Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Buyar Karena Mercy

Koalisi Merah Putih terancam gagal membuat aturan pemilihan kepala daerah secara langsung. Demokrat bisa kehilangan kursi Ketua MPR.

22 September 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PANGGILAN telepon pada Rabu malam pekan lalu itu akhirnya memastikan kekhawatiran para politikus Koalisi Merah Putih. Setengah pekan terakhir mereka menantikan sikap final Partai Demokrat tentang Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada). Kontak telepon Nurhayati Ali Assegaf kepada sejumlah ketua fraksi partai penyokong Prabowo Subianto itu membikin terang segalanya.

Ketua Fraksi Demokrat itu menjelaskan sikap akhir partainya dalam polemik Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah. "Demokrat mendukung pemilihan secara langsung," kata Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional Tjatur Sapto Edy, mengutip ucapan Nurhayati.

Arah Demokrat sebetulnya sudah terbaca dari pernyataan Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono yang berpidato lewat YouTube pada Ahad pekan lalu. Tak eksplisit mendukung pemilihan langsung, Yudhoyono menganggap kemajuan demokrasi di era reformasi penting dipertahankan.

Pidato inilah yang membuat Koalisi Merah Putih mutung. Menurut Tjatur, pidato Yudhoyono menerbitkan bermacam reaksi anggota Koalisi. Mereka khawatir Demokrat menarik dukungan sehingga suara pendukung pilkada melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berkurang signifikan. "Setiap orang punya ekspektasi masing-masing," ujar Tjatur, yang juga Wakil Ketua Komisi Hukum DPR.

l l l

RANCANGAN Undang-Undang Pilkada merupakan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Revisi ini dibagi dua, yakni Pemilihan Kepala Daerah dan Rancangan Pemerintahan Daerah.

Awalnya pemerintah selaku pengusul ingin kepala daerah di tingkat kabupaten, kota, dan provinsi dipilih DPRD dengan alasan menghemat anggaran dan mencegah kian luasnya korupsi. Sebaliknya, mayoritas partai di parlemen ingin kepala daerah tetap dipilih langsung.

Perubahan sikap partai-partai tercium saat rapat Panitia Kerja dengan Kementerian Dalam Negeri di Wisma Kopo, Puncak, Bogor, awal September lalu. Dalam rapat tersebut, pemerintah, yang diwakili Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan, mengalah dan setuju pemilihan langsung dan serentak.

Djohermansyah kaget ketika menyimak pandangan fraksi. Kecuali Partai Keadilan Sejahtera, kala itu sikap semua anggota Koalisi Merah Putih mendukung pemilihan via DPRD. Belakangan, wakil PKS mendukung keputusan Koalisi. "Kok, berbalik arah semua?" kata Djohermansyah.

Perubahan sikap pemerintah justru tak sejalan dengan Demokrat, partai penguasa, setidaknya hingga 8 September. Wakil Ketua Panitia Kerja Khatibul Umam Wiranu mengatakan pemilihan langsung merusak tatanan sosial, menurunkan indeks pembangunan manusia, hingga menyebabkan banyak kepala daerah tersangkut korupsi. "Pemilihan langsung lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya," ucap Umam, politikus Demokrat.

Polemik mekanisme pemilihan kemudian menimbulkan pro-kontra. Muncul banyak petisi di media sosial dan unjuk rasa di berbagai daerah menolak perubahan sistem pemilihan. Puluhan kepala daerah yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Kabupaten Indonesia dan Asosiasi Pemerintah Kota Indonesia pada 11 September datang ke Jakarta meminta kepala daerah tetap dipilih langsung.

Aneka penolakan ini membuat Demokrat gamang. Ketua harian partai ini, Sjarifuddin Hasan, mengatakan perubahan sikap partainya disebabkan oleh tingginya dinamika perdebatan publik. Presiden Yudhoyono lalu mendapat masukan Kementerian Dalam Negeri ihwal sistem yang sebaiknya dipakai memilih kepala daerah. Diskusi inilah yang membuat sikap Demokrat balik badan.

Tiga hari setelah pidatonya di YouTube, Yudhoyono memanggil Menteri Koperasi itu ke rumahnya di Cikeas, Jawa Barat. Menurut Sjarifuddin, sikap resmi Demokrat mendukung pemilihan kepala daerah langsung diambil dalam pertemuan Rabu malam tersebut. Keesokan harinya, Sjarifuddin menggelar konferensi pers menyampaikan sikap partainya. Inilah yang membuat Koalisi Merah Putih meradang.

Politikus Partai Gerindra, Desmond Junaidi Mahesa, mengingatkan bahwa Demokrat tak pernah menjadi bagian Koalisi Merah Putih. Dia tak kaget melihat kelabilan Demokrat yang tak sejalan dengan partainya. "SBY selalu menyerah pada tekanan publik," kata Desmond.

Sjarifuddin membantah jika Demokrat disebut berbalik arah karena desakan masyarakat. Menurut dia, partai bertugas melayani kepentingan rakyat selama tak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. "Jika ternyata kami sama dengan rakyat, berarti ini bukan karena tekanan, dong," ujarnya.

l l l

Partai penyokong Prabowo Subianto-Hatta Rajasa sadar sikap Demokrat bakal membuyarkan ambisi mereka mengegolkan RUU Pilkada lewat DPRD-untuk menguasai eksekutif di daerah setelah Prabowo kalah dalam pemilihan presiden. Pada Jumat pekan lalu, mereka bertemu di Business Centre Hotel Sultan, Jakarta. Agendanya menimbang kembali posisi Demokrat dalam pembagian jatah kursi pimpinan di Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Dalam kesepakatan sebelumnya, Demokrat diplot menduduki kursi Ketua Majelis. Seorang politikus Koalisi menuturkan, jika sudah tak sejalan, jatah kursi MPR buat Demokrat bisa melayang. "Yang pasti, komposisi kursi masih bisa berubah," kata Sekretaris Fraksi PKS Abdul Hakim. Politikus Demokrat, Benny Kabur Harman, mengatakan pembagian kursi ini tak ada kaitannya dengan revisi aturan pemilihan kepala daerah.

Untuk mengantisipasi Demokrat benar-benar menyeberang, Fraksi Golkar menerbitkan matriks hitung-hitungan kursi jika revisi ini diputuskan secara voting di parlemen. Pada periode ini, Koalisi Merah Putih memiliki 273 kursi tanpa Demokrat: Golkar 106 kursi, Partai Keadilan Sejahtera 57 kursi, Partai Amanat Nasional 46 kursi, Partai Persatuan Pembangunan 38 kursi, dan Gerindra 26 kursi. Angka ini masih unggul ketimbang koalisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, Hanura, Partai NasDem, serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia dengan 139 kursi.

Koalisi akan menang mutlak jika Demokrat menganulir sikapnya dan kembali ke pangkuan Koalisi Merah Putih saat voting sidang paripurna pada 25 September nanti. Jika netral, Koalisi tetap menang. Yang cilaka jika mereka bergabung dengan koalisi PDI Perjuangan, yang menginginkan pemilihan kepala daerah secara langsung. Perbandingan suaranya menjadi 273 : 287 dengan keunggulan di pihak pendukung pemerintah presiden terpilih Joko Widodo.

Peluang Koalisi kian tipis karena ada 14 anggota Golkar berpotensi menyeberang ke koalisi PDIP karena mendukung Jokowi di pemilihan presiden. Sekretaris Fraksi Golkar Ade Komarudin mengatakan Koalisi harus mengantisipasi betul perubahan sikap Demokrat. Dia berharap petinggi partai bisa duduk bersama membicarakan soal ini. Jika tidak menemukan kesepahaman, "Kami pasti kalah di voting."

Sjarifuddin Hasan mengatakan Fraksi Demokrat akan mematuhi instruksi Yudhoyono. Jika membandel, anggota fraksi partai berlambang bintang ala Mercedes-atau Mercy-ini akan dikenai sanksi seturut dengan pakta integritas yang sudah mereka teken.

Wayan Agus Purnomo, Tika Primandari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus