Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

5 September 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Catatan untuk Edisi Tjokroaminoto

SALUT untuk Tempo yang telah menerbitkan edisi khusus tentang H.O.S. Tjokroaminoto. Isinya renyah, enak dibaca dan perlu. Namun tak ada gading yang tak retak. Saya mencermati ada beberapa bagian yang salah atau kurang tepat, yakni:

  1. Foto utama pada halaman 23 tidak menyebut secara jelas yang mana sosok Tjokroaminoto. Tapi dari foto di halaman lain tampak bahwa Tempo menilai sosok yang duduk ketiga dari kanan adalah Tjokroaminoto. Menurut hemat saya, sosok tersebut bukan Tjokroaminoto, melainkan anggota Sarekat Islam (SI) yang sama-sama menghadiri upacara pelantikan pengurus SI Blitar tahun 1914. Menurut koleksi foto G.A.J. Hazeu di KITLV, pada acara itu, Tjokroaminoto berjas hitam dan memakai dasi kupu-kupu.

  2. Dari foto yang "kurang tepat" itulah tim grafis Tempo kemudian membuat gambar pada bagian timeline, sehingga hasilnya sangat tidak mirip sosok Tjokroaminoto yang selama ini dikenal publik.

  3. Pada halaman 70, bagian yang berjudul: Dua Ratu Adil, ada keterangan yang kurang tepat. Pada alinea kedua disebutkan bahwa Kartosoewirjo pertama kali bersua Tjokroaminoto pada 1927, tetapi pada alinea kesepuluh ditulis dia mondok di rumah gurunya di Gang Peneleh. Yang benar, pada 1927, Tjokroaminoto sudah tidak lagi tinggal di Gang Peneleh. Kartosoewirjo bertemu secara singkat dengan Tjokroaminoto di Surabaya, lalu keduanya bergaul cukup lama saat Tjokroaminoto tinggal di Cimahi dan Batavia. Tjokroaminoto pindah ke Cimahi tak lama setelah ia pulang dari Mekah menghadiri Kongres Al-Islam bersama Mas Mansur pada 1926.

  4. Sayang Tempo tidak menggunakan memoar Harsono Tjokroaminoto sebagai salah satu rujukan. Dalam memoar itu pertemuan Kartosoewirjo-Tjokroaminoto dibahas cukup detail. Di buku itu juga dijelaskan tahun wafatnya istri pertama Tjokroaminoto, Soeharsikin, bukan 1921 tetapi sekitar 1919. Tahun 1920 Tjokroaminoto menikah lagi dengan Rustinah dan pindah ke rumah di Jalan Plampitan. Di Plampitan inilah Sukarno tinggal lebih lama, sekitar dua tahun. Di sini pula Musodo alias Musso mulai kos, bukan di Peneleh. Menurut Harsono, rumah di Peneleh dan Plampitan adalah "dapurnya Tjokroaminoto".

  5. Ada satu lagi media yang dikelola Tjokroaminoto dan luput disebutkan oleh Tempo, yakni Bandera Islam. Dalam buku Anhar Gonggong yang dirujuk Tempo, penjelasan soal ini cukup terang tercantum di bagian bibliografi.

Demikian sekadar catatan kecil. Semoga bermanfaat. Apa pun, salut untuk tim Tempo, yang telah mengingatkan kita semua bahwa tahun depan adalah saatnya peringatan seabad Sarekat Islam (1912- 2012). Salam.

IIP D. YAHYA
Kompleks Santosa Asih Jaya
Cipamokolan, Rancasari, Bandung

Terima kasih atas tambahan keterangan Anda. Soal foto Tjokroaminoto di halaman 23, kami telah mencocokkan garis wajah, telinga, dan bagian-bagian lainnya. Semuanya sesuai dengan sosok H.O.S. Tjokroaminoto. —Redaksi


Hak Jawab O.C. Kaligis

SAYA keberatan dengan Laporan Utama majalah Tempo edisi 22-28 Agustus 2011 dengan judul "Cerita di Balik Pelarian Nazaruddin". Sampul majalah edisi itu dengan judul "Sekongkol Kakap Nazaruddin" juga memuat gambar saya. Inti berita Tempo itu adalah saya merekayasa perjalanan M. Nazaruddin di luar negeri dan merekayasa beberapa pernyataan dan perkara Nazaruddin.

Untuk itu, saya menyampaikan hak jawab saya sebagai berikut:

(1) Mengenai perjalanan saya ke Amerika Serikat: saya sudah lama merencanakan liburan ke Amerika. Saya berangkat dengan Singapore Airlines dan berlanjut dengan kapal pesiar. Di sana saya menemui anak saya, Paolo Kaligis, di Vancouver, Kanada; dan Vaelove di Los Angeles, Amerika Serikat.

Di San Francisco, saya sempat bertemu Bapak Sinambela, Konsul Jenderal RI di sana, sementara di Los Angeles saya bertemu dengan Bapak Hadi Martono, Konjen RI di kota itu.

Selama liburan, saya tidak pernah memikirkan perkara yang saya tangani. Saya memang sempat membaca pernyataan Nazaruddin lewat Internet, tapi saya tidak pernah merekayasa perkara Nazaruddin. Sejak 16 Juni 2011, ketika saya bertemu Nazaruddin dan Peter Madavan, pengacara di Singapura, saya hanya berhubungan dengan dia lewat BlackBerry. Nazaruddin juga tidak pernah memberi tahu saya soal di mana dia berada.

(2) Mengenai perjalanan saya ke Bogota: Pada Minggu, 7 Agustus 2011, saya sedang bermain golf di Lapangan Halim II ketika dihubungi lewat telepon oleh adik bungsu Nazaruddin. Sekitar pukul 14.00, saya menemui adik Nazaruddin itu di Lagoon, Hotel Sultan, Jakarta Pusat. Di sana saya diminta pergi ke Bogota, Kolombia, dan dibekali sejumlah uang tunai.

Tiga jam kemudian, saya sudah di atas pesawat Singapore Airlines menuju Bogota. Ketika itu saya tidak diberi tahu soal keberadaan Nazaruddin. Saya hanya tahu saya akan dihubungi oleh seseorang, yang belakangan ternyata adalah orang Kedutaan Besar RI di sana.

Baru dua hari kemudian, pada 9 Agustus, saya tahu ihwal penahanan Nazaruddin. Duta Besar Indonesia untuk Kolombia, Michael Menufandu, kemudian memberi tahu saya bahwa Nazaruddin ditahan di penjara Interpol. Saya langsung menemui Nazaruddin di sana.

Setelah itu, saya menemui dua advokat lokal di Kolombia, Jose Dario Acevedo dan Abelardo De La Espriella, di Condo. Abelardo adalah pengacara papan atas yang punya banyak koneksi penting di Kolombia. Pada 10 Agustus, saya dan dua pengacara Kolombia itu menemui Nazaruddin di penjara Interpol.

Di sana Mr Abelardo menyerahkan dua surat permohonan suaka (asylum) yang harus ditandatangani Nazaruddin. Satu surat untuk Jaksa Agung Kolombia dan satunya untuk Menteri Luar Negeri Kolombia. Mr Abelardo menjamin permohonan suaka Nazaruddin akan dikabulkan dalam dua pekan (15 hari) dan Nazaruddin tidak perlu kembali ke Indonesia.

(3) Setelah kunjungan saya itu, Duta Besar Michael Menufandu menemui Nazaruddin di penjara. Sejak itu, kontak saya dengan Duta Besar terputus.

Keesokan harinya, saya kembali menemui Nazaruddin di tahanan Imigrasi, di Bandara Internasional Bogota. Saya mengajak reporter Metro TV. Di sana Nazaruddin sedang mempersiapkan surat permohonan suaka. Saya lalu menyampaikan bahwa upaya itu terlambat.

Pada saat itu Nazaruddin meminta saya untuk terus menemani dia, termasuk dalam pesawat kembali ke Indonesia. Tapi permintaan ini ditolak oleh tim Komisi Pemberantasan Korupsi.

Sampai detik ini saya tidak pernah merekayasa perkara Nazaruddin. Saya tegaskan sumber Tempo telah memberikan keterangan palsu soal peran saya merekayasa perkara Nazaruddin. Semua itu tidak benar.

Saya menulis hak jawab ini untuk menjaga integritas saya sebagai pengacara. Terima kasih.

PROF DR O.C. KALIGIS SH, MH
Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus