Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alih-alih menjalankan putusan hakim atas gugatan warga negara Indonesia, Jokowi terus melakukan perlawanan hukum dengan mengajukan permohonan banding, meminta kasasi, bahkan memohon peninjauan kembali karena kalah di tiap tingkat pengadilan.
Putusan itu memuat secara rinci kewajiban pemerintah mencegah dan menangani kebakaran 2,6 juta hektare hutan dan lahan pada 2015: dari menertibkan izin konsesi perusahaan perkebunan, membuat rumah sakit paru di Kalimantan, membangun lokasi evakuasi kebakaran, hingga membuat seperangkat regulasi untuk mencegah kobaran api terulang lagi. Jokowi dan para menterinya mengabaikan putusan itu dan memilih terus melawan rakyatnya sendiri.
Maka, ketika ia berbicara soal pencegahan kebakaran hari ini—setelah 100 ribu orang terkena infeksi saluran pernapasan akut di Sumatera dan Kalimantan, setelah 328 ribu hektare hu-tan dan lahan terbakar—tekad itu menjadi sangat terlambat. Kebakaran hutan dan lahan bisa diprediksi dan dihitung. Sejak 1997, kebakaran terjadi pada musim kemarau panjang atau ketika El Nino datang—setiap empat-lima tahun. Artinya, pemerintah tahu bahwa kebakaran akan meletik tahun ini dan tahun depan.
Sumber api kebakaran selalu sama: lahan gambut yang kering akibat kemarau. Gambut adalah ekosistem terbaik penyimpan panas. Tanpa disulut pun, ia akan terbakar jika terus-menerus terpanggang matahari kemarau. Apinya akan terbang terbawa angin musim kering dan menyulut lokasi lain. Apatah lagi, seperti temuan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, ada api yang disulut tangan manusia sebagai pembersihan lahan paling murah untuk perkebunan.
Belum ada teknologi yang bisa memadamkan api di lahan gambut yang tebal, kecuali hujan deras. Presiden Jokowi mesti berkaca pada kesalahan menangani api dalam kebakaran hebat 2015. Ketika itu, ia memerintahkan pembuatan kanal baru di lahan gambut untuk mengalirkan air dari sungai. Kebijakan ini sungguh tak masuk akal: sungai selalu lebih rendah daripada daratan. Di musim kering atau hujan, air gambut pasti mengalir ke sungai. Maka, ketika sumber air gambut menyusut saat kemarau, lahan akan meranggas, mengering, lalu terbakar terkena panas.
Jokowi kini memerintahkan Badan Restorasi Gambut meneruskan pembuatan sekat kanal untuk membendung air di gambut agar tak mengalir ke sungai. Sejatinya, sekat kanal tak akan berfungsi sepanjang kanal-kanal masih membentang di lahan gambut karena konsentrasi air jadi pecah. Solusi jangka panjang yang harus dilakukan adalah menutup kanal, memproteksi gambut dari perlakuan manusia, dengan mengelolanya melalui restorasi ekosistem.
Jokowi hendaknya tidak membuat kebijakan jangka pendek—apalagi sekadar agar tampak populis. Mengancam akan mencopot pejabat mungkin terkesan gagah, tapi itu tak cukup. Jokowi dan para pembantunya harus merumuskan strategi jangka panjang dalam mencegah kebakaran dengan melibatkan para ilmuwan. Peta jalan sebenarnya sudah terbentang. Jalankanlah putusan pengadilan itu. Mulailah dengan mewajibkan para pemegang konsesi perkebunan di lahan gambut merevisi rencana kerja usaha mereka. Wajibkan mereka memasukkan strategi melindungi kawasan seperti yang diminta Koalisi Anti Mafia Hutan pada 2017. Setelah itu, tegakkan hukum.
Tindakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyegel 105 perusahaan yang diduga membakar lahan sudah tepat. Jangan pernah ragu menyeret mereka ke pengadilan, menetapkan denda dengan nilai yang besar, atau mencabut izin konsesi mereka. Pemerintah harus menyetop narasi yang menuduh peladang perseorangan sebagai pemicu api. Jikapun ada, masyarakat yang menyulut api harus dirangkul lewat kemitraan sosial. Mereka, misalnya, dapat diajak mengembangkan teknik paludikultur—sistem pertanian di lahan gambut.
Dalam jangka panjang, pemerintah perlu juga menimbang usul aktivis lingkungan untuk menerapkan pasal ekosida bagi korporasi perusak lingkungan. Di beberapa negara, pasal ini cukup efektif membuat jera karena perusakan lingkungan disamakan dengan genosida, pelanggaran berat hak asasi manusia. Presiden tak perlu takut investasi anjlok, karena proteksi terhadap lingkungan akan mengundang investor bersih, yang justru terlindungi oleh hukum yang kuat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo