Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Polemik pemilihan kepala daerah yang sedang dibahas dalam Rancangan Undang-Undang Pilkada di Dewan Perwakilan Rakyat menyedot perhatian publik. Ada upaya mayoritas fraksi di DPR ingin kepala daerah kembali dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Enam fraksi setuju pemilihan oleh DPRD, yakni Fraksi Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan, Gerindra, Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Amanat Nasional. Di pihak lain, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Hati Nurani Rakyat setuju pemilihan langsung.
Pemerintah dan DPR membahas RUU Pilkada pada 9-10 September, selanjutnya diambil keputusan tingkat pertama pada 11 September. Pengambilan keputusan di rapat paripurna DPR pada 12 September.
Tempo pernah menyajikan laporan pemilihan tidak langsung Wali Kota Palembang pada 1978. Saat itu, H.A. Dahlan H.Y. (penjabat wali kota sekarang) menerima jabatan dari Arifai Tjekyan. Masalahnya menjadi cukup hangat semenjak Tenaga Pembangunan Sriwijaya (bekas Tentara Pelajar) menghendaki agar jabatan itu diduduki salah seorang dari tiga calonnya. Mereka adalah Drs Zulkarnain Tjekmat dan Drs Hasan Basri (keduanya pengusaha di Jakarta) serta Sofyan Kenawas (pengusaha di Palembang).
Pembantu Tempo di Palembang melaporkan bahwa keinginan Tenaga Pembangunan Sriwijaya menduduki jabatan itu tampaknya cukup keras juga. Ini terbukti dengan ucapan salah seorang pengurusnya bahwa jika Wali Kota Palembang kelak diduduki oleh orang bukan calonnya, organisasi ini akan berjuang terus dengan berbagai cara merebutnya. Bahkan seorang pemimpin Tenaga Pembangunan Sriwijaya dikutip mengancam "punya bukti-bukti bahwa Drs Dahlan tidak bersih dan akan membeberkan fakta-faktanya secara terbuka jika Dahlan menjadi Wali Kota Palembang".
Kepada Gubernur Sumatera Selatan dan Panglima Komando Daerah Militer IV Sriwijaya, Tenaga Pembangunan Sriwijaya dikabarkan telah melakukan pendekatan. Panglima disebutkan mengelak memberi jawaban pasti karena soal wali kota itu "merupakan wewenang gubernur". Sedangkan Gubernur H. Asnawi Mangku Alam, ketika dihubungi pembantu Tempo, berkata, "Adalah hak setiap orang mencalonkan diri menjadi Wali Kota Palembang." Tapi, dia menambahkan, hendaklah dengan cara wajar.
Dalam hubungan ini, Asnawi menolak tuduhan seolah-olah Drs Dahlan telah ia persiapkan jauh sebelumnya untuk menduduki jabatan itu. Kata Asnawi, "Kalau Dahlan sekarang menjadi penjabat wali kota karena dialah penjabat di Kota Madya Palembang yang paling memenuhi syarat untuk itu." Soal siapa nanti yang akan menjadi wali kota definitif, Gubernur menambahkan, "Kita tunggu saja hasil pemilihan DPRD Kota Madya pada waktunya." Pihak Dahlan ketika dihubungi tak bersedia memberi komentar banyak. "Sebagai manusia, ketentuan paling akhir akan nasib kita ada di tangan Tuhan, bukan di tangan siapa-siapa," kata Dahlan.
Sumber Tempo di Balai Kota Palembang menyebutkan, melalui teleks bertanggal 18 Maret 1978, Menteri Dalam Negeri memberikan restu kepada Dahlan sebagai bakal calon dalam pencalonan/pemilihan Wali Kota Palembang. Ihwal restu ini, menurut penjabat Wali Kota Palembang itu, "Sebagai pegawai negeri, saya wajib meminta restu dari atasan saya, yaitu Mendagri."
Soal adanya tuduhan seolah-olah dia tak bersih? "Jika ada hal-hal negatif mengenai diri saya, tentu tak mungkin Mendagri memberi restu serupa itu," ucap Dahlan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo