Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUKAN kali ini saja Indonesia mengeksekusi mati orang yang diputuskan bersalah oleh pengadilan dan dinilai tak layak hidup lagi. Kali ini eksekusi delapan terpidana mati kasus narkotik menuai protes. Indonesia memang menyatakan perang terhadap narkotik, sehingga para pengedar dan bandar tak punya keringanan hukuman.
Eksekusi mati telah berulang kali terjadi. Majalah Tempo pernah menulis eksekusi mati terhadap Kusni Kasdut, terpidana pembunuhan yang legendaris dan kerap bisa kabur dari penjara, pada 16 Februari 1980. Ketika itu, pro-kontra juga terjadi di masyarakat.
Waktu itu 6 Februari sekitar pukul 04.35 WIB. Tugas regu tembak selesai sudah: Ignatius Waluyo alias Kusni Kasdut, 52 tahun, dinyatakan telah tewas ditembus peluru. Nasib Kusni telah ditentukan ketika Presiden Soeharto menolak permohonan grasinya pada 10 November 1979. Dia pun mengakui kejahatannya sudah tidak tertanggungkan lagi. Ia dipidana mati karena membunuh polisi di Semarang.
Sebelumnya, Kusni dihukum penjara seumur hidup untuk nyawa Ali Bajened. Ia juga divonis 12 tahun penjara karena memimpin perampokan berlian di Museum Pusat. Dia pun telah diganjar 5 tahun karena menculik seorang dokter. Sebagai narapidana, Kusni juga sudah delapan kali berusaha lari dari penjara dan tempat tahanan polisi. Tiga kali ia gagal.
Beberapa hari sebelum Kusni Kasdut berhadapan dengan regu tembak, di Jakarta muncul sekelompok orang berkaus dengan tulisan "Hapus Hukuman Mati". Mereka menyebut diri Kelompok Hati. Hukuman mati, menurut kelompok ini, tampak "telah meruntuhkan nilai-nilai kemanusiaan". Pidana mati meniadakan kemungkinan bertobat, padahal hukuman adalah proses untuk mendidik dan memperbaiki kehidupan terpidana.
Hukuman itu dengan kata lain sia-sia, meskipun Kelompok Hati mengakui bahwa studi perkara itu di Indonesia belum pernah dilakukan secara layak. Adam Malik, wakil presiden, juga menolak hukuman mati. Sikapnya sangat jelas anti-hukuman mati bagi semua jenis kejahatan. Sesaat sebelum sidang kabinet pada hari Kusni Kasdut ditembak, dia menyatakan, "Hukuman mati tak perlu dilaksanakan di Indonesia." Sebab, katanya, negara ini hidup dalam peradaban yang maju.
Pendapat itu tentu bukan pendapat resmi pemerintah. Jaksa Agung Ali Said menyatakan ancaman hukuman mati masih perlu dicantumkan dalam undang-undang. Ketua Majelis Ulama Indonesia H M. Syukri mengatakan hukuman mati dibenarkan oleh Islam bagi kejahatan membunuh manusia jika keluarga korban tidak memaafkannya, memerangi Allah dan utusannya, serta berzina bagi orang yang sudah menikah.
Hukuman mati dianggap hanya menunjukkan ketidakmampuan mendidik narapidana. Sudarto, 57 tahun, Rektor Universitas Diponegoro dan guru besar hukum pidana, juga tak setuju terhadap hukuman mati. Alasan pokoknya, manusia tak berhak mencabut nyawa orang lain. Apalagi hakim bisa salah menjatuhkan hukuman.
Tapi kondisi di Indonesia belum baik. Kriminalitas sudah berubah jadi teror. Menurut Mahadi, guru besar luar biasa di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan mantan Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, suatu saat Indonesia butuh senjata terhadap orang yang sudah tidak bisa diperbaiki lagi. "Bila kejahatan sudah dilakukan berulang-ulang, entah itu subversi, manipulasi, atau pembunuhan, perlu hukuman mati," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo