SAYA ingin berkomentar sehubungan dengan jajak pendapat TEMPO Edisi 4 Februari 2001, halaman 12. Dalam tulisan itu ada pertanyaan antara lain, ?Apakah Anda setuju etnis Cina menggunakan bahasa ibu mereka dalam percakapan sehari-hari?? Pertanyaan ini menimbulkan pertanyaan lagi, apa yang dimaksudkan dengan bahasa ibu itu. Sebab, pada hemat saya, mayoritas WNI etnis Cina sudah berbahasa ibu bahasa Indonesia atau bahasa daerah setempat di Indonesia (bukan Hakka, Hokkian, apalagi Mandarin).
Sebubungan dengan persoalan ini, perkenankanlah saya menguraikan sebagai berikut:
1. Masih banyak sekali kesalahpahaman, bukan saja di kalangan rakyat banyak, tapi juga di kalangan pemerintah dan elite politik. Misalnya, dikira bahwa setiap WNI etnis Tionghoa kental sekali berkebudayaan Tionghoa dan fasih berbahasa Tionghoa. Ini tidak benar. Sebab, sejak 1940-an di kalangan mereka sudah terjadi perubahan-perubahan besar dan mendasar. Karena banyak yang tidak mengetahui adanya perubahan drastis ini, akibatnya bertebaran analisis, kesimpulan, dan kebijakan yang amat tidak realistis dan keliru.
2. ?Etnis Tionghoa? sudah lama tidak homogen lagi. Ada asing (RRT, Taiwan, dan lain-lain), ada warga negara Republik Indonesia. Yang terakhir ini pun berbeda-beda, ada peranakan, ada totok. Yang peranakan (turun-temurun lahir dan besar di Indonesia) lebih dari 90 persen dari WNI kita. Sejak Perang Dunia II, mereka umumnya sudah amat luntur ?ketionghoaannya?, mereka tidak bisa berbahasa Tionghoa lagi. Tetapi, yang totok (yang lahir di Tiongkok dan anak-anaknya) masih bisa. Kebudayaan Tionghoa pun masih sangat melekat pada mereka. Bagi yang peranakan, apalagi yang telah beralih dari agama tradisional Tionghoa ke agama lain, ?ketionghoaannya? sejak dulu sudah amat luntur. Orientasi mereka pun semata-mata ke Indonesia saja. Maka, hanya segelintir etnis Cina (yang totok) yang masih berbahasa ibu dari utara sana.
H. YUNUS JAHJA
Direktur Lembaga Pengkajian Masalah Pembauran
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini