Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah Kabupaten Bogor Abaikan Warga GBJ
Kami, warga perumahan Griya Bukit Jaya (GBJ), Gunung Putri, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, seperti tinggal di sebuah perkampungan yang tak terurus, kendati rumah kami berada di dalam sebuah kompleks yang dibangun oleh pengembang.
Sebagian jalan kompleks sudah menjadi jalan raya umum karena dilalui oleh kendaraan besar, truk dan bus. Bahkan jalan beraspal yang sedianya dipergunakan untuk warga yang tinggal di perumahan digunakan pula sebagai jalan alternatif kalau jalan utama Gunung Putri lalu lintasnya macet atau diperbaiki.
Tak pelak, hal itu menyebabkan jalan rusak parah, muncul lubang di mana-mana. Jika hujan, jalanan menjadi kubangan mini mirip kolam ikan. Kondisi demikian bukan berarti tak pernah kami sampaikan, baik secara halus maupun protes, ke pihak berwenang di Pemerintah Kabupaten Bogor, tapi tak pernah digubris.
Kerusakan jalan tersebut diperparah pula oleh munculnya pasar liar di semua area berikut para preman. Situasi di kompleks kami menjadi kotor, bau, crowded, dan lalu lintas jalan kompleks kerap macet. Kami merasa seperti hidup tanpa pemerintah. Ibarat naik pesawat, tanpa pilot dan awak kabin. Mohon perhatian Pemerintah Kabupaten Bogor.
Lisma Elita Lubis
Griya Bukit Jaya Blok E2 Nomor 30
Gunung Putri, Kabupaten Bogor
Jawa Barat
Regulasi untuk Tenaga Asing
Indonesia, menurut saya, bagaikan surga. Tidak hanya bagi wisatawan mancanegara, tapi juga untuk tenaga kerja asing, termasuk di bidang jasa konsultasi. Saya tidak anti-asing, tapi sepertinya kita kurang memiliki kemampuan di depan mereka. Hampir semua proyek raksasa di Indonesia dikendalikan dan menggunakan jasa konsultan asing.
Dari proyek jalan tol sampai pembangunan dermaga dan Jembatan Suramadu menggunakan jasa konsultan asing. Bisa jadi jembatan di Selat Sunda, yang menghubungkan Pulau Jawa dengan Sumatera, dipenuhi tenaga asing. Saya berharap pemerintah memperketat regulasi pemakaian tenaga asing. Manfaatkanlah kehebatan anak negeri.
Yusmar
Ciledug, Tangerang Selatan
Banten
Indonesia Lebih Suka Perusahaan Asing
Saya seorang pengusaha kerap kecewa ketika mengikuti tender proyek di pemerintahan. Kekecewaan itu bukan karena kompetensi perusahaan saya kalah bersaing, melainkan lantaran sikap pemerintah yang tampaknya lebih menyukai perusahaan asing yang mengerjakan proyek dibanding perusahaan pribumi.
Saya sudah 10 tahun mengikuti tender di pemerintahan, tapi selalu gagal. Namun, ketika saya mendirikan perusahaan asing di London, Inggris, kendati fiktif, langsung mendapatkan proyek dari pemerintah. Ini aneh padahal proyek tersebut akhirnya saya kerjakan sendiri di Indonesia.
Sebenarnya saya ingin menghindari pekerjaan yang berkaitan dengan perusahaan pelat merah. Sebab, di sana sarat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sogok-menyogok untuk para pemegang tender jadi hal yang wajar. Saya berharap pemerintah mencontoh negeri tetangga, Malaysia atau Singapura. Di negeri jiran itu, siapa pun perusahaan asing yang memenangi tender harus menggandeng perusahaan lokal meskipun tidak memiliki kompetensi. Hal itu, menurut saya, supaya pengusaha pribumi kecipratan rezeki. Butuh atau tidak butuh, dia harus menyertakan pengusaha setempat.
Pada kesempatan ini, saya juga mengimbau pemerintah agar menghargai produksi anak negeri. Saya sedih pesawat buatan bangsa Indonesia, CN235, justru mendapat tempat di Malaysia, Korea Selatan, Qatar, dan berbagai negara lain. Sedangkan di Indonesia, burung besi tersebut dilihat hanya sebelah mata.
Imam Pamudji
Bogor, Jawa Barat
RALAT
Pada tulisan "Wira-wiri Tim Transisi" dalam rubrik Laporan Utama majalah Tempo edisi 15-21 September 2014, halaman 37 paragraf kelima, terdapat kekeliruan informasi. Tertulis: "Seorang anggota Tim Transisi menyebutkan hubungan tak sehat itu juga disebabkan oleh penolakan Akbar terhadap masuknya Fahmi Mochtar, mantan Direktur Utama PLN terpidana kasus korupsi, ke dalam kelompok kerja pimpinan Ari Soemarno." Seharusnya: "...Fahmi Mochtar, mantan Direktur Utama PLN yang pernah diperiksa dalam kasus korupsi." Atas kesalahan tersebut, kami mohon maaf.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo