Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengatakan Indonesia kini menghadapi sinyal krisis ekonomi dengan daya beli melemah dan adanya deflasi berturut-turut. Namun, kata Indef, hal tersebut dapat dicegah dengan intervensi kebijakan oleh pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sekarang ini daya beli melemah, kemudian deflasi terus-menerus. Ini sebetulnya tanda-tanda bahwa insyaallah krisis akan terjadi,” ujar Direktur Eksekutif Indef Esther Sri Astuti dalam diskusi bertajuk “Melanjutkan Kritisisme Faisal Basri: Memperkuat Masyarakat Sipil, Mengawasi Kekuasaan” yang tayang secara daring pada Ahad, 15 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, ia memaparkan bahwa deflasi terjadi selama empat bulan berturut-turut tahun ini, dari Mei hingga Agustus. Pada Mei, deflasi terjadi sekitar 0,03 persen, diikuti dengan 0,08 persen pada Juni dan 0,18 persen pada Juli, kemudian 0,03 persen pada Agustus.
“Artinya kondisi ekonomi sedang tidak baik-baik saja,” katanya. “Deflasi saya katakan sebagai sinyal krisis ekonomi.”
Selain adanya deflasi beruntun, tingkat inflasi inti juga tidak membaik. Berdasarkan data BPS pada 2023, target inflasi tahunan pada anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) hanya 2,8 persen, sementara inflasi riil yang terjadi per Agustus 2024 sebesar 3,27 persen.
Indef juga mengamati beberapa inflasi menurut kelompok pengeluaran masih lebih tinggi dibandingkan inflasi umum, padahal seharusnya lebih rendah. Esther pun menggarisbawahi satu tren yang dinilai cukup mengkhawatirkan, yakni adanya inflasi transportasi yang sangat tinggi. Menurut dia, hal itu akan berdampak ke seluruh lapisan masyarakat, sebab biaya transportasi merupakan komponen pembentuk harga barang lainnya.
“Saya khawatir kalau inflasi transportasi ini tidak diredam, maka daya beli masyarakat akan menurun. Maka tidak heran jika jumlah kelas menengah ini akan turun,” ujarnya.
Menyikapi hal ini, ia lantas menyerukan Bank Indonesia sebagai otoritas pemegang kebijakan moneter agar melakukan intervensi dalam bentuk easy money policy atau kebijakan uang mudah. Kebijakan moneter itu dilakukan dengan meningkatkan jumlah uang beredar biasanya dengan menurunkan suku bunga.
Ia meminta Bank Indonesia menurunkan suku bunga, menggunakan instrumen moneter lain seperti giro wajib minimum, dan mendorong kredit.
“Seharusnya bank sentral, pemegang otoritas kebijakan moneter, bisa melakukan intervensi kebijakan stabilitas harga agar di Indonesia tidak terjadi deflasi terus-terusan, sehingga bisa menghindari krisis ekonomi,” kata dia.
Pilihan Editor: Ini Daftar Gurita Bisnis MNC Digital Entertainment Milik Hary Tanoe yang Baru Akuisisi Bisnis Raam Punjabi