa lunas dalam jangka waktu satu bulan. "Maklum, upah mereka tidak lebih dari Rp 300 sehari, ujar pemilik salon tanpa nama itu. Mungkin karena melihat pembayaran yang seret, Ny. Sri meramalkan usahanya tak akan bertahan lama. Penduduk desa pergi ke salon pada waktu tertentu saja," ujar Nyonya Susiati, yang beberapa waktu lalu pernah membuka salon kecantikan di Desa Susukan, Kecamatan Comal, Kabupaten Pemalang. Dari Semarang, nyonya ini pernah mudik ke Susukan dengan niat membuka salon. Tetapi karena animo tidak ada, salon kecantikannya mati dengan sendirinya. Penduduk desa biasanya pergi ke salon kecantikan kalau di desa ada pesta. Pengunjung salon sebagian besar terbatas pada gadis-gadis. Wanita yang berusia sudah 40 tahun, di desa dianggap aneh kalau meng-"salon"-kan dirinya. Baru hal yang baik dari salon-salon di desa ini ialah, mereka selalu memakai alat-alat kosmetik dalam negeri. Agen-agen pabrik kosmetik dalam negeri cukup gigih menawarkan hasil produksinya ke kota-kota kecil sampai ke desa-desa. Kursus merias rambut kini menjadi inceran kebanyakan gadis di sekitar Desa Besito, 8 km di utara Kota Kudus. Di desa itu Nyonya Djahid membuka kursus merias rambut, termasuk keriting rambut, yang diikuti oleh gadis-gadis dari desa sekitar Besito. Setelah tamat kursus di Kudus setahun lalu nyonya ini membuka praktek merias rambut di desanya. Tapi karena peminat cukup banyak, akhirnya ia kewalahan, sehingga terpaksa menyebarkan ilmunya dengan membuka kursus dengan tarif Rp 10.000 tiap orang sampai tamat. Para orangtua yang mempunyai gadis penggemar salon, tampak masih kurang seronok dengan salon-salon kecantikan ini. Misalnya Uniang Tetek yang kini berusia sudah 80 tahun dan semasa mudanya terkenal sebagai "tukang hias penganten" dari Desa Aurmalintang, Padang Pariaman. Dia memberikan resep bagaimana memelihara rambut agar lebat dan tidak cepat ubanan. "Kami dulu cuma memakai kelapa yang dibusukkan, diparut dan dikeramaskan di rambut," ujar nenek Tetek. Resep tradisional untuk merias wajah pengantin dari nenek ini ialah air kelapa muda yang dicelupi daun si tawa, si dingin, si kumpai dan si kurau "Oleskan ke wajahnya, pasti berseri dan cantik," katanya. Tambahnya lagi sambil berseloroh: "Sekarang ini, wajah pengantin bersilemak saja. Sanggul gadis-gadis malah mudah dicopot-copot. Pantaslah, suaminya juga cepat copot."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus