Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kutipan & Album

Tak Kunjung Padam

KEBAKARAN hutan dan lahan di Sumatera serta Kalimantan menimbulkan bencana asap di banyak daerah di kedua wilayah.

21 September 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
6 Juni 1981

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Kalimantan Tengah, lebih dari 2.500 orang menderita infeksi saluran pernapasan akut atau ISPA akibat asap pekat yang dihasilkan 513 titik api di provinsi itu. Badan Nasional Penanggulangan Bencana juga mencatat lebih dari 230 titik api tersebar di wilayah Sumatera per 16 September 2019.

Sepanjang 2019, area kebakaran hutan dan lahan mencapai 328.722 hektare atau 4.000 kali luas Lapangan Monumen Nasional. Lahan yang terbakar paling luas berada di Provinsi Riau, yakni 49.266 hektare. Tanda pagar #RiauDibakarBukanTerbakar sempat menempati lima besar topik yang ramai dipergunjingkan warganet di Twitter pada 13 September 2019 lantaran kabut di sana begitu pekat, mengganggu kesehatan.  

Kebakaran hutan dan lahan di Riau bukan baru kali ini terjadi. Majalah Tempo pernah mengulas kebakaran di sana dalam edisi 6 Juni 1981 bertajuk “Soal Puntung atau Tak Ada Pohon”. Sekitar 50 ribu hektare lahan di daerah aliran Sungai Rokan di Kabupaten Kampar, Riau, terbakar pada akhir Mei 1981. Padahal pemerintah mencantumkan rencana penghijauan pada lahan tersebut dalam anggaran 1979-1980.

Laporan itu disampaikan sangat terlambat. Kebakaran itu, menurut keterangan tertulis W.A. Harrison dari kontraktor, Geophysical Service Inc, pertama kali terjadi pada 17 April. Sesudahnya, terjadi dua kebakaran lagi berturut-turut pada 19 dan 27 April.

Gubernur segera membentuk sebuah tim khusus diketuai Siswoyo dari Direktorat Sosial Politik dibantu Dinas Kehutanan Riau, Kepolisian RI, dan Pertamina. Sudah dua hari tim terjun ke lapangan mencari sebab-musabab kebakaran. Tapi Rusydi S. Abrus, juru bicara kantor Gubernur Riau, tidak bersedia memberikan keterangan apa pun. “Tim masih bekerja, kok,” ujarnya, mengelak.

Bintang Siahaan, Kepala Bidang Pembinaan Kehutanan Dinas Kehutanan Riau, menyatakan api diduga berasal dari puntung rokok atau dapur milik para buruh kontraktor minyak Conoco, yang kebetulan sedang melakukan pencarian minyak di sekitar hutan reboisasi tersebut.

Agus Diapari, juru bicara Pertamina di Dumai, ragu terhadap keterangan Bintang. Alasannya sederhana: lokasi pencarian minyak Conoco berada sekitar 1 kilometer dari area reboisasi. Sedangkan laporan Harrison antara lain menyebutkan ihwal gumpalan asap yang saat cuaca cerah terlihat di beberapa tempat. Gumpalan asap itu ditandainya berasal dari tanah yang sedang digarap penduduk setempat.

Soal puntung tidak berakhir di situ. Sebuah sumber yang kebetulan ikut dalam tim tegas-tegas membantah. “Puntung rokok tak mungkin bisa membakar lalang yang masih basah oleh embun. Bukankah kawasan itu terbakar ketika hari masih pagi?” tuturnya, setengah bertanya.

Di kalangan tertentu di Pekanbaru ramai diperbincangkan kemungkinan hutan reboisasi telah dibakar dengan sengaja. Mengapa? Untuk menutupi kegagalan proyek penghijauan yang sudah lama macet. Memang, proyek itu tersendat-sendat selama hampir dua tahun karena beberapa hal. Di antaranya upah tanam terlalu rendah dan tak ada orang yang mau mengerjakan.

Di samping itu, dana yang terpakai baru Rp 30 juta, sementara dana untuk bibit dinyatakan habis. Dinas Kehutanan sendiri yang bertanggung jawab penuh atas usaha penghijauan tersebut—karena jawatan ini juga yang merangkap sebagai pemimpin proyek.

Ketika tim turun ke lapangan, yang terletak 300 kilometer dari Pekanbaru, titik-titik bekas kebakaran sudah tertutup batang ilalang, yang dalam waktu singkat tumbuh kembali dan meninggi. Ada dugaan 500 ribu batang pohon yang terdiri atas akasia, mahoni, dan pinus habis dijilat api. Kerugian seluruhnya ditaksir mencapai Rp 50 juta. Tapi masih ada satu pertanyaan: apakah benar pohon-pohon itu pernah tumbuh di area kebakaran tersebut?

Berdasarkan laporan yang masuk ke kantor Gubernur, sampai September 1980 ternyata belum ada sebatang pun pohon yang ditanam. Sedangkan pada bulan yang sama tahun sebelumnya, baru selama tiga bulan ilalang sempat digarap. Tapi Dinas Kehutanan melaporkan di kawasan hutan yang terbakar sudah tumbuh pepohonan berumur 8-12 bulan. Laporan siapa yang benar?

 


 

Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi  9 Februari 1974. Dapatkan arsip digitalnya di:

https://majalah.tempo.co/edisi/1785/1981-06-06

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus