Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tantangan sporadis ini tertuju bagi para pendemo dan penggugat Sidang Istimewa, disingkat SI, yang juga sudah siap mengepung gedung wakil rakyat itu. Pada 28 Oktober lalu, tepat di hari pemuda, puluhan ribu massa mahasiswa ini sudah menjajal situasi di Senayan. Aksi yang disebut para aktivis sebagai "latihan menggoyang" itu memang tak sampai menembus barikade petugas yang disusun berlapis-lapis. Tapi luapan para pengunjuk rasa itu sempat memacetkan arus lalu lintas di jalan protokol hingga ruas jalan tol Cawang. "Mereka berusaha membatalkan Sidang Istimewa dengan segala cara. Ini menimbulkan kecemasan masyarakat umum, sehingga umat Islam perlu menentukan sikap," ujar Chalil Badawi, tokoh penting Dewan Dakwah, yang mantan wakil ketua DPA.
Rupanya, bukan hanya umat Islam, tapi terutama para tokohnya "perlu menentukan sikap". Suara kaum muslimin ini agaknya tak main-main. Atmosfernya terasa mendidih dalam sejumlah pertemuan "silaturahmi" yang digagas para pemuka Islam, mulai acara yang sifatnya intern, berskala kecil, sampai aksi pamer kekuatan "umat". Ada Apel Akbar Umat Islam 1998 oleh Forum Silaturahmi Ulama-Habib dan Tokoh Masyarakat se-Jabotabek, yang menghimpun puluhan ribu massa, di Stadion Utama Senayan; lalu disusul Kongres Umat Islam Indonesia, yang dihadiri sekitar 1.500 peserta dari 30-an ormas Islam di seluruh Nusantara; sampai yang berskala kecil: Silaturahmi Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.
Semua pertemuan--yang mencatat puluhan butir deklarasi, diiringi doa dan zikir--itu tak bisa mengesampingkan begitu saja agenda politik nasional yang akan berlangsung medio November ini. Pesan mereka bisa dibaca dari pernyataan sikap dan spanduk-spanduk yang dibentangkan. Intinya sama: mendukung dan menyukseskan Sidang Istimewa MPR 1998. Basa-basi politik? Sekali lagi, tidak. Para tokoh ormas bernapaskan Islam ini tegas-tegas akan melingkari semua sudut di Senayan dengan "pasukan" swakarsa. "Kalau mereka nekat turun ke jalan dan memaksa, ya, kami ?beli?," ujar Baco Amin dari Pemuda Masjid Al-Muttaqin, Jakarta Utara. Maksud Baco, gerombolannya siap bertarung fisik.
Kegiatan pasukan swakarsa muslim ini bisa ditengok sejak sepekan sebelum Sidang Istimewa. Sabtu pekan lalu, misalnya, para aktivis pro-SI ini diangkut dengan 50-an truk yang mangkal untuk salat lohor di Masjid Istiqlal. Di kanan kiri badan truk diselempangkan spanduk putih bertuliskan huruf merah: "PAM Swakarsa SI MPR ?98". Di tiap-tiap truk, berjubel anak berusia tanggung. Mereka mengenakan ikat kepala berwarna hijau bertuliskan huruf Arab. Tangan mereka menggenggam erat tongkat bambu. Sekali dalam sehari berkeliling kota. Bukan untuk takbiran, tapi mengampanyekan perlunya SI.
Pasukan muda ini agaknya tak termasuk sekitar 12 ribu massa yang telah mendaftar ke Kepolisian Daerah Metro Jaya--untuk melangsungkan sejumlah kegiatan mendukung SI. Mereka memang benar-benar bakal maju ke kancah "pertempuran", melapis aparat resmi. "Pasukan khusus kami sudah siap, sudah konsolidasi," kata Ahmad Sumargono, Ketua Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam atau KISDI. Pasukan KISDI berkekuatan lima "batalion" atau sekitar 5.000 orang. Bantuan Serbaguna alias Banser NU semula bakal nangkring, tapi belakangan ditarik untuk "mengamankan" para kiai dari serangan "ninja" dan isu santet. Berbagai organisasi Islam juga siaga dengan para pendukungnya. (Lihat Tabel Pasukan Muslim.)
Sejumlah tokoh gerakan Islam yang dihubungi TEMPO memang menampik jika pelbagai hajat kaum muslimin tadi semata-mata diplot untuk mendukung SI. "Tapi, kalau sebagian besar peserta menyatakan mendukung, itu kan sah-sah saja," kata Amidhan, Ketua Panitia Kongres Umat Islam Indonesia. Amidhan juga menjadi salah seorang Ketua MUI--lembaga fatwa terkemuka yang dikritik lantaran kerap sejalan dengan pemerintah--yang menjadi sponsor utama acara akbar ini. Di situ hadir para pemuka Islam seperti K.H. Ali Yafie (MUI), Nurcholish Madjid (Paramadina), K.H. Ilyas Ruchiyat (NU), M. Amien Rais (Muhammadiyah), Anwar Harjono (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia), serta ratusan tokoh pelbagai ormas Islam lainnya.
Jika pengerahan massa Islam besar-besaran ini benar-benar terjadi, agaknya baru kali inilah "pasukan muslim" dijadikan bumper utama kekuasaan. Para penggoyang SI, yang juga menggugat keabsahan para wakil rakyat itu, perlu dihadapi tak hanya dengan puluhan ribu tentara dan polisi. Umat Islamlah yang berdiri tegak di garda terdepan. "Saya kira tak perlulah disebut meng-counter (para pendemo). Sekurang-kurangnya ini ada yang meminati, dan kamilah peminatnya," kata Syarifuddin Amsil, tokoh dari Pesantren As-Syafi?iyah Jakarta, yang membacakan deklarasi Apel Akbar. Dalam apel itu hadir puluhan habib, ulama yang mengklaim keturunan Nabi, pengusaha Fadel Muhammad, dan Ketua Umum PPP Ismail Hasan Metareum.
Bukan semata perkara Sidang Istimewa, memang, yang melulu dijadikan perhatian para tokoh tadi. Dalam 11 butir deklarasi kongres, misalnya, disinggung pula perlunya prinsip "jurdil dan luber" dalam pemilu mendatang. Lalu, munculnya beragam partai Islam dianggap sebagai "sunatullah yang perlu disikapi dengan arif". Dan deklarasi itu meminta agar pemerintah menuntaskan kasus pelanggaran HAM di Tanjungpriok, Aceh, dan Lampung, Haur Koneng, sampai pemerkosaan dan penjarahan medio Mei lalu di Jakarta. Masalah Palestina sampai derita kaum muslimin Albania di Kosovo juga disorot. Dwifungsi ABRI harus ditinjau ulang. Pancasila harus dilucuti sebagai satu-satunya asas partai dan ormas.
Dukungan terhadap pemerintahan Habibie? Sama sekali tak tercantum dalam setiap keputusan di berbagai kejadian penting tadi. Tak juga berkumandang dalam setiap pidato para ulama dan pemuka gerakan. Tak ada lagi "doa politik", sebagaimana yang sudah-sudah, untuk menyokong terusnya kepemimpinan Soeharto di era Orde Baru lalu. Tak ada lagi dukung-mendukung atau kebulatan tekad gaya lama. "Namun, kalau program Habibie menguntungkan umat Islam, kenapa tidak kami bela?" kata Faisal Biki, pemimpin Furkon, yang adik almarhum korban Priok, Amir Biki.
Tapi pernyataan politik kubu Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) sedikit menyentil posisi presiden ketiga RI itu. Kepada semua pihak, begitu bunyi sikap politik mereka, diimbau agar berpikir jernih, rasional, dan demokratis, "serta memberi peluang kepada pemerintahan B.J. Habibie untuk melaksanakan agenda reformasi total." Dalilnya jelas. "Soalnya, perlu disadari bahwa pemerintahan Habibie ini telah mewarisi kondisi yang sangat buruk dari Orde Baru," ujar Sekretaris Umum DDII Husein Umar.
Meski masih diperdebatkan, di tengah-tengah gempita deklarasi acara yang berakhir pekan lalu dan ditutup oleh Presiden Habibie itu, tersembul suara untuk presiden dan wakil presiden RI mendatang. Syaratnya: haruslah seorang pria dan beragama Islam--sedangkan Amien Rais menoleransi dengan catatan: jika yang pria tak becus. Bisik-bisik lainnya menyebutkan kriteria tambahan: harus antikomunis, bukan pula marhaenis. Menjegal langkah Megawati? Tak ada jawaban tegas dari para pemuka tadi, selain segepok argumentasi teks Quran, Surah An-Nissa ayat 34, yang menyebutkan "laki-laki itu pemimpin bagi kaum wanita."
Ide yang semula dilontarkan utusan dari Persis (Persatuan Islam) itu akhirnya merebak di sidang komisi kongres. Kiai Sahal Machfudz dari NU, yang menjadi narasumber, sempat keheranan dengan mencuatnya pasal presiden harus pria muslim tadi. Dan itu berarti, jika tafsiran garis keras ini diikuti, tak ada tempat buat Megawati. Juga tak ada kompromi buat pengoyang SI. Bisa bentrok? "Mudah-mudahan itu tidak terjadi. Masing-masing kan hanya pasang kuda-kuda," ujar Nazri Adlani, Sekretaris Umum MUI, yang juga Ketua Furkon. Kecuali jika emosi memuncak.
Wahyu Muryadi, Ardi Bramantyo, dan Darmawan Sepriyossa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo