Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
PSSI akan menggelar Liga 1 Putri 2020 pada April mendatang
Kompetisi sepak bola perempuan nasional pertama kali diadakan pada 2019
Sepak bola perempuan sudah marak di Indonesia sejak 1970
PERSATUAN Sepak Bola Seluruh Indonesia atau PSSI berencana menggelar kompetisi sepak bola perempuan nasional atau Liga 1 Putri 2020 pada April mendatang. Tahun lalu, PSSI menggelar Liga 1 Putri sejak Oktober hingga Desember, yang diikuti sepuluh tim. Persib Bandung menjadi juara pertama setelah mengalahkan Tira Persikabo Bogor di ajang tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski liga perempuan baru pertama kali digelar pada 2019, sepak bola perempuan sejatinya sudah jamak di masyarakat Indonesia. Majalah Tempo edisi 28 April 1979 memuat laporan berjudul “Wanita Kita juga Asyik Menendang”, yang mengulas mengenai maraknya sepak bola perempuan di sejumlah daerah dan tantangan yang dihadapi beberapa kesebelasan tersebut kala itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kesebelasan perempuan sedang menjamur di berbagai kota besar. Mereka timbul silih berganti. Setidaknya ada delapan kesebelasan putri yang menonjol, yaitu Buana Putri di Jakarta, Putri Priangan di Bandung, Putri Mataram di Yogyakarta, Puni Saburai di Lampung, Putri Srikandi di Semarang, Putri Setia dan Putri Sakti di Surabaya, serta Putri Pardedetex di Medan. Adalah Putri Priangan yang tertua, lahir pada 1969 dan masih terus bertahan.
Kemampuan kesebelasan perempuan menggiring dan menendang bola juga tidak kalah oleh kesebelasan pria. Sayang, ruang bertanding mereka tidak seluas kesebelasan pria. Belum ada liga sepak bola putri tingkat nasional. Pertandingan hanya berskala lokal, paling banter tingkat provinsi. Itu juga pada saat tertentu, terutama pada perayaan Hari Kartini setiap April.
Misalnya di Yogyakarta. Pada pekan kedua April 1979 digelar Turnamen Hari Kartini yang diikuti 14 dari 30 klub sepak bola perempuan di kota tersebut. Sejumlah kota lain juga menggelar pertandingan yang sama. Ajaran RA Kartini tentang emansipasi memang tidak menganjurkan perempuan ikut main sepak bola. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kegiatan tersebut menjadi semacam rutinitas tahunan.
Pengelolaan klub sepak bola perempuan tidak mudah. J. Hutapea, pria yang pernah mendirikan klub sepak bola wanita di Medan, mengetahui betul kesulitannya. “Soalnya karena ada yang sudah berumah tangga, pindah ke lain kota,” katanya.
Di Medan, beberapa klub cewek tadinya muncul berkaitan dengan promosi siaran radio niaga masing-masing. Ketika siaran niaganya lenyap, hilang pula klubnya. Maka tinggallah Putri Pardedetex All Stars saja di Medan. Ini pun tidak begitu giat sekarang. “Karena tak ada lawan bertanding,” ujar Johny Pardede, 24 tahun, pengelola Putri Pardedetex.
Di Surabaya, Putri Sakti mencari lawan sampai Banyuwangi dan Blitar. Masalah lain, “Anggota kami jika sudah pacaran, apalagi kawin, tak mau lagi ikut latihan,” kata Mitra Surya, 35 tahun, pelatih kesebelasan ini, mengeluh.
Di Tasikmalaya lebih rumit. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tasikmalaya mesti bersidang dulu untuk membicarakan boleh atau tidaknya pertandingan sepak bola perempuan di kotanya. Banten, Cianjur, dan Ciamis bahkan melarang pertandingan sepak bola perempuan.
Meski begitu, sepak bola perempuan diam-diam juga bisa mendatangkan bisnis. Sekali dipanggil bertanding, misalnya, Buana Putri di Jakarta menetapkan fee Rp 200 ribu. Itu belum termasuk biaya akomodasi, transportasi, serta uang saku pemain. Berbagai pertandingannya telah banyak menyedot penonton. Begitu pula kesebelasan Putri Priangan di Bandung. “Memang sudah menguntungkan penyelenggara,” ujar Aat Thohir, pemimpin Putri Priangan. “Tapi belum dirasakan keuntungannya secara komersial.”
Ada juga di antara klub wanita itu yang melawat ke luar negeri. Putri Priangan pernah mengikuti Pesta Sukan di Malaysia. Buana Putri menjadi anggota Asian Ladies Football Confederation dan pernah ikut kompetisi internasional di Taiwan. “Ada harapan Desember nanti kami diundang bertanding di India,” kata Sudono, anggota pengurus Buana Putri.
Lantas, bagaimana dengan sikap PSSI? PSSI sudah tahu potensi besar tersebut dan bermaksud membentuk Galanita, semacam Galatama yang khusus perempuan. Namun itu masih sebatas gagasan.
Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 1 Agustus 1987. Dapatkan arsip digitalnya di:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo