Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Teror Kepada Penegak Hukum

17 April 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELASA pekan lalu, penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan, diserang dengan air keras. Wajah dan matanya terkena sehingga dia harus dirawat di Rumah Sakit Mata Jakarta Eye Center. Hari berikutnya, Novel terbang ke Singapura untuk memulihkan kesehatan matanya.

Teror ini diduga ada kaitannya dengan perkara yang ditangani Novel, di antaranya megakorupsi kartu tanda penduduk elektronik. Majalah Tempo edisi 13 November 1980 menulis artikel "Orang Gelap di Belakang Advokat" yang mengulas teror kepada advokat Yap Thiam Hien. Pada awal Oktober 1980, Yap menerima panggilan telepon.

Dari seberang terdengar suara keras, kasar, dan mengancam, kurang-lebih begini: "Kalau lu mau aman, jalankan pekerjaanmu dengan baik!"Besoknya, sekitar pukul 03.00, rumah ahli hukum yang menerima gelar doktor kehormatan dari Vrije Universiteit Amsterdam itu diserang orang. Ia melihat bekas dua tembakan. Satu di antaranya menembus kaca jendela rumah.

Pada akhir Oktober, anjing herder penjaga rumah Yap mati. Jelas, katanya, anjing tersebut mati diracun. Dari peristiwa itu, Yap berkesimpulan, memang ada orang yang mengintimidasi dan mengancam, tapi entah apa kaitan dengan dirinya.Saat itu Yap memang sedang membela tiga perkara yang cukup menarik perhatian. Di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Yap mendampingi dua orang asing yang dituduh menjual minyak milik PN Pertamina secara tidak sah.

Jual-beli minyak yang di tengah laut tersebut terkenal dengan "kasus kapal tanker Houssam B", yang menyebabkan beberapa pejabat Pertamina diperiksa yang berwajib.Dua perkara lain yang dibela Yap berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Satu menyangkut orang asing yang dituduh menggelapkan uang milik PT AIT (perusahaan rokok merek Gold Bond dan Abdullah) sebesar Rp 200 juta. Dalam kasus ini, Yap sempat menghebohkan karena ia menuduh salah seorang saksi "membeli" beberapa jenderal. Tapi kemudian Yap menarik ucapannya dan meminta maaf.

"Teror" yang hampir serupa dialami pengacara Syarif Siregar di Medan. Pada 28 Oktober, rumah Ketua Peradin (organisasi advokat) di Simpang Selayang Kilometer 8, Medan, itu diserang orang dengan lemparan-lemparan batu sebesar kepalan tangan. Syarif, 45 tahun, dan tukang kebunnya tak dapat mengenali penyerang malam itu. Betapapun cepat mereka memburu ke jalan, penyerangnya lebih dulu kabur dengan mobil Colt. Pengacara ini belum dapat menebak motif penyerangan tersebut.

Seperti halnya yang dialami koleganya di Jakarta, Syarif memang sedang mengurus sebuah perkara yang cukup menarik, yaitu yang menyangkut klien bernama Tukia alias Law Kang Yang, penduduk Jalan Pisang, Medan, dan tengah berobat jalan karena sakit. Sebelumnya, ia dirawat 15 hari di Rumah Sakit Kodam lI/Bukit Barisan di Jalan Putri Hijau. Sakitnya? Sulit dikatakan. Tapi, begitu cerita Tukia, penyakitnya itu disebabkan cara pemeriksaan yang keras selama dua hari di rumah tahanan militer di Jalan Gandhi.

Ceritanya begini. Karena dituduh menggelapkan uang perusahaan tempat ia bekerja, CV Inafil atau International Film, Tukia, 36 tahun, oleh pengadilan dipenjara 11 bulan. Keluar dari bui, Tukia pergi ke Jakarta, menghadap petugas di Kejaksaan Agung untuk memberi kesaksian sekitar perkara yang melanda PT Cinerama Film.

Apa yang terjadi di Cinerama Film sebenarnya perkara biasa. Adalah Toni Hamidy alias A Lok, 45 tahun, pengusaha di Medan, mengaku menyediakan modal Rp 50 juta bagi pengurus CV Inafil-yaitu Adji Aswin alias Tjie Ho, Suyanto alias A Hong, dan Hadi Tamsir alias Tjie Lim-untuk mendirikan Cinerama Film. Modal itu, menurut Toni, ditanamkan sebagai pembelian sejumlah saham. Usaha Cinerama yang dimulai pada 1973 ini adalah mengimpor film-film Mandarin dan memproduksi film sendiri.

Pada akhir 1979, Toni tahu bahwa namanya tak tercantum dalam daftar pemegang saham Cinerama. Ia merasa tertipu dan melapor ke Kejaksaan Agung. Dan Tukia memberikan kesaksian sekitar pengaduan Toni. Sekembali dari Jakarta, Tukia didatangi dan dijemput beberapa orang-di antaranya kemudian dikenal Tukia sebagai petugas intel Laksusda-dan dijebloskan di rumah tahanan militer di Jalan Gandhi.Pemeriksaan di Jalan Gandhi, menurut Tukia, sekitar kesaksian yang diberikannya kepada Kejaksaan Agung. Perlakuan pemeriksa terhadapnya tak banyak diungkapkan. Tapi hanya dua hari Tukia diperiksa, selanjutnya ia harus dirawat di rumah sakit milik Kodam.Humas Laksusda, Mayor Mardian Idris, tak membantah atau membenarkan cerita Tukia. "Tidak ada komentar," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus