Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Selaput Dara di Mata Kiai

Para korban pemerkosaan kembali "pede" setelah menjalani operasi pemulihan selaput dara. Tapi, bagi para kiai NU Jember, operasi itu haram. Mengapa?

20 Juni 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para kiai yang biasanya tampak angker mendadak ger-geran—meski tetap serius. Itu terjadi dalam bahtsul masail, forum para kiai untuk membahas masalah umat dari sudut fikih, Ahad akhir Mei lalu. Siang itu, sekitar 100 kiai Nahdlatul Ulama berkumpul di halaman Pondok Pesantren Darussalam II, Jalan Melati, Patrang, Jember, Jawa Timur.

Ketika mendiskusikan hukum pencurian aliran listrik, sambil mengudap kue jajan pasar, mereka sepakat menjatuhkan fatwa haram. Tapi, ketika membahas masalah operasi pemulihan selaput dara—yang robek akibat pemerkosaan—para kiai yang rata-rata mengenakan baju koko, sarung, dan peci itu kontan ger-geran. Adalah KH Abdul Karim, Ketua NU Kecamatan Kaliwates, yang mula-mula melontarkannya. Ia mendapat laporan semakin banyaknya perempuan muda yang belakangan ini melakukan operasi semacam itu.

Selama ini sejumlah klinik di Jakarta, Surabaya, dan kota-kota besar lain memang biasa melayani operasi tersebut. Salah satunya Johan Clinic di Gubeng, Surabaya, milik Prof Dr Johansyah Marzoeki, yang juga guru besar Universitas Airlangga. Sejak 1970-an, klinik bedah plastik itu melayani reparasi selaput keperawanan, apa pun penyebab kerusakannya. Tak pulih seperti sediakala, memang, tapi hasilnya nyaris sempurna. "Rusaknya selaput dara itu, apalagi akibat diperkosa, membuat para korban menderita batin. Mereka kan perlu pertolongan," kata Johansyah. Namun, bagi para kiai, persoalan itu bukan sekadar pertolongan medis. Setelah berdebat selama tiga jam sembari membolak-balik sejumlah kitab kuning, mereka sepakat mengharamkannya.

Menurut Idrus Romli, koordinator bahtsul masail, setidaknya ada dua unsur yang mengharamkannya. Pertama, membuka aurat, merujuk pada kaidah fikih: al-wajibu la yutraku illa li wajibin (perkara wajib tidak boleh ditinggalkan, kecuali untuk melaksanakan wajib yang lain). Kaidah lain yang serupa: al-wajibu la yutraku li sunnatin (perkara wajib tidak boleh ditinggalkan karena bertujuan melakukan perkara sunah).

Menurut para kiai, terlihatnya aurat oleh pandangan orang lain, dalam hal ini dokter, jelas haram. Jadi, wajib hukumnya menutup aurat. Sedangkan pemulihan selaput dara bukan perkara sunah, apalagi wajib. Jadi, tak ada alasan yang membolehkan orang membuka aurat saat operasi selaput dara yang bukan sunah itu.

Lain halnya dengan khitan pada laki-laki. Mengutip pendapat ulama salaf (klasik), andai khitan bukan perkara wajib, orang tak boleh melakukannya karena mengandung unsur terlihatnya aurat dan menyakiti diri sendiri. Dalam khitan, terlihatnya aurat boleh karena sifatnya darurat, yakni pengobatan, sebagaimana disebut oleh Imam Jalaluddin Suyuthi dalam kitab Al-Asybah wan Nazhair juz I halaman 316 (Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 2001).

Hal kedua yang mengharamkan permak selaput dara ialah unsur penipuan terhadap calon suami yang akan menikahi si perempuan. Menipu hukumnya jelas haram, sesuai dengan hadis Nabi, "Man ghasysyana fa laisa minna" (orang yang menipu kita bukan termasuk golongan kita).

Pembahasan kembali menghangat ketika seorang kiai bertanya bagaimana jika operasi itu sebagai pertobatan bagi mereka yang pernah menjalani seks bebas. Sejumlah kiai berpendapat, operasi selaput dara bukanlah cara untuk bertobat. Bagaimana jika operasi itu untuk mengurangi penderitaan batin korban pemerkosaan? Para kiai bersikukuh: solusinya bukan operasi.

Menanggapi fatwa tersebut, Johansyah, yang dalam setahun setidaknya memermak selaput dara 10 korban pemerkosaan, mengatakan umumnya para korban pemerkosaan jiwanya tertekan, banyak yang ingin bunuh diri. Setelah menjalani operasi, mereka seperti menemukan kembali semangat hidup, "pede" alias percaya diri. "Kalau setelah mendengar fatwa tersebut pasien ragu-ragu, silakan urus dulu masalahnya. Setelah beres, silakan datang ke dokter," ujarnya.

Fatwa kiai Jember agaknya masih bisa diperdebatkan, terutama menyangkut pendapat tentang khitan pada lelaki yang disebut sebagai wajib, padahal sunah. Apalagi dalam fikih dimungkinkan munculnya pendapat berbeda—terutama menyangkut kemaslahatan yang lebih besar. Misalnya, membantu korban pemerkosaan agar kembali "pede".

Sunudyantoro (Surabaya), Mahbub Djunaidi (Jember)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus