Sabtu malam, 13 Juli 1991, di TVRI ditayangkan film Hutan Hijau Hutan Cinta. Secara keseluruhan film tersebut cukup bagus. Sayang sekali, ada sesuatu yang tampaknya sepele, tapi membuat saya merasa gerah. Yakni peci tapis dipakai oleh seorang penghasut, penganiaya, dan musuh rakyat. Di sini letak ironisnya film tersebut. Sebab, pada waktu lampau, kain tapis, yang merupakan tenunan asli orang Lampung, dipakai oleh kalangan bangsawan Lampung. Itu dipakai hanya pada waktu pesta-pesta adat dan upacara-upacara yang sakral. Sekarang, tapis diangkat menjadi motto sadar wisata daerah tingkat dua di Lampung, yang akronimnya tertib, aman, patuh, iman, dan sehat. Dengan demikian, dalam bentuk apa pun tapis mempunyai kedudukan terhormat bagi masyarakat Lampung. Di film itu, sejak dari awal sampai si pelaku diborgol polisi, peci tapis tetap melekat di kepala yang bersangkutan. Sebagai putra Lampung, saya merasa tersinggung. Primordialistis? Tidak. Ini soal etika budaya. Semua orang pasti tersinggung bila atribut daerahnya dilibatkan kepada hal-hal yang negatif. MERYORIE JAYAPUTRA Stisipol Lampung Jalan Gajah Mada No. 34 Bandarlampung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini