Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Anda, apakah ada perlakuan khusus di balik pembebasan Tommy Soeharto? (1-8 November 2006) | ||
Ya | ||
93,64% | 721 | |
Tidak | ||
4,55% | 35 | |
Tidak tahu | ||
1,82% | 14 | |
Total | 100% | 770 |
Putra bungsu penguasa Orde Baru, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, akhirnya bebas. Terdakwa pembunuh Hakim Agung Safiuddin Kartasasmita itu mulanya divonis 15 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tapi Mahkamah Agung memberinya diskon 5 tahun dalam putusan kasasi. Setelah mendapat remisi 38 bulan 15 hari, Senin 30 Oktober lalu dia mendapatkan pembebasan bersyarat.
Meski bersyarat, pembebasan Tommy menuai pendapat pro dan kontra. Denny Indrayana, pengamat hukum Universitas Gadjah Mada, misalnya, menilai remisi untuk Tommy janggal dan kriterianya tak jelas. Pengurangan 36 bulan dalam lima tahun pertama dari 10 tahun hukuman, seperti yang dialami Tommy, menurut dia, adalah remisi terbesar yang pernah diberikan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. ?Ini patut masuk Museum Rekor Indonesia,? ujarnya.
Denny mencurigai dunia peradilan yang kolutif sebagai penyebabnya. Ini pula yang rupanya ada dalam pikiran Soimah, istri mendiang Safiuddin. ?Mereka semua yang mengatur itu supaya Tommy cepat bebas,? ujarnya kepada Koran Tempo.
Namun semua tudingan dibantah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin. Remisi, menurut Hamid, diatur oleh Keputusan Presiden No 174/ 1999. Dan, ?Itu berlaku untuk semua narapidana,? katanya. Toh itu tidak membuat semua pihak senang. Soalnya, keputusan tersebut tak memerinci kriteria pemberian remisi selain: membantu kegiatan pembinaan di lembaga pemasyarakatan.
Pekan lalu Tempo Interaktif melakukan jajak pendapat dalam soal ini. Hasilnya, 93,64 persen responden setuju ada perlakuan khusus di balik pembebasan Tommy. ?Sebagai otak dari kejahatan (Tommy dibebaskan), sedangkan pembunuhnya dihukum seumur hidup. Ini tidak adil,? ujar Jemali, responden di Tangerang.
Indikator Pekan Ini: Presiden berkeras mempertahankan Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program dan Reformasi, kendati ada banyak kritik, termasuk dari Wakil Presiden Jusuf Kalla. Sekretariat Negara bahkan mempersiapkan kantor khusus untuk unit yang dipimpin bekas Jaksa Agung Marsillam Simandjuntak itu. Yang paling tak setuju adalah Partai Golkar. Alasannya, kewenangan unit kerja itu terlalu besar, sehingga mengambil alih tugas Wakil Presiden yang nota bene adalah Ketua Umum Partai Golkar, dan tumpang tindih dengan tugas menteri. Anggapan itu tak berubah meski juru bicara kepresidenan Andi Mallarangeng sudah membantah. ?Tugas Unit Kerja tak overlapping,? ujarnya. Sempat ada kabar, berasal dari Ketua Umum Nahdlatul Ulama Hasyim Muzadi, Presiden akan membekukan unit itu. Hasyim mengaku mendengarnya dari Kalla. Ternyata itu tak benar. Kini sebagian anggota Golkar bersiap-siap mengajukan hak interpelasi kepada Presiden atas pembentukan tim ini. Apakah Anda setuju, Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program dan Reformasi diteruskan? Kami tunggu jawaban dan komentar Anda di www.tempointeraktif.com |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo