Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kamera Nikon F2 itu setia menemaninya. Juga kini, saat Marida Nasution memasuki 30 tahun perjalanannya sebagai seniman grafis. Kamera manual buatan Jepang sebagai kado ulang tahun dari ibunya itu "senjata" yang hebat dalam proses penciptaan karya-karya grafisnya.
Marida, kini 49 tahun, memotret wajah orang-orang biasa. Mereka, menurut Marida, lugu, tak dibuat-dibuat. Mereka mewakili kelompok orang sederhana, alami tanpa polesan kepura-puraan dalam menjalani kehidupan. Obyek yang dipilih biasanya menyiratkan karakter kuat dalam ekspresi. Kadang modelnya seorang lelaki tua yang memiliki kerutan-kerutan wajah hasil tempaan alam yang keras. Atau, perempuan muda bersahaja, tanpa polesan alat kecantikan.
Biasanya, Marida "berburu" obyeknya di jalanan, kampung-kampung kumuh di Jakarta, bahkan pelosok-pelosok desa. Misalnya, suatu hari pada 1996, Marida terhimpit di antara sesaknya penumpang bus Kopaja jurusan Blok M-Manggarai. Ketika bus itu memasuki kawasan Pasar Rumput, matanya tertumbuk pada seorang perempuan pengemis yang duduk di tepi rel kereta. Dengan sigap ia minta bus berhenti dan turun. Ia mendekati sang pengemis, berbicara, dan membujuknya untuk difoto.
Di hari lain, sosok Marida tampak tengah berjalan menyusuri perkampungan di Kalideres, Jakarta Barat. Saat itu, ia tengah "berburu" obyeknya, sebatang pohon besar, berdaun dan beranting banyak. "Beruntung, saya bisa menemukan apa yang diinginkan," katanya berkisah. "Sebelum mencari obyek, saya biasanya telah mempunyai konsep dalam kepala."
Marida memilih teknik cetak saring, sebuah teknik yang menuntut ketekunan dan ketelatenan. Sebetulnya, dalam seni grafis dikenal empat teknik cetak, yakni cetak tinggi (relief print), cetak dalam (intaglio), cetak datar (lithography), dan cetak saring (serigraphy). "Saya memilih teknik cetak saring karena lebih bebas dalam memanfaatkan aneka warna tinta," ujarnya.
Marida memulai prosesnya dengan mencetak hasil buruannya. Foto ukuran postcard itu diperbesar dengan memfotokopinya di atas kertas transparan. Proses dari cuci cetak hingga fotokopi dilakukannya di luar. Setelah itu, proses selanjutnya dilakukan di studionya yang sederhana di rumahnya di bilangan Mampang, Jakarta Selatan. Dalam studio seluas sekitar 3 x 5 meter itu terdapat meja afdruk, meja screen, dan beberapa lemari kayu kusam.
Obyek yang difotokopi di atas kertas transparan itu kemudian ditempel pada monil, kain sutra dan nilon dengan kerapatan 120 T, yang telah dibubuhi obat. Monil itu diafdruk dengan cara disinari lampu neon selama sekitar 2 menit. Setelah itu, monil dicuci di kamar mandi dengan air biasa, lalu dikeringkan. Proses selanjutnya, mencetak gambar di atas kertas dengan teknik cetak saring. Caranya dengan menjepit kertas dengan monil yang telah dikeringkan. Nah, di atas monil itu kemudian disapukan tinta dengan penyapu berbahan karet. Warna-warna tintanya tergantung yang diinginkan. "Semua proses itu saya kerjakan sendiri, tanpa asisten."
Yang jelas, menurut Marida, teknik cetak saring memungkinkannya mengeksplorasi kekuatan visual melalui beragam warna. Ragam warna itu satu persatu bersanding, kadang tumpang-tindih untuk mendapatkan nuansa warna luar biasa. Coba simak, gambar pengemis itu. Ekspresinya begitu kuat. Kerut-kerutnya sangat indah. Karya yang kemudian diberi judul Pengemis itu dicetak di atas kertas garfish 65 x 75 sentimeter. "Ini pernah saya tampilkan dalam pameran tunggal ketiga pada 1997," ia menjelaskan.
Marida sudah puluhan tahun menekuni teknik cetak saring. Ia tak juga mau menggunakan komputer untuk membantu proses penciptaan karyanya. "Proses yang selama ini digeluti memberikan kepuasan yang tak terhingga bagi saya," katanya.
Lahir di Jakarta, 2 Januari 1956, Marida adalah satu dari para seniman grafis yang konsisten dengan profesinya. Ia anak keempat dari lima bersaudara pasangan Basaruddin Nasution dan Nursyamsu. Bakat seninya menurun dari ibunya, seorang penyair.
Sentuhan pertama Marida dengan dunia seni terjadi pada 1974, saat ia masuk Departemen Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta. Awalnya, ia masuk di Jurusan Seni Lukis, tapi setahun kemudian ia memutuskan pindah ke Jurusan Seni Grafis. "Saat itu, di jurusan lukis, perempuannya hanya saya sendiri, makanya pindah ke grafis," katanya. "Apalagi waktu itu jurusan grafis baru dapat sumbangan alat cetak saring dari Belanda."
Keputusan Marida rupanya bulat. Sejak itu, ia terjun total di dunia grafis. Ia pun mulai terlibat dengan proses grafis. Mengungkapkan gagasan dan cita rasa seni dalam bentuk goresan, cukilan, torehan, guratan, dan sapuan menjadi kesehariannya. Sang ibu mendukungnya dengan membelikan buku-buku tentang grafis dan fotografi. "Saya juga memang suka fotografi," ujarnya mengungkapkan.
Lulus dari IKJ pada 1981, Marida mulai membangun studio sederhana di rumahnya. Studio menjadi ruang ekspresi dalam menuangkan gagasan-gagasan grafisnya. Hasilnya? Pada 1984, ia mulai menggelar pameran. Diadakan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pameran itu merupakan pameran bersama rekan-rekannya. Setelah itu, Marida seolah tak terbendung. Hampir setiap tahun ia berpameran, baik di dalam maupun di luar negeri. Sejumlah penghargaan pun diraihnya, antara lain Medali Khusus pada pameran di Seoul, Korea, dan Athena, Yunani.
Perjalanan merupakan pameran tunggalnya yang keenam. Tema itu diambil merujuk kepada suatu proses perjalanan Marida dalam menggeluti dunia seni grafis. Pameran yang digelar di Studio Paulinart, Jakarta, itu seperti menggiring kita tahap demi tahap kepada proses karya Marida, dari awal hingga kini.
Ada lima tahap perjalanan Marida dalam berkarya. Itu ditandai dengan menggelar rangkaian pameran tunggalnya. Pameran pertama bertajuk Warna digelar pada 1991. Menurut Marida, tema itu diusung karena memang merupakan unsur sangat penting dalam seni grafis. Dengan teknik cetak saring (serigrafi), Marida lebih bebas dalam menggunakan warna-warna komersial, atau mencampurnya sendiri. Ia bebas memanfaatkan warna-warna sesuai dengan perasaan dan obyek yang akan ditampilkan.
Dalam pameran tunggal kedua yang berjudul Pohon, Marida mulai membesarkan skala grafisnya. Ia tak lagi menuangkan sapuan-sapuannya pada sebidang kertas ukuran standar, 65 x 75 sentimeter, tapi pada kertas 450 x 60 sentimeter yang dipajang berjajar. Media grafis berskala besar, menurut Marida, memberinya suatu cara menyatakan pendapat lebih asertif. Itu menghasilkan bahasa visual dan imajinasi lebih luas.
Tahun 1997 merupakan "perjalanan" ketiga Marida. Pameran tunggal yang digelar di Galeri Cipta II TIM, Jakarta, itu menyuguhkan tema Urban. Ini tentang kehidupan kaum urban di Ibu Kota, mereka yang hidupnya terpinggirkan. Dalam pameran itu, Marida mulai bereksperimen membuat cetak saring di atas permukaan akrilik (plexi glass). Sifat akrilik yang transparan memungkinkan pemandangan optis yang berlapis-lapis. Itu memberikan suatu kekuatan ungkapan dalam karya-karya grafis yang ditampilkan.
Pemakaian akrilik juga ditempuh Marida dalam pameran tunggal keempatnya, Harkat Perempuan. Dalam "perjalanan" keempatnya itu, ia juga pertama kali menggabungkan tiga unsur seni murnigrafis, patung, dan lukisdalam karya instalasinya. Marida menampilkan tiga segi tiga akrilik dengan sapuan grafis yang di dalamnya berisi patung. Lalu pada latar belakang tiga buah segitiga itu terbentang lukisan sepanjang lima meter.
Tahap kelima "perjalanan" Marida digelar di Museum Nasional, Jakarta, Februari 2004, dengan tajuk Opera Biru/Renjana. Ini merupakan buah perenungannya tentang manusia dan kehidupan. Seperti pameran-pameran sebelumnya, ia juga menggabungkan seni grafis dengan unsur seni rupa dan elemen-elemen lain sebagai media ekspresinya. Satu di antara karyanya adalah wujud instalasi grafis dan patung 9 x 20 meter.
Dalam pameran itu, biru menjadi warna dominan. Marida menyatakan, biru merupakan simbol langit dan air dalam ruang tak terbatas. Biru memberi ketenangan jiwa, fantasi akan hal-hal dalam, kepuasan, kegembiraan, dan kedamaian jiwa. Warna itu juga memberi spirit dan kekuatan aktif. Itu sama dengan jiwa manusia yang dalam dan sukar dijelaskan.
Kini, lewat Perjalanan yang ditampilkannya di Paulinart, 28 April-12 Mei lalu, Marida punya sepenggal impian. Perempuan berambut ikal sepundak itu ingin seni grafis menjadi seni yang sekelas dengan seni rupa lainnya. "Selama ini, sebagian masyarakat kita masih menganggap grafis adalah seni kelas dua atau tiga," katanya.
Nurdin Kalim, Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo