Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Narasi, gambar, dan cerita sudah menjelajah jauh di ruang-ruang kreativitas. Setiap tahun, film Indonesia menjadi peserta festival-festival bergengsi di luar negeri. Bukan hanya film-film pendek atau yang mementingkan eksplorasi tema, film komersial juga tak jarang mampir di sana. Tentu saja ini menggembirakan jika dibandingkan dengan keadaan genting sebelum 1998.
Artikel Tempo tentang film Steven Spielberg, Schindler’s List, mencerminkan kegentingan itu. Badan Sensor Film (BSF) melarang film ini diedarkan di Indonesia. “Terlalu banyak pihak yang disulitkan,” kata Alex Leo, Ketua BSF, yang memimpin sidang, kepada wartawan Tempo Sri Pudyastuti dalam edisi 11 Juni 1994. Pihak yang disulitkan itu, menurut Alex, “Pengedar film, bioskop, masyarakat.”
Alex menambahkan, Gabungan Pengusaha Bioskop Indonesia pernah mengatakan film hitam-putih dengan masa putar 3 jam 30 menit itu akan merugikan gedung bioskop. Tak disebutkan Alex mengapa film ini juga dikatakannya menyulitkan masyarakat. Tapi tak sulit diduga, Schindler’s List, yang berkisah tentang pembantaian warga Yahudi di Polandia pada masa Perang Dunia II, akan mengundang reaksi pro dan kontra di masyarakat yang mayoritas muslim ini. BSF sendiri telah mengantisipasinya, mengundang sejumlah ulama dan tokoh masyarakat agar menontonnya dan memberikan masukan. “Pendapat mereka berbeda-beda,” tutur Soekanto, Ketua Harian BSF.
Rosihan Anwar, wartawan dan kolumnis, berpendapat film tersebut layak diloloskan BSF tanpa pemotongan. Kenapa? Menonton film itu, terutama bagi generasi yang malas membaca, kata Rosihan kepada Jakarta Post, seperti belajar sejarah dalam waktu singkat. Penonton jadi tahu tentang Holocaust. Tapi KH Hasan Basri, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, menyatakan sebaiknya film itu ditolak. Beredarnya film itu hanya akan mengundang protes orang Islam, kata Lukman Harun dari Komite Solidaritas Islam kepada harian berbahasa Inggris tersebut.
Film itu akan mereka anggap sebagai propaganda Yahudi. Sebenarnya, dalam sidang pleno BSF, Selasa, 24 Mei, yang diadakan setelah prosedur sensor yang biasa (penilaian oleh lima anggota) menemui jalan buntu, sudah dilakukan pemungutan suara. Diperoleh 24 suara meskipun yang hadir hanya 22 orang, karena ada dua suara titip-an. Mayoritas suara menyetujui film lolos sensor dengan pemotongan sejumlah adegan sadistis dan porno. Tapi esoknya muncul protes. “Dari anggota yang menilai sidang pleno itu tidak sah, karena ada suara titipan itu,” kata Soekanto kepada Leila S. Chudori, wartawan Tempo.
Suara titipan itu datang dari anggota “yang sedang bertugas, dan yang sedang naik haji”. Maka dibuka sidang untuk menentukan keabsahan sidang Selasa. Dan setelah dinyatakan itu tak sah, diadakan sidang pleno Senin. Andai tujuannya sekadar mencegah film tersebut diputar di Indonesia, sebenarnya BSF tak perlu sesibuk itu. Seperti sudah banyak diberitakan, film tersebut hanya boleh diputar seutuhnya atau tidak sama sekali. Itu permintaan -sutradaranya dan dimasukkan dalam perjanjian kontrak pembelian film. “Karena itu (permintaan tersebut) punya kekuatan hukum,” ujar Nadia Bronson, juru bicara produser film ini, kepada Bambang Harymurti dari Tempo.
Di Malaysia, Schindler’s List, yang diizinkan diputar dengan pemotongan, akhirnya memang ditarik produsernya. Karena itu, kesibukan BSF meninjau kembali dan mengadakan sidang ulangan terasa berlebihan. Ini hanya mengesankan ada pihak yang menghendaki BSF harus bersikap menolak. Dan semestinya itu bukan karena adegan porno dan sadistisnya. Dibandingkan dengan adegan porno dan sadistis film Indonesia saat itu, adegan dalam Schindler’s List boleh dibilang bukan apa-apa.
Bagaimana dengan soal propaganda Yahudi itu? Siapa pun yang menonton film ini memang tahu bahwa inilah kisah kesengsaraan warga Yahudi di Polandia selama pendudukan Nazi. Tapi kesan tersebut tak terpatok mati di situ. Dalam kegelapan gedung bioskop, film ini pun mencerminkan kesengsaraan muslim Bosnia yang dibantai Serbia, orang hitam Afrika Selatan pada masa apartheid, rakyat Rwanda yang tak berdaya yang menjadi korban perang saudara, dan orang Palestina yang ditindas Yahudi. Singkat kata, Schindler’s List adalah sebuah kisah yang menggugat kebiadaban manusia atas manusia. Ini lebih daripada sekadar sejarah.
Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 11 Juni 1994. Dapatkan arsip digitalnya di:
https://store.tempo.co/majalah/detail/MC201212060047/marsinah-peradilan-yang-sesat-marsinah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo