Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keberatan Lippo
Sehubungan dengan berita yang dimuat Tempo edisi 9-15 Mei 2016 pada rubrik Ringkasan, halaman 22, dengan judul "Petinggi Lippo Dicegah ke Luar Negeri", kami merasa perlu memberikan tanggapan dalam bentuk klarifikasi sekaligus menggunakan hak jawab karena disangkutpautkan dengan grup kami.
Mohon kiranya berkenan untuk segera memeriksa ulang dan meralat pemberitaan yang tidak akurat yang mengatakan Saudara Eddy Sindoro sebagai petinggi Lippo. Saudara Eddy Sindoro sudah lebih dari enam tahun tidak bergabung dengan Lippo. Begitu juga perusahaan PT Paramount Enterprise, Lippo tidak punya kaitan sama sekali dalam hal apa pun.
Kami juga mengimbau rumor tersebut tidak lagi sebagai bahan penulisan karena tidak ada bahan bukti yang nyata. Atas perhatian dan kerja samanya, kami mengucapkan terima kasih.
Danang Kemayan Jati
Direktur Lippo
Terima kasih atas klarifikasi Anda. Informasi tersebut kami peroleh dari sumber di Komisi Pemberantasan Korupsi.
Menolak Hukuman Mati
Pada 3 Mei 2016, Jaksa Agung menyatakan akan melakukan eksekusi pidana mati gelombang ketiga, meskipun hari-H belum ditentukan. Dalam beberapa minggu ini, pemberitaan tentang narkotik kembali marak, seakan-akan sedang mempersiapkan kemarahan publik agar pada akhirnya kembali mengiyakan hukuman mati terhadap gembong narkotik. Pembunuhan berencana sedang dipersiapkan secara teatrikal oleh negara.
Negara menyatakan 30-50 orang mati karena narkotik setiap hari. Jika kita hitung bersama, ada sekitar 1.500 orang mati setiap bulan dan 18.250 orang mati setiap tahun, jumlah yang tentu saja sangat fantastis. Kita semua setuju satu orang meninggal pun adalah tragedi. Namun, karena hal ini menyangkut kepentingan publik dan menyangkut hidup terpidana mati yang dianggap telah membunuh orang ini, apalagi dijadikan validasi bagi pemerintah untuk melakukan eksekusi, dapatkah kiranya pemerintah memberikan data terinci tentang 18.250 orang ini, setidaknya selama 2015.
Bahaya kematian memang selalu mengancam di Indonesia. Kematian akibat rokok di Indonesia setiap tahun yang mencapai 405.720 orang menurut lembaga konsumen Indonesia, meskipun membunuh dalam jumlah 20 kali lipat dari narkotik, tidak perlu dikhawatirkan apalagi memidanakan pemilik pabrik rokok. Kecelakaan lalu lintas menyebabkan kematian 120 orang per hari di Indonesia atau 43.800 orang per tahun, dan apakah negara melakukan tindakan konkret untuk mengurangi jumlah kematian di jalan, atau memang Indonesia menikmati prestasi sebagai negara urutan kelima di dunia yang mempunyai jumlah kematian terbanyak akibat kecelakaan lalu lintas? Apakah kemudian pemerintah membatasi pengendara kendaraan bermotor? Mari kita bandingkan juga dengan kematian ibu melahirkan, yang jumlahnya 359 per 100 ribu kelahiran hidup pada 2012. Apakah angka kematian ini juga telah memacu pemerintah untuk melakukan usaha yang setara dengan politik hukuman mati yang tetap dilakukan dengan begitu gigih meskipun telah ditentang oleh hampir semua negara di dunia? Di mana program Indonesia darurat kecelakaan lalu lintas atau Indonesia darurat rokok?
Kantor komisioner hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berkaitan dengan kasus narkotik menyerukan pentingnya mengakhiri pidana mati bagi kejahatan narkotik, selain mengakhiri impunitas untuk pembunuhan ekstrayudisial dan penyiksaan tersangka narkotik, serta menjamin pemidanaan yang proporsional.
Gracia Asriningsih
Editor buku Menolak Hukuman Mati, Perspektif Intelektual Muda
Ikan Buntal yang Bergizi tapi Beracun
Beberapa hari ini masyarakat Indonesia kembali dikejutkan oleh fakta bahaya mengkonsumsi ikan buntal. Pada 6 dan 7 Mei 2016, empat remaja asal Lumajang, Jawa Timur, meninggal akibat mengkonsumsi ikan buntal yang didapatkan dari hasil memancing di Pantai Licin, Kabupaten Malang. Keracunan ikan buntal bukan kasus yang baru di dunia.
Ikan buntal (puffer fish) merupakan ikan yang banyak ragamnya di perairan tropis. Di Asia, ikan buntal menyebar di Jepang, India, Myanmar, Thailand, Singapura, dan Filipina. Di Indonesia, ikan buntal menyebar di seluruh perairan seperti Sumatera, Bintang, Bangka, Jawa, Madura, dan Kalimantan. Ikan ini terkenal lezat dan bergizi. Menurut penelitian Pratama dkk (2014), ikan buntal pisang (Tetraodon lunaris) dari Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, dagingnya mengandung air 80,02 persen, abu 1,15 persen, lemak 0,11 persen, protein 18,54 persen, dan karbohidrat 0,18 persen.
Protein menjadi salah satu primadona yang menjanjikan pada daging ikan buntal ini. Kandungan asam amino daging ikan buntal pisang yang tertinggi adalah asam glutamat, yaitu 1,319 mg/100 g. Kandungan asam glutamat yang tinggi menyebabkan rasa daging ikan ini sangat lezat. Namun, di balik kelezatannya, ada racun yang mengintai dan siap membunuh penikmatnya hanya dalam waktu singkat. Racun ini adalah tetrodotoxin (TTX), yang biasanya digunakan sebagai alat pertahanan dari serangan predator.
Di Indonesia, hanya sedikit masyarakat yang mengenal produk olahan ikan buntal. Hal ini sangat bertolak belakang dengan Jepang, yang masyarakatnya sangat menggemari ikan buntal sebagai menu masakan. Di Jepang, ikan buntal diolah sebagai tempura, sashimi atau irisan ikan mentah yang sangat tipis, dan sirip panggang dalam cangkir sake panas. Namun tidak semua restoran di Jepang menyediakan menu ikan buntal, karena pemerintah Jepang memberlakukan peraturan bahwa restoran harus mempunyai koki berlisensi sebagai pemasak ikan buntal.
Jadi ikan buntal aman dikonsumsi asalkan diolah dengan benar, yaitu dengan membuang bagian-bagian yang beracun.
Firstyarikha Habibah
Mahasiswa Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Ralat
Di paragraf pertama dalam tulisan "Peradaban Sebelum Mataram Kuno di Liyangan", majalah Tempo edisi 2-8 Mei 2016, tertulis "struktur bata". Itu seharusnya "struktur batu". Kami mohon maaf atas kekeliruan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo