OOM Pasikom menangis. Duduk sendirian pada sebuah batu di sudut
kanan ruangan tiga kolom, dengan latar belakang hitam legam --
dan dengan sebatang ranting ia menulis di tanah: Tampomas.
Karikatur -- seperti yang di Kompas 31 Januari itu -- memang
meringkas satu peristiwa sembari memberi tanggapan. Dan sebuah
kumpulan karikatur karya G.M. Sudarta, pelukis 'Oom Pasikom'
itu, yang diberi judul Indonesia 1967-1980 -- dan terbit akhir
Januari lalu -- dengan demikian memang catatan peristiwa dan
tanggapan untuk lima belas tahun terakhir, seperti ditulis di
kulit buku.
G.M. Sudarta, 35 tahun, memang berhasil muncul sebagai salah
satu karikaturis terbaik kini. Ciptaannya, tokoh Pasikom itu,
hadir setiap hari sebagai salah seorang kerabat kita. Tak apalah
kostumnya yang tampak blasteran itu: baret berjambul, jas
(bertambal), dasi dan sepatu -- yang tak pernah ganti.
Di hari Idul Fitri si Oom bisa menjadi penjual bungkus ketupat
yang bahagia. Ia pun bisa menjadi narapidana yang berhasil lari
dari lembaga pemasyarakatan. Juga tak jarang memerankan tokoh
pegawai Bea Cukai yang selalu kebobolan melawan cukong. Beberapa
kali pusing mencarikan sekolah anaknya. Dan suatu kali ia
menjerit kesakitan terjinjak kaki hakim, ketika memerankan
Wasdri, itu orang kecil yang kena perkara karena uang Rp 50.
Th. Sumartana, kolumnis yang memilih dan menyusun kartun-kartun
itu dalam satu kumpulan, dalam pengantarnya dengan baiknya
melukiskan perkembangan si Oom. Bagaimana si Oom yang muncul
tahun 1969 sebagai tokoh kartun biasa, yang sekedar menampilkan
humor, kemudian terlibat soal politik: pemilihan umum, hukum dan
keadilan, korupsi dan semacamnya.
Dan tak hanya itu. Kalau di awal-awal kemunculannya ia keras,
dan menggebrak, kian dewasa kian santai dan lebih kaya gaya.
Lihat saja: di tahun 1971 hidungnya masih runcing. Dan
perlahan-lahan membulat kira-kira sejak 1973. Di kala demam
Pemilu mulai terasa, 1971, si Oom jatuh sakit dan perlu
didokteri Kopkamtib.
Dari si Oom inilah kita bisa melihat peristiwa yang ramai pada
1967-1980, setidaknya menurut penilaian dia. Dari 380 karikatur
yang dikelompokkan menjadi 22 tema, dalam buku ini, bisa dilihat
juga bahwa sepakbola merupakan favorit si Oom di bidang
olahraa. Di bidang kepartaian, perpecahan PDI. Soal mencari
sekolah dan gaji guru yang dipotong merupakah hal yang menonjol
di bidang pendidikan.
Hanya dalam soal korupsi Oom seperti sudah setengah putus asa.
Ini dibuktikan dengan dua karikatur dari 7 September 1968 dan 20
September 1979, yang mirip sekali idenya. Kejar-kejaran antara
koruptor dan pembrantas korupsi pada ban berjalan sang koruptor
tak pernah terpegang, tentu saja.
Lihatlah, betapa selama 13 tahun masalah yang dihadapi Ibukota
Jakarta tetap itu-itu saja: banjir, kemacetan lalulintas,
sampah, keamanan, judi dan maksiat.
Berhasilnya sebuah karikatur, kiranya ditentukan oleh seberapa
hangat masalah yang dikarikaturkan, seberapa tajam sudut pandang
yang diambil karikaturisnya, dan sangat penting tentunya
kualitas gambarnya sendiri. Dan kalau G.M. Sudarta kemudian
menonjol, ia memang berada dalam lingkungan yang menguntungkan
yang memungkinkannya mendapat seala informasi yang, nota bene,
bukan jenis indoktrinasi. Garis dan bentuk karikatur Sudarta
bagaimana pun lucu. Tapi tak hanya itu, memang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini