Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sri Budi Eko Wardani*
Perubahan peta politik pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah dalam Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat berlangsung sangat cepat. Sejak keluar putusan Mahkamah Konstitusi menolak gugatan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa pada 21 Agustus 2014, sikap fraksi-fraksi pengusung pasangan itu berubah drastis. Poin krusialnya adalah mekanisme pemilihan kepala daerah yang terbagi dalam dua kubu: dipilih rakyat atau dipilih Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Rancangan undang-undang ini merupakan inisiatif pemerintah dan diserahkan ke DPR pada 6 Juni 2012. Ada hal-hal penting yang diusulkan pemerintah, yaitu gubernur dipilih DPRD, bupati atau wali kota dipilih rakyat, pemilihan gubernur oleh DPRD tidak dibuka untuk calon perseorangan, serta pemilihan bupati atau wali kota oleh rakyat memberlakukan calon perseorangan dan calon partai atau gabungan partai. Ada pula sengketa hasil pemilihan gubernur ditangani oleh Mahkamah Agung, untuk pemilihan bupati atau wali kota oleh Mahkamah Konstitusi, dan ada pengaturan "dinasti politik" melalui larangan calon kepala daerah memiliki hubungan kekerabatan dengan inkumben.
Selama kurang-lebih dua tahun pembahasan, umumnya semua fraksi setuju pemilihan oleh rakyat, baik gubernur maupun bupati atau wali kota. Sementara itu, Dewan Perwakilan Daerah memiliki sikap gubernur dipilih langsung dan bupati atau wali kota oleh DPRD. Poin yang membedakan adalah pencalonannya: satu paket (kepala daerah dan wakil) atau tidak satu paket (kepala daerah saja, sementara wakil ditunjuk kepala daerah terpilih). Sedangkan untuk masalah "dinasti politik", sikap fraksi umumnya tidak setuju dengan alasan melanggar hak politik warga negara untuk dipilih.
Berubahnya sikap fraksi-fraksi pengusung Prabowo-Hatta-Golkar, Gerakan Indonesia Raya, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Keadilan Sejahtera, dan Demokrat-tentang mekanisme pemilihan sangat kontroversial. Pada pembahasan sebelum pemilu, 18 Februari 2014, sebagian besar fraksi dan pemerintah sepakat pemilihan kepala daerah oleh rakyat (kecuali Partai Kebangkitan Bangsa, yang setuju pemilihan bupati atau wali kota oleh DPRD). Persoalan biaya penyelenggaraan yang dianggap mahal pun terjawab dengan putusan Mahkamah Konstitusi tentang pemilu serentak pada 2019.
Setelah pemilu presiden, terlihat pada posisi 9 September, perubahan sikap terjadi. Enam fraksi pengusung Prabowo-Hatta, yang menamai diri Koalisi Merah Putih, berbalik mendukung pemilihan oleh DPRD untuk semua level. Sedangkan tiga fraksi pengusung Joko Widodo-Jusuf Kalla-Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, PKB, serta Hanura-dan pemerintah mendukung pemilihan langsung. Kontroversi semakin merebak karena perubahan sikap ini terkait dengan perubahan konstelasi politik pasca-pemilihan presiden, dan Koalisi Merah Putih menguasai perolehan kursi di DPR serta DPRD provinsi dan kabupaten atau kota.
Ada optimisme ketika pemilihan langsung diberlakukan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008). Hal ini terkait dengan demokratisasi di tingkat lokal yang selama dua dasawarsa lebih dipasung oleh kepentingan politik elite penguasa. Kata kuncinya adalah partisipasi politik rakyat. Pemilihan langsung mendorong perluasan partisipasi rakyat di daerah untuk ikut menentukan sendiri pemimpin mereka. Desain sentralistik dalam hubungan pusat-daerah sejak penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah menorehkan dominasi kepentingan pusat atas urusan rumah tangga daerah, termasuk dalam menentukan kepala daerah.
Dalam undang-undang tersebut, DPRD memilih dan mengajukan dua calon kepala daerah yang telah disepakati antara pemimpin DPRD dan Menteri Dalam Negeri. Kemudian dua nama diajukan kepada presiden, dan presiden mengangkat satu di antaranya. Dalam mekanisme tersebut, daerah sama sekali tidak memiliki peran karena keputusan akhir berada di tangan pemerintah pusat (Menteri Dalam Negeri dan presiden). Praktek seperti ini berlangsung 25 tahun lebih, dan daerah (rakyat dan elitenya) sebenarnya tidak berperan dalam menentukan sendiri pemimpin mereka.
Koreksi terhadap kebijakan sentralisasi langsung dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Salah satu kebijakan desentralisasi dalam undang-undang tersebut adalah pemberian kewenangan bagi DPRD untuk memilih dan memberhentikan kepala daerah. Ini kewenangan yang sangat kuat bagi DPRD. Pertama, karena DPRD belum berpengalaman memilih langsung kepala daerah. Kedua, karena kewenangan ini membuat relasi kuasa baru di daerah, yaitu antara kepala daerah dan DPRD, yang sebagian besar anggotanya partai politik (masih ada anggota DPRD dari TNI/Polri yang diangkat). Maka, selama 1999-2002, otonomi daerah dijalankan menurut "selera" anggota DPRD (baca: partai politik), termasuk menentukan jumlah pendapatan mereka.
Alih-alih memberikan ruang partisipasi kepada rakyat daerah, otonomi daerah justru hanya dinikmati sekelompok elite di DPRD dan partai politik. Kasus konflik atau perselisihan antara DPRD dan kepala daerah yang diselesaikan dengan pemecatan sepihak kepala daerah terjadi di berbagai tempat. Puncaknya adalah ketika anggota DPRD di berbagai daerah terperosok kasus korupsi penyimpangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah karena mereka memiliki kewenangan menentukan pendapatan dan jumlah berbagai tunjangan.
Pengalaman penerapan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang dianggap sebagai otonomi kebablasan merupakan catatan penting ketika DPR dan pemerintah sepakat merevisi undang-undang tersebut. Sejumlah perubahan dilakukan, termasuk mencabut kewenangan DPRD dalam memilih kepala daerah dan mengalihkannya kepada rakyat. Ini merupakan suatu keputusan bersejarah bagi rakyat Indonesia karena untuk pertama kalinya sepanjang kemerdekaan ikut menentukan sendiri pemimpinnya, baik nasional (presiden) maupun daerah (kepala daerah).
Tak dimungkiri, pelaksanaan pemilihan langsung sejak 2005 masih diwarnai sejumlah persoalan. Persoalan paling menonjol adalah korupsi yang dilakukan para kepala daerah. Menurut data Kementerian Dalam Negeri, sejak 2004 hingga 2012, lebih dari 200 kepala daerah terjerat kasus hukum, termasuk korupsi. Bahkan puluhan di antaranya telah mendekam di penjara. Persoalan lain adalah adanya konflik horizontal di antara pendukung, walaupun jumlah kasusnya tidak signifikan dibandingkan dengan ratusan penyelenggaraan pemilihan yang berlangsung damai. Hal lain yang disorot adalah tingginya biaya, baik ongkos penyelenggaraannya maupun biaya pencalonan oleh para kandidat.
Modus korupsi yang dilakukan kepala daerah adalah pada proyek-proyek APBD, misalnya penggelembungan rencana anggaran (markup) dan kongkalikong dengan pihak swasta. Praktek korupsi diduga dilakukan karena kepala daerah terpilih harus mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan dalam pencalonannya, seperti biaya memperoleh rekomendasi partai politik atau koalisi untuk pencalonan kepala daerah, biaya memobilisasi dukungan rakyat, ongkos pencitraan, serta logistik kampanye.
Biaya politik yang dikeluarkan calon kepala daerah tinggi karena mereka umumnya bukan tokoh yang populer, bukan tokoh yang mengakar di masyarakat, dan kebanyakan bukan kader partai politik yang mengusungnya-sehingga persona tersebut harus "memoles" citra dirinya di mata masyarakat. Tak kalah pentingnya adalah mendapatkan rekomendasi dari partai. Kedua hal tersebut memerlukan biaya yang cukup besar. Bukan rahasia lagi, para bakal calon harus mengeluarkan mahar untuk memperoleh persetujuan bagi pencalonannya oleh partai politik pengusung.
Tidak munculnya kader atau tokoh politik yang mengakar dan dikenal luas berkat kerja nyatanya di masyarakat disebabkan oleh buruknya rekrutmen politik dan perencanaan partai dalam menyiapkan orang yang harus merebut jabatan politik. Yang terjadi selama ini adalah rekrutmen instan dalam kontestasi pemilihan. Akibatnya, kandidat dengan latar belakang kekuatan finansial menjadi basis rekrutmen. Bahkan mereka umumnya minim pengalaman politik dan kerja di masyarakat.
Fenomena munculnya relawan-relawan dalam mendukung calon yang mengakar di masyarakat pada pemilihan di DKI, Jawa Barat, dan Jawa Tengah dalam dua tahun terakhir menunjukkan masyarakat dengan sukarela membantu pemenangan orang yang mereka anggap layak memimpin daerahnya. Dampaknya tentu saja biaya yang dikeluarkan calon tersebut tidak besar. Selain itu, tercipta keterlibatan aktif dan ownership warga terhadap proses pemilihan langsung.
Persoalan-persoalan di atas tidak otomatis hilang dengan pemilihan melalui DPRD. Banyak solusi yang bisa dilakukan untuk meminimalisasi deretan persoalan yang muncul dalam pemilihan langsung selama ini. Misalnya menekan biaya penyelenggaraan dengan pemilihan serentak, mengatur pelaksanaan kampanye, serta memperbaiki rekrutmen internal partai dengan proses pencalonan yang terbuka dan tidak instan.
Lalu apa yang hilang ketika pemilihan diserahkan kepada segelintir elite politik di DPRD? Pelaksanaan pemilihan langsung oleh rakyat merupakan esensi demokrasi. Di sini, hak politik rakyat untuk menentukan sendiri pemimpinnya dijamin sepenuhnya. Tentu saja ini berbeda dengan pemilihan yang dilakukan oleh sekelompok orang di bilik parlemen-meskipun itu tidak menyalahi konstitusi. Hak politik rakyat sirna tatkala penentuan pemimpin hanya menjadi milik para elite.
Pemilihan langsung sejatinya adalah esensi demokrasi. Karena itu, mengembalikan pemilihan kepada DPRD berarti kemunduran dalam dua hal: partisipasi politik rakyat dan demokrasi substansial.
Sebenarnya para wakil rakyat di DPR sudah paham benar bahwa pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat lebih demokratis dan tidak mengebiri hak politik rakyat. Itu bisa dilihat dari sikap mereka yang menolak pemilihan melalui DPRD sejak rancangan undang-undang ini dibahas pada Juni 2012 hingga sebelum pemilihan presiden yang lalu.
Namun sikap itu berubah drastis setelah pemilihan presiden usai. Fraksi-fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih "balik badan" dan satu suara mengusulkan pelaksanaan melalui mekanisme pemilihan di DPRD. Aroma pertarungan partai politik pasca-pemilihan presiden tercium kuat dalam pembahasan akhir Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. Apakah karena syahwat kekuasaan dan kepentingan politik jangka pendek, hak politik rakyat yang dikorbankan? l
Pengajar Departemen Ilmu Politik FISIP UI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo