Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEKUAT apa pun upaya pemerintah memperluas jangkauan pasokan listrik, tetap akan ada sejumlah daerah di negeri ini yang tak tersentuh. Penyebabnya macam-macam. Tapi hanya ada satu pelajaran berharga: prakarsa untuk menghasilkan listrik secara mandiri, dengan memanfaatkan sumber daya alam setempat, merupakan keharusan yang tak bisa ditunda.
Pembangkit memang merupakan kunci bagi masalah kebutuhan listrik itu. Apa daya, karena terdapat kendala biaya, geografi, juga lingkungan, justru kerumitan yang terjadi. Itu sebabnya diperlukan keterlibatan pemerintah untuk mengurai sengkarut dan minimnya pasokan listrik di daerah pinggiran ini.
Selama ini sebagian besar pembangkit dijalankan dengan bahan bakar fosil berupa solar, batu bara, atau gas. Ketersediaan bahan bakar tak terbarukan ini terus berkurang, sebelum akhirnya terkuras habis. Harganya pun kian melambung. Problem lingkungan akibat polusi juga sulit diabaikan. Maka tuntutan untuk mengutamakan pembangkit yang praktis, murah, dan ramah lingkungan bakal bertambah besar.
Tetapi kemampuan menambah pembangkit bukan lantas otomatis menaikkan sekaligus memeratakan tingkat elektrifikasi. Kini lebih dari 7.000 desa dengan sedikitnya 20 juta keluarga belum menikmati aliran listrik. Penambahan kapasitas produksi listrik dalam lima tahun mendatang saja, dengan selesainya pemasangan beberapa pembangkit baru, diperkirakan hanya akan menaikkan tingkat elektrifikasi menjadi 75 persen, dari sekitar 60-an persen saat ini.
Angka yang belum ideal itu menunjukkan masih banyak desa yang tetap harus gigit jari. Apalagi lokasi sebagian besar daerah terpencil itu sukar dijangkau. Inilah hambatan lain yang menyebabkan sejumlah desa memang sulit, kalaupun bukan mustahil, bisa menikmati listrik secara permanen. Kecuali jika desa-desa itu memutuskan menempuh rute solusi yang sama sekali tak tergantung jaringan PT PLN.
Langkah mandiri itulah yang dipilih sejumlah desa di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Desa-desa ini merakit sendiri pembangkit berskala kecil. Upaya ini bisa bermula dari inisiatif perorangan, ikhtiar sekelompok orang yang didukung lembaga swadaya masyarakat, pihak swasta, atau instansi pemerintah. Semuanya sengaja memanfaatkan sumber daya yang melimpah dan tak bakal habis: air, angin, matahari, atau biogas.
Namun tak setiap upaya berjalan sempurna. Masalah yang lazim mengemuka, khususnya untuk pembangkit bertenaga air atau mikrohidro: tegangan listriknya tak stabil alias naik-turun. Ini perkara teknis yang sebetulnya mudah diatasi. Tapi, karena hambatan biaya, kelemahan ini menjadi alasan beberapa desa untuk beralih ke listrik PLN begitu jaringannya terpasang. Alasan lainnya, harga satuan listrik swadaya lebih mahal.
Agar "listrik rakyat" di desa-desa terpencil bisa sepenuhnya diandalkan, semestinyalah pemerintah lebih aktif membantu. Program Desa Mandiri Energi, yang diluncurkan pada 2007, terbukti tak cukup karena realisasinya meleset jauh dari target 2.000 desa dalam dua tahun. Bantuan teknologi tampaknya harus diberikan. Pemerintah, misalnya, bisa ikut memudahkan pengadaan atau malah menyumbangkan peralatan yang diperlukan. Opsi yang juga tersedia adalah membeli listrik rakyat itu dan menjualnya kembali dengan harga subsidi.
Listrik bukanlah milik orang kota semata, tapi sepatutnya juga dinikmati rakyat kecil di desa-desa. Sebab itu, pemerintah kudu memancangkan kemauan politik yang kuat untuk mendorong penggunaan energi terbarukan ini secara luas. Tanpa upaya sistematis ini, sulit terjadi perubahan signifikan sampai kapan pun dalam soal listrik—atau energi pada umumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo