Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

20 Juni 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tanggapan Citibank untuk Marissa Haque

TERIMA KASIH atas perhatian Ibu Marissa Haque terhadap Citibank. Menanggapi keluhan Ibu Marissa Haque yang dimuat di Tempo edisi 30 Mei 2005 tentang "Pondok Indah", bersama ini kami informasikan bahwa untuk menindaklanjuti keluhan tersebut, kami telah mencoba menghubungi Ibu Marissa Haque beberapa kali melalui telepon rumah dan telepon genggam, namun sampai saat ini kami belum dapat berbicara secara langsung dengan Ibu Marissa Haque.

Untuk menjelaskan permasalahan yang terjadi, kami mohon kesediaan Ibu Marissa Haque untuk dapat menghubungi Citiphone Banking Officer kami di (021) 252-9999. Dengan senang hati kami akan membantu Ibu Marissa Haque.

Kepuasan nasabah merupakan fokus dari seluruh upaya untuk terus meningkatkan mutu pelayanan kami.

HOTMAN SIMBOLONCustomer Care Center Head Citibank NA - Indonesia


Usut Tuntas Cost Recovery Blok Cepu

DPR tidak mengakui keberadaan tim negosiasi Blok Cepu. Apa pun hasilnya, wakil presiden cepat-cepat memberikan tanggapan bahwa DPR tidak mempunyai wewenang untuk masalah itu. Apa pun perbedaan prinsip dan visi antara mereka, seharusnya pemerintah dapat memberikan satu keputusan yang dapat memberikan manfaat besar bagi bangsa ini.

Blok Cepu dikelola oleh ExxonMobil dengan dasar TAC (technical assistance contract), yang akan berakhir tahun 2010. Dengan sistem TAC, ExxonMobil memperoleh hak untuk menerima kembali seluruh dana yang ia investigasikan dan sebelum seluruh dana itu dapat ia tarik kembali.

Karena kandungan minyak di Blok Cepu merupakan yang terbesar di Indonesia, mungkin di Asia dan Emirat Arab, maka ExxonMobil bermaksud memperbesar investasinya, dan untuk itu mereka minta adanya perpanjangan masa kontrak. Dalam TAC ada ketentuan cost recovery untuk investasi ExxonMobil sampai mereka dapat menerima kembali seluruhnya.

Ada pembagian hasil penjualan minyak setelah dikurangi cost recovery, misalnya setelah dikurangi cost recovery sebesar 80 persen, sisanya sebesar 20 persen dibagi antara Pertamina dan ExxonMobil sebesar 80 persen dan 20 persen.

Bilamana ExxonMobil menyatakan jumlah investasinya demikian besar, sampai berapa lama Pertamina baru mendapatkan haknya yang sesungguhnya. Sebab, apakah benar BPKP dapat memainkan perannya untuk menguji tuntas kebenaran jumlah investasi yang dibenamkan oleh ExxonMobil. Bila tidak, selain mendapat keuntungan dari minyak yang berasal dari bumi persada Indonesia, dia juga akan mendapat keuntungan yang berlipat ganda dari nilai investasi yang ia lakukan di negara ini.

Apakah wakil presiden dan juga DPR memahami masalahnya, atau mereka cuma cuap-cuap saja. Karena itulah, sekali lagi seharusnya permohonan perpanjangan Exxon- Mobil untuk mengelola Blok Cepu ditolak alias jangan dikabulkan, biarkan putra-putra terbaik Indonesia yang mengelolanya.

TAUFIK KARMADIKalideres, Jakarta Barat


Konsensus Lokal Pilkada

SETELAH "lulus" ujian pemilihan presiden 2004, saat ini bangsa Indonesia kembali diuji, apakah bisa menyelenggarakan pemilihan kepala daerah langsung (pilkada) secara damai dan demokratis. Suhu politik di daerah-daerah yang menggelar pemilihan kepala daerah Juni ini meningkat, tecermin dari berbagai demonstrasi dan perusakan kantor-kantor KPUD di sejumlah kabupaten dan kota.

Sumber konflik potensial, baik menjelang, saat penyelenggaraan, maupun pengumuman hasil pemilihan kepala daerah, di antaranya konflik yang bersumber dari mobilisasi politik atas nama etnis, agama, daerah, dan darah. Pemicu lainnya adalah kampanye negatif antar-pasangan calon.

Dalam rangka mengelola potensi konflik, segenap pihak di daerah perlu membangun kesepakatan atau konsensus lokal dalam rangka mengantisipasi munculnya konflik dan gejolak. Melalui kesepakatan itu diharapkan dapat dihasilkan, misalnya, kode etik penyelenggaraan pemilihan, komitmen siap kalah, dan seterusnya.

FACHRI. R.Bogor, Jawa Barat


IMB Mahal di Jakarta Utara

SEORANG warga Tanjung Priok, Jakarta Utara, mengaku harus mengeluarkan uang lebih dari Rp 5 juta untuk membuat izin mendirikan bangunan (IMB) rumahnya seluas 206 meter persegi. Selain itu, waktu pengurusan IMB berlarut-larut (Tempo Interaktif, 8/6).

Di Jakarta Utara sudah biasa petugas pengawas bangunan (P2B) melakukan pemerasan kepada warga. Saya pernah mengalaminya sendiri. Luas bangunan hanya 115 meter persegi, tapi sudah habis hampir Rp 5 juta, IMB tidak bisa keluar. Alasannya, ada rencana besar tata kota, jadi IMB tidak bisa dikeluarkan. Tapi uangnya tetap ditilap.

Saat izin dari petugas P2B kecamatan diberikan, petugas kota madya sudah beberapa kali datang, bahkan sampai malam hari, ke rumah. Yang bikin sebal, yang datang ganti-ganti terus. Tanah sertifikat hak milik rumah sudah ada sejak 1950-an. Tapi, saat renovasi, IMB tidak bisa keluar.

Anehnya, rumah-rumah permanen di sepanjang jalur hijau di Jalan Raya Cakung-Cilincing yang jelas-jelas milik pemerintah dibiarkan berdiri dan menjamur. Mulai perempatan Cakung hingga simpang tiga Cilincing, banyak bangunan liar yang dibiarkan. Sedangkan rumah yang nyata-nyata memiliki sertifikat hak milik, IMB-nya malah tak dikeluarkan.

Petugas P2B kota madya kalau datang ke pemilik rumah yang sedang dibangun masing-masing meninggalkan nomor telepon seluler dan berjalan sendiri-sendiri. Kalau tidak diberi (tips), yang keluar adalah surat segel.

BAGUS B.Jakarta Utara


Bonus Tak Masuk Akal

BAGI-BAGI uang yang terjadi di PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), yang diklaim sebagai bonus, sangat tidak masuk akal. Memang kerugian PLN pada 2004 sebesar Rp 2,02 triliun, turun 50 persen lebih dibanding pada 2003 yang mencapai Rp 5,9 triliun. Ini merupakan keberhasilan yang sangat besar bagi manajemen untuk menekan kerugian di perusahaan tersebut.

Jika perusahaan itu mengalami untung, mungkin logis jika manajemen perusahaan memberikan bonus. Dalam kenyataannya tidaklah demikian. Yang menjadi permasalahan bukan turunnya kerugian tersebut, melainkan apakah PLN itu untung atau tidak.

Kalaupun kinerja PLN dinilai baik karena dapat menekan kerugian perusahaan, mungkin akan lebih baik jika bonus yang diberikan itu dialokasikan penggunaannya untuk memperbaiki infrastruktur sehingga pelayanan PLN menjadi lebih baik.

Seperti kita ketahui, PLN memadamkan listrik secara bergiliran di beberapa daerah dan ini merupakan dampak dari infrastruktur yang kurang dan belum memadai. Menurut saya, ini adalah suatu kamuflase untuk menutupi praktek korupsi di perusahaan penyedia listrik itu.

REZA PRATAMABandung, Jawa Barat


SMS ke Presiden

KITA sangat menghargai maksud baik Bapak Presiden kita, SBY, yang bersedia menampung keluhan, pengaduan, usul, saran, bahkan protes dari seluruh warga negara Indonesia melalui pesan pendek atau SMS (short message service) ke telepon genggam beliau yang dibuka 24 jam non-stop.

Sayangnya, tekad dan maksud baik Bapak Presiden untuk memperoleh laporan langsung dari rakyat terganggu dengan "hang"-nya telepon genggam beliau. Hal ini bisa dipahami karena antusiasme publik yang datang membanjiri nomor HP itu dengan SMS yang bak air bah, sehingga memenuhi inbox yang ada pada telepon beliau. Barangkali alat komunikasi canggih itu belum dilengkapi dengan software yang bisa mentransfernya ke komputer yang menjadi semacam SMS-center.

Kita tunggu saja hasil upaya gebrakan Bapak Presiden kita ini. Apakah efektif untuk masa yang cukup lama, atau gebrakan ini sekadar gebrakan yang nantinya juga tenggelam dengan gebrakan baru yang lain, seiring dengan berjalannya waktu.

Sesungguhnya apabila Bapak Presiden dan Wakil Presiden dan para menteri beserta seluruh jajaran pemerintah rajin membaca, mencermati berita-berita di media massa (koran, majalah-majalah dan elektronik), kemudian langsung menanggapinya dengan corrective response and action (tanggapan/tindakan yang korektif), rasanya Bapak Presiden tidak harus menampung ribuan SMS tiap hari. Apalagi, SMS itu belum tentu bisa dipertanggungjawabkan isinya karena tidak jelas siapa pengirimnya,

Saya khawatir gebrakan baru nan populis itu semacam gebrakan yang "hangat-hangat tahi ayam". Meskipun saya pesimistis atas hasil gebrakan SMS ini, saya mencoba berpikir positif, semoga gebrakan ini menyadarkan para pimpinan untuk bekerja secara transparan, spontan, bekerja sebaik-baiknya untuk rakyat.

Manfaatkan masa kepemimpinan yang singkat dan terhormat ini guna menabur kebaikan bagi rakyat demi menuai kesejahteraan di dunia dan akhirat, perangi kerakusan, ketamakan, dan keserakahan demi kenikmatan sesaat, yang mendorong kita ke arah yang sesat dan menuai siksa mahaberat kelak di akhirat.

WISDARMANTOJakarta Selatan


Menengok Kasus Corby

Saya tergelitik untuk mengomentari tulisan Sdr Lasma Siregar dari Melbourne-Australia tentang kasus Corby pada surat pembaca, Tempo, 13-19 Juni 2005). Dalam pembukaan tulisannya, Lasma menyebut banyak anak muda yang iseng.

Kalimat ini tentunya dengan mudah dapat diartikan, menurut pandangan Lasma, bahwa Corby sewaktu membawa narkoba ke Denpasar, Bali, hanya sekadar "iseng". Apakah betul pandangan Lasma ini? Bahwa Corby hanya iseng? Saya kok tidak yakin bahwa Corby hanya iseng. Bahwa dia mengelak tuduhan kepemilikan narkoba yang ditemukan petugas keamanan Indonesia itu, adalah hak dia. Hal ini sudah biasa dilakukan oleh siapa pun pelakunya dan di mana pun terjadinya. Selalu mengelak tuduhan kepemilikan barang terlarang. Alasannya tidak mengetahui ada barang tersebut dan sebagainya dan sebagainya.

Tidak ada seorang pelanggar peraturan di dunia ini yang berani mengakui perbuatan kejahatannya. Ini adalah suatu trik yang biasa dilakukan pelaku dalam upaya memperingan perbuatan melawan hukumnya.

Pada alinea kedua tulisannya, Lasma membandingkan hukuman atas beberapa kasus kejahatan. Sebelum saya mengomentari tulisannya ini, secara pribadi saya ingin mengetahui kewarganegaraan Lasma ini. Indonesia atau Australian citizen?

Mungkin pertanyaan saya ini tidak relevan, tapi dari sini ini bisa diarahkan dari mana Lasma beranjak dalam tulisannya tersebut. Pembandingan hukuman tersebut, oleh Lasma, dikatakan dalam penutup alinea tersebut, yang dirasakan oleh sebagian rakyat Australia.

Di sini, saya hanya ingin mengingatkan Saudara Lasma dan siapa pun, bahwa proses peradilan di Indonesia cukup transparan dan memenuhi kaidah-kaidah hukum yang berlaku. Soal berat dan ringannya hukuman, tentu ada banyak hal yang bisa dipertimbangkan oleh majelis hakim.

Lasma menutup tulisannya dengan sebuah pertanyaan "layakkah (putusan hukuman) 20 tahun penjara buat mereka yang kedapatan membawa 4-5 kg ganja (dalam hal ini yang dimaksud tentu Corby)?"

Jawaban penulis ada dua. Pertama, sangat-sangat layak (very-very proper), dengan pertimbangan Corby masih muda dengan harapan bisa mengubah sikap dan perbuatannya. Kedua, tidak layak karena, buat saya, vonis hukuman itu terlalu ringan. Menurut saya, seyogianya seorang pengedar narkoba dijatuhi hukuman yang lebih berat, seumur hidup atau bahkan hukuman mati.

Alasan saya, perbuatan pengedar narkoba ini sangat merugikan generasi bangsa. Yang menanggung akibatnya tidak hanya 200 orang meninggal (seperti yang ditulis Lasma, sebagai akibat ledakan bom), tapi jauh lebih banyak dan dalam jangka waktu yang sangat panjang.

Akibat yang ditimbulkan juga merambah ke berbagai aspek kehidupan, moral, sosial, pendidikan, kriminalitas, dan masih banyak lagi. Apakah hal ini yang Lasma inginkan? Nah, di sini relevansi pertanyaan saya di atas tadi, apakah Lasma warga negara Indonesia atau Australia. Saya percaya, kalau Lasma masih pemegang paspor Indonesia, hatinya tentu akan tergerak dan ikut prihatin oleh ulah orang atau orang-orang yang bermaksud merusak bangsanya sendiri (bangsa Indonesia) dan juga sesama umat ciptaan Tuhan.

Sebagai perbandingan, vonis hukuman di negara-negara lain, di Asia Tenggara saja, dalam kasus serupa, akan jauh lebih berat daripada vonis hukuman yang dijatuhkan di Indonesia.

Semoga sedikit tanggapan saya ini dapat dijadikan bahan renungan bagi siapa pun yang ingin mencoba merusak masa depan sesamanya dengan barang yang memabukkan itu.

J. DJATMIKOJakarta Selatan


Wawancara Hendropriyono

BERKAITAN dengan wawancara Abdullah Makhmud Hendropriyono, mantan Kepala Badan Intelijen Negara, di Tempo, mari kita mencoba melihat seluruh permasalahan secara arif dan tidak mudah mencurigai siapa pun, termasuk dalam kasus Munir. Saya pribadi termasuk agak menyayangkan kematian Munir. Namun, apakah kita sudah tidak bisa lagi berpikir dengan jernih dan melihat permasalahan tersebut secara proporsional?

Kalau dilihat kinerja tim pencari fakta kasus Munir, kesannya cukup ngawur, misalnya atas rekomendasi TPF (?) ada dua kru Garuda Indonesia yang dijadikan tersangka. Dengan segala latar belakang mereka, rasanya kok tidak mungkin mereka terlibat dalam kejahatan pembunuhan tersebut. Apakah TPF dan penyidik sengaja "menembak dengan membabi-buta" untuk mendapatkan sasarannya, meskipun harus makan korban besar?

Menyangkut semua pernyataan Pak Hendro, setahu saya, beliau adalah orang yang berprinsip dan memiliki disiplin sosial yang tinggi. Pak Hendro orang yang tahu harus berbuat apa dengan segala kapasitas yang dimilikinya. Satu hal lagi, dalam hal merepresentasikan kapasitas formalnya, beliau tidak pernah berbasa-basi.

EKO BUDIANTOJakarta


Munir dan Hendropriyono

KALAU Anda pernah kehilangan anggota keluarga karena diculik di zaman Orde Baru, atau ada famili Anda yang disiksa di Aceh atau adik Anda ditembak mati ketika sedang berdemonstrasi, pasti Anda butuh orang seperti Munir.

Kalau Anda termasuk orang yang cuma mencari enak dengan ikut arus, pasti tidak butuh orang seperti Munir. Pertanyaan yang sama bisa juga diajukan untuk Hendropriyono: apa yang dia lakukan untuk bangsa dan negara? Bom meledak di mana-mana. Apa kerja BIN? Munir mati pun tak tahu, tahu dari baca koran. Bagaimana ini bisa terjadi?

BUDI S.Norman, Oklahoma, AS


Sekolah Gratis? Ah, Teori!

DEWAN Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah sepakat membebaskan biaya sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama mulai semester pertama tahun ajaran 2005/2006. Tapi seorang ibu di Cinere, Depok, tak yakin pemerintah membebaskan biaya masuk SD. "Bohong. Prakteknya kita harus bayar, dan tak sedikit," katanya sebagaimana termuat pada Koran Tempo, 9 Juni silam.

Untuk itu tolong sampaikan ini kepada anggota DPR RI yang membidangi pendidikan. Suruh mereka meninjau ke lokasi dan pura-pura akan memasukkan anaknya ke sekolah, dan tanya berapa yang harus dibayar.

Teman saya akan memasukkan anaknya ke sekolah dasar. Umurnya saat ini 6 tahun kurang seminggu dan harus bayar Rp 1 juta, kalau pas 6 tahun hanya Rp 700 ribu. Lalu ke mana dana kompensasi kenaikan harga BBM yang dijanjikan itu?

MOH. GOZALIKecamatan Gunung Putri, Bogor


Ralat

  • Terdapat kekeliruan pada tulisan Kepak Batman yang Semakin Bebas pada Tempo edisi 13-19 Juni 2005. Tertulis nama pengamat komik Hikmat Hidayat, sedangkan yang benar adalah Hikmat Dharmawan.

  • Pada Rubrik Buku halaman 105, terdapat nama Profesor A.H. Jones. Seharusnya A.H. Johns.
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus